Saturday, January 27, 2018

Aku (bukan) Dilan

Akhir-akhir ini, Dilan menjadi pembicaraan dimana-dimana. Di setiap tongkrongan remaja-remaja alay, di kos-kosan, di kampus, bahkan sampai di warkop. Ah aku muak. Bisakah sejenak berhenti membicarakan Dilan? Lalu kita membicarakan tentang agresi militer Belanda I misalnya? Hmmmm.

Kamu kenal Dilan? Maksudku, kamu tau tentang Dilan? Sosok fiksi yang satu ini menjadi sosok idaman para wanita setelah dulu ada Rangga AADC. Karakternya memang beda. Rangga dengan sosok pendiam, sinis, dan suka baca puisi, sementara Dilan sosok yang gombal, caper sama Milea, dan hobi tawuran. Namun kesamaannya, sosok mereka berdua sama-sama disukai para wanita. Ah aku juga ingin.

Tapi…

Tapi aku bukan Dilan. Aku bukan orang yang bisa meramal nanti kita akan bertemu dimana. Jangan berharap seperti itu. Mungkin akan jadi romantis kalau misal aku ramal nanti kita ketemu di kampus, tapi lebih baik lagi kalau kita ketemuannya janjian aja. Kan kalau janjian aku bisa siap-siap dulu. Daripada aku ramal kita ketemuan di kampus tapi kamunya enggak ke kampus kan ramalannya gagal. Atau daripada aku ramal kita bertemu di kampus tapi ternyata kita bertemu di gang pas aku lagi pakai celana boxer dan baju partai. Kan malu.

Tapi aku bukan Dilan. Aku bukan orang yang bisa gombal seperti yang Dilan lakuin ke Milea. Jangan berharap seperti itu. Oleh Dilan, rindu saja bisa dibikin puitis. Tapi olehku, kalau rindu harus ketemu. Aku gak maksa kamu buat gak rindu karena rindu itu berat, aku mau kita rindu bareng-bareng. Biar nanti yang merasakan debar saat mau bertemu bukan cuma aku, tapi kamu juga.

Tapi aku bukan Dilan. Aku bukan orang yang bisa ngasih hadiah ulang tahun berupa TTS yang udah diisi. Jangan berharap seperti itu. Aku maunya kita yang ngisi TTS sama-sama, entah di kedai kopi, di perpustakaan, atau di lobi kampus. Ah pasti lebih seru bukan? Sambil ngisi TTS sambil cerita-cerita sampai lupa waktu.

Tapi aku bukan Dilan. Aku bukan orang yang harus menunggu sore dulu baru aku tahu aku cinta kamu. Jangan berharap seperti itu. Aku gak mau kamu menunggu. Kamu cantik, aku sudah menyukaimu dari subuh. Gak tau kalau kamu.

Tapi aku bukan Dilan. Aku juga tidak mau jadi Dilan agar kamu sukai. Aku cuma mau jadi diriku sendiri, yang kamu cintai sesuai dengan kenyataan, bukan sesuai dengan imajinasi. Aku cuma mau jadi diriku apa adanya, yang kamu cintai dengan semua kurangku, bukan dengan lebihnya saja. Aku cuma mau jadi diriku, lalu kamu cintai.

Aku bukan Dilan, jadi yang aku butuhkan bukan Milea. Yang aku butuhkan kamu. Sesederhana itu.­­­­­­­
Share:

Wednesday, January 24, 2018

Sekarang Kita Berpisah

Sekarang, beberapa hal tak lagi sama. Aku terbangun diawali dengan sesuatu yang berbeda. Tak ada lagi sapa pagimu, juga tak ada lagi semangat darimu. Semuanya melebur terbalut lirih.

Jika saja bukan karena keinginan untuk bangkit, mungkin sekarang aku sudah menjadi pesakitan disudut kamar. Mendekap sedih kedua lutut, meratapi ternyata patah hati bisa seperih ini. Namun menyesali kenyataan tak akan membuatmu lebih baik.

Diluar hujan. Gemuruh saling bersautan mengisi luas langit. Ah, semesta bisa saja membuatku teringat lagi tentang kita dulu. Waktu itu hujan pukul 3 sore, 15 menit sebelum jadwal keretamu berangkat meninggalkan Bandung. Kita yang saat itu sedang berada di sebuah tempat makan dikejutkan dengan hujan yang tiba-tiba. Raut wajahmu sedikit panik. Berulang kali kamu melihat jam yang melingkari tanganmu. Aku pun tak kalah panik. Akhirnya aku memutuskan untuk meminjam payung di tempat makan itu. Lalu kita melintasi hujan berdua. Payung yang tidak terlalu besar itu tak cukup melindungi kita dari hujan. Sisi kiri badanku dan sisi kanan badanmu basah oleh hujan. Aku tersenyum mengingatnya lagi.

Sekarang kita berpisah, setelah beberapa luka tak lagi bisa diobati. Ah, jika saja aku lebih mengerti saat itu, mungkin sekarang kita lagi duduk bersama di bangku taman. Memandangi langit yang temaram sembari meyesap kopi. Lalu bercerita tentang kita dimasa depan. Hingga kopi dan cerita kita habis, dekapmu lah yang menghangatkan.

Sekarang kita berpisah, setelah langkah kita tak mampu lagi berjalan berdampingan. Jika saja saat itu ego kita bisa dikalahkan, mungkin sekarang aku masih menjadi orang yang kau kabari di setiap pagi dan menjadi orang terakhir yang kau ajak bicara sebelum tidur. Atau aku masih menjadi sesorang tempatmu bercerita tentang banyak hal. Mulai dari cerita tentang temanmu yang menyebalkan, mata kuliah yang tidak kau sukai, atau cerita tentang makanan apa yang ingin kau cicipi nanti bersamaku.

Sekarang kita berpisah, meninggalkan luka, menyisakan kenangan, menyesali pertengkaran, mensyukuri pertemuan. Tidak. Aku tidak membencimu sama sekali. Bagaimana mungkin aku membenci seseorang yang pernah ada di hidupku. Bagaimana mungkin aku membenci seseorang yang pernah mencuri hatiku dengan cara termanis. Aku pastikan, kau menjadi bagian termanis dari cinta yang pahit.

Sekarang kita berpisah, untuk menyembuhkan hati hingga siap kembali. Pergilah dulu. Berjalanlah tanpa adanya aku, berbahagialah tanpa adanya aku, sebagaimana aku akan melakukan hal yang sama. Luka di hati kita mungkin akan berbekas, namun seiring berjalannya waktu, semua akan menjadi baik lagi.

Sekarang kita berpisah. Darimu aku belajar satu hal, bahwa bagian tersulit dari perpisahan adalah bukan mencari seseorang yang akan mengisi kembali hati kita, tapi bagaimana berdamai dengan cerita kita yang berjudul kenangan.

Jangan bersedih lagi. Kau pantas lebih bahagia.
Share:

Saturday, January 20, 2018

Rei

“Rei, lihat” Jane menunjuk kearah ufuk barat. Disana senja sedang menguning. Biasnya membuat langit dan gumpalan merona. Rei menatap sejenak, namun wajahnya tetap menunjukkan raut sedih. Baginya, langit tetap saja mendung.

“Ayolah, Rei. Tertawalah sebentar, nikmati dulu senja ini. Kau pantas bahagia lagi” Jane menepuk pundak Rei.

Hening sejenak. Rei dan Jane sama-sama terduduk diam. Di depan mereka, gulungan ombak saling berlomba untuk mencapai bibir pantai.

“Aku mau bertanya” Ucap Rei. “Bagaimana caranya memaafkan?” Lanjutnya. Matanya tetap menatap ombak.

“Maafkan dirimu dahulu, Rei. Bagaimana mungkin kamu memaafkan orang lain sementara diwaktu yang sama kamu masih membenci dirimu”

“Lalu setelah itu?”

“Berdamailah dengan keadaan” Jane menarik napas sejenak “Aku tahu kondisimu sekarang. Hari-harimu mungkin berjalan sangat berat. Semenjak kejadian itu, aku melihatmu bukan seperti Rei yang aku kenal. Kau banyak melamun. Tatapmu kosong seperti pikiranmu.” Jane menatap Rei.

“Berdamai dengan keadaan memang tidak mudah, Rei. Tapi kau harus mengerti, untuk mencapai kebahagiaan yang baru, kau harus menemukan dirimu yang dahulu. Bagaimana mungkin kau bisa bahagia kalau dirimu saja seperti ini” lanjutnya.

“Apa katamu? Menemukan dirimu yang dahulu?” Rei memastikan. kali ini ia balik menatap Jane. Alisnya terangkat.

“Iya. Temukan dirimu yang dahulu. Memangnya kenapa?” tanya Jane heran.

Rei tak menjawab. Matanya kembali menatap kearah gulungan ombak. Langit sudah hampir gelap.

“Diriku yang dahulu sudah mati, Jane” ucap Rei. Ia menutup matanya. Menarik napas dalam-dalam, dan mengingat lagi kejadian itu.

“Maksudmu?” Jane heran.

“Diriku yang dahulu sudah mati. Sesederhana itu. Mati tanpa ada yang menangisi, lalu dibiarkan membusuk. Oh, aku mengeri sekarang, Jane. Ternyata kematian diriku yang dahulu lah yang membuat aku tak bisa lagi bahagia. Semua bahagiaku ikut mati. Ah, sial!” Rei menggerutu. Tangannya mengepal.

“Aku tidak mengerti. Bagaimana bisa dirimu yang dahulu mati?” Jane masih bingung. Kepalanya memikirkan ucapan Rei yang tidak ia mengerti.

“Begini, Jane. Aku dulu bahagia. Kau tahu itu kan. Aku selalu bahagia ketika melihat mentari tenggelam di ufuk barat seperti tadi. Nah sekarang lihatlah aku. Aku tak lagi menikmati itu. Diriku yang dahulu telah mati, Jane. Diriku yang dahulu mati karena sakit hati. Bagaimana bisa aku bahagia lagi?” tegas Rei.

“Kau bodoh, Rei. Kau orang paling bodoh di dunia ini” ucap Jane. Rei menatap bingung.

“Kau lihat mentari yang tenggelam tadi? Apakah setelah tenggelam dia mati? Tidak, Rei! Dia hanya menghilang sejenak untuk kemudian esok pagi kembali lagi. Ah, aku tau ini analogi yang buruk, tapi ini bisa dijadikan pelajaran, Rei. Dirimu tidak mati, ia hanya terbelenggu oleh rasa sedih yang sementara”

Mereka berdua terdiam. Langit semakin gelap. Bintang yang berbinar terang telah siap menemani bulan yang hanya setengah.

“Bagaimana agar aku tidak sedih lagi?”

“Kamu butuh waktu” jawab Jane.

“Berapa lama?”

“Tanyakan itu pada dirimu sendiri, Rei. Cuma kamu yang bisa menjawab”

Rei menggangguk paham. Ia mengerti sekarang. Dirinya yang dahulu tidaklah mati, ia hanya digerogoti oleh sedih hingga hampir habis. Ia hanya butuh waktu yang entah sampai kapan, untuk bahagia kembali, untuk berdamai dengan keadaan, dan untuk memaafkan. Dirinya yang dahulu boleh saja mati karena sakit hati, tapi nanti akan kembali lebih kuat lagi. Rei percaya itu.

“Jane?” ucap Rei kemudian.

“Iya?”

“Lain kali belajarlah menganalogikan sesuatu dengan lebih baik”

“Sial!” Jane kesal.

Mereka berdua tertawa. Langit telah gelap. Ombak yang pasang beberapa kali menyentuh jari kaki Rei, seolah hendak menjemput kesedihannya dan menenggelamkannya.
Share:

Wednesday, January 17, 2018

Bara yang lara

Panggil ia Bara. Ia Laki-laki. Dan Ia sedang bingung.

Bara menyesap secangkir kopi hangat. Puluhan puntung rokok sisa kenikmatan bertumpuk dalam asbak di depannya. Sekarang pukul 3 pagi, ia belum tidur sedikitpun. Matanya merah. Entah karena kantuk yang ia tahan, atau karena tangis yang terbendung.

Bangsat! Gumamnya. Ia mendengus kesal. Ternyata secangkir kopi dan kebulan asap rokok belum mampu menenangkan pikirannya. Ia melangkah mendekati jendela kamar. Ia butuh udara segar. Udara Bandung yang dingin menampar wajahnya yang pasi. Diluar, suara jangkrik saling bersautan.

Bara kembali kedalam lamunannya. Matanya yang kosong menatap jauh kearah langit yang gelap. Ia tahu sekarang dibenaknya ada bayang yang selalu mengikuti. Lebih tepatnya bukan mengikuti, tapi bayang itu terbawa oleh Bara hingga mengganggu pikirannya. Bara ingin memeluk bayang itu, tapi belum mampu. Ingin ia jauhi bayang itu, tapi tak bisa. Ia sudah terpaut entah sejak kapan.

Bara tak menemui jawaban atas apa yang terjadi pada dirinya saat ini. Ia pernah mencoba bertualang jauh hanya untuk menenangkan jiwanya. Semuanya membaik saat itu, namun ketika ia kembali ke rutinitas, semua bayangnya ikut kembali. Hingga tadi ia coba menulis puisi untuk menumpahkan semuanya, namun yang ada ia semakin hanyut dalam bayang itu.

“Tidakkah kau melihatku sedikipun, wahai puan?” lirihnya pelah

Tidak ada yang menjawab. Bahkan suara jangkrik yang tadi berisik pun tiba-tiba berhenti, angin yang tadi berbisik di telinganya pun entah kemana. Semua seolah menertawakan Bara diam-diam.

Panggil ia Bara.
Ia ingin lesap,
Pada bayang seorang hawa
Namun ia telah terbelenggu
Pada sebuah kata dan rasa

Namanya Bara, dan ia sedang lara
Share: