Entah
ini sudah hari keberapa sejak aku kehilangan seseorang yang sempat aku miliki
hatinya. Aku tak lagi mampu mengingatnya. Aku juga tak akan mampu melupakannya.
Aku kehilangan seseorang yang mampu membuat sedih senduku luruh. Kehilangan
seseorang yang menjadi peneduh disaat dadaku dihujani gemuruh.
Dulu,
di tepi pantai ini, kita selalu menyaksikan senja menjingga di ufuk barat. Lalu
membiarkan angin sore mengacak-acak anak-anak rambutku. Melihat buih-buih ombak
yang seolah-olah berlomba untuk mendarat. Kemudian, bersama burung yang terbang
di atap langit, kita meninggalkan jejak-jejak kaki yang dalam di pasirnya yang
putih. Hingga akhirnya matahari lenyap meninggalkan gelap, matamu tetap saja
jingga.
Aku
ingat ketika aku memberikanmu seikat mawar putih di pagi sabtu yang masih
berembun. Ada sinar kebahagiaan terlihat lewat matamu yang jernih diantara
gerimis yang lirih pagi itu. Kemudian, dengan lengkungan senyummu yang
meluruskan, engkau menaruh mawar putih itu di sebelah meja belajarmu yang
berwarna coklat. Itu adalah bunga mawar putih yang ke 21 yang aku berikan.
Selalu di pagi sabtu.
Kita
sering menghabiskan waktu di kedai favoritmu yang menyediakan coklat hangat.
Disana, engkau pernah menceritakan bagaimana semesta dengan baiknya membuat
hari-harimu menjadi berwarna. Senyum ceriamu saat itu membuat cokelat yang kita
pesan menjadi semakin hangat. Tapi, pernah juga semesta menciptakan hari-hari
yang lebih gersang dari musim kemarau untukmu. Engkau menceritakan semua
kejadian yang membuat hatimu lebam membiru hingga air matamu menggenang dipipi
layaknya danau. Lalu aku, dengan jiwa yang menenangkan, berusaha membuat lagi lengkungan
senyum di bibirmu, berusaha membuat matamu yang serupa langit dimusim penghujan
berbinar kembali.
Kita
juga sering, pada saat malam yang temaram oleh cahaya bulan. Pada saat itu kita
duduk di sebuah bangku di taman, menghitung berapa banyak bintang yang menjubahi
langit yang gelap. Tak lama, jarimu dengan refleks menunjuk ke arah bintang
yang paling terang. Katamu itu adalah bintang venus. Ia Cuma kelihatan setiap
200 tahun sekali. Ahh pengetahuanmu luas sekali. Lalu saat kita melihat ada
bintang yang jatuh, engkau dengan segera memejamkan matamu dan kemudian bibirmu
yang tipis merapalkan doa yang tidak bisa aku dengar, hingga tiba pada ujung
doa, engkau mengucapkan amin dengan keras.
Sekarang
semua kenangan manis itu terasa pahit. Aku bukan lagi orang yang menggenggam
tanganmu. Aku bukan lagi orang yang bisa menghadirkan teduh disaat hari-harimu
dipenuhi sesak dan gaduh. Sekarang, setelah semua itu kembali menyesakkan
dadaku, aku menyadari bahwa semua ini adalah salahku. Mungkin aku terlambat,
terlambat menyadari kesalahanku hingga kamu pun memutuskan pergi. Tapi, aku
hanya ingin kamu tahu bahwa...
Semoga
dia, orang yang saat ini ada dihatimu, dapat menemanimu menyaksikan senja
menyimpan cahayanya di ufuk barat hingga langit berubah gelap. Semoga ia mau
menemanimu berjalan menapaki kaki di bibir pantai hingga jejak-jejaknya
terhapus oleh ombak yang mengejar darat.
Semoga
dia, yang saat ini memiliki hatimu utuh mempunyai waktu untuk sekedar
menemanimu bercerita panjang lebar sembari menghabisi secangkir cokelat hangat di
kedai favoritmu. Dan apabila kamu bercerita tentang harimu yang lagi buruk,
semoga ia juga bisa menghadirkan kembali raut senyum di wajahmu.
Semoga
dia, yang menggenggam tanganmu saat ini, mau menemanimu menghitung bintang yang
menghampar luas di langit malam. Lalu beritahu juga dia tentang bintang venus
yang engkau ceritakan kepadaku dulu.
Dan
semoga dia, lelaki yang beruntung ini juga memberikanmu seikat bunga mawar
putih yang sangat kamu sukai di setiap pagi sabtu.
Semoga
aku tergantikan.
*Terinspirasi dari lagu Bruno Mars-When I Was Your Man*
*Terinspirasi dari lagu Bruno Mars-When I Was Your Man*