Thursday, December 24, 2020

Akhir

desrezaarief.blogspot.com

Betapa kita adalah dua yang paling menyedihkan.

Pernah saling genggam hingga badai pun seolah tak mampu memisahkan, namun dengan mudahnya kita digoyahkan dengan satu tiupan angin pelan. Lalu kita tak tertaut. Tenggelam dalam pertanyaan yang tak mampu dijawab.  Hingga pada akhirnya tatap kita tak pernah lagi teduh, kecup tak pernah lagi ada untuk menguatkan. Sekejap kita menjadi asing yang paling mengenal. Pada sebuah akhir yang harusnya bahagia, kita menyedihkan.


Betapa kita adalah bahagia yang pernah singgah.

Bahagia pernah bertahta begitu megah pada kita. Sebisa mungkin kita menghindari duka karna sedikitpun aku tak ingin lihat matamu merah marah. Satu yang tak kita tahu, bahagia kita ternyata berbatas. Seolah ada waktu menunggu dengan jahat di ujung kisah. Dan entah pada detik keberapa, tak ada lagi tawa setelahnya dari wajah lucumu. Pada sebuah akhir dari perjalanan yang cukup panjang, kita memilih untuk pergi dan menyudahi singgah.


Betapa kita adalah luka yang harusnya tiada.

Kita hanya ingin bahagia saja pada awalnya. Saling memberi peluk saat hidup tak baik-baik saja. Saling menyembuhkan disaat dunia menjatuhkan. Saling ada saat yang lain tiada. Namun sebagaimanapun bahagia dipupuk, luka tetap memaksa tumbuh dan ada pada akhirnya. Membesar dan menganga hingga menutupi segala tawa. Pada sebuah angan yang kandas, luka harusnya tiada agar kita tetap memeluk bahagia.


Betapa kita adalah mimpi panjang yang singkat.

Kita pernah memimpikan sampai tua bersama. Aku akan menemanimu hingga hitam rambutmu tak lagi ada, kamu akan disampingku meski dekapku tak lagi hangat. Membayangkan tiap suka dan duka akan kita lewati dengan gagah. Namun kenyataan menghentikan apa yang kita damba. Pada sebuah mimpi panjang tentang kita, kenyataan akhirnya membangunkan dengan paksa dan parah.


Betapa kita telah berakhir. Akhir yang baik urung kita dapatkan. Akhir yang sempurna tak pernah jadi nyata. Begitulah kesimpulannya. Maka pergilah. Aku akan lupakan meski berat dan lama. Meski kelak pada satu malam yang panjang, ingatan tentang kita dengan deras datang. Membuka lagi luka di dada, membawa lagi semua yang seharusnya telah lupa.

Melangkahlah jauh bersama semua yang bukan aku. Dan, selamat tinggal.

Aku menyayangimu sebagai masa lalu.

Share:

Monday, November 23, 2020

Jendela Puan

desrezaarief.blogspot.com

Ada sebuah jendela. Berwarna cokelat dengan di beberapa tempat telah terkelupas, namun tetap kokoh melewati banyak musim. Terletak di lantai dua sebuah rumah di penghujung jalan. Menghadap ke arah barat. Jika sore tiba, semburat cahaya matahari yang berwarna seperti kulit jeruk menyapu dengan megah. Di balik jendela itulah dia sering terlihat. Rengganis.

Pukul 3 sore, selalu pukul 3 sore, perempuan itu selalu duduk menghadap keluar jendela kamarnya. Menatap entah apa, tak menengok ke arah lain kecuali ke depan. Hingga tepat pukul 6 sore ia beranjak. Menutup jendelanya lalu kembali menatap kelam sebagaimana biasanya.

Namanya Rengganis.

Kadang jika di musim panas, cahaya matahari langsung menyelimutinya di balik jendela. Membuat wajah tirusnya berwarna oranye. Pun begitu dengan rambut hitamnya yang sebahu ikut berkilau. Dan jika di musim penghujan, tampias hujan sedikit banyak membasuh wajahnya. Tak sampai kuyup memang, namun cukuplah membuat ia seperti sedang berpeluh layaknya pelari.

Namanya Rengganis.

Anak tunggal dari pasangan Jan Williem dan Maya Putri. Ayahnya adalah orang asli Belanda yang menikahi perempuan Jawa. Jan Williem merupakan pebisnis furnitur kayu di Belanda. Datang ke Indonesia dengan tujuan berlibur namun yang ia dapat adalah kekasih. Lalu seperti itulah singkatnya, ia bertemu Maya Putri dan kemudian menikah. Maka tak heran Rengganis mewarisi wajah khas Eropa dengan mata yang biru dan juga mewarisi tutur kata dan sikap yang lembut persis Ibunya.

Namanya Rengganis.

Ia berusia 20 tahun. Memiliki suara yang bagus untuk bernyayi di atas panggung megah. Ia juga pandai bermain gitar bahkan di kondisi gelap. Gitar pertamanya didapatkan saat ia berulang tahun ke 11 tahun. Sejak saat itulah ia mulai tertarik bermain gitar. Ia dibantu sang Ayah yang mengajarinya kunci-kunci dasar.

Namanya Rengganis.

Ia buta sejak lahir. Tak pernah melihat apapun kecuali gelap. Tak mengenal warna, tak mengenal wajah Ayah atau Ibunya. Wajahnya cantik, kata orang. Ia tak percaya sebab tak pernah melihatnya sendiri. Bahkan cantik pun ia tak tahu seperti apa.

Namanya Rengganis.

Yang ia tatap setiap sore dari jendela di kamarnya bukanlah pemandangan senja yang tenggelam di balik laut, bukan pula menatap burung-burung yang terbang memenuhi langit keemasan sore hari. Yang ia tatap hanya gelap. Yang ia lihat tak ada. Ia hanya duduk disana menikmati kehampaan dunia yang ditakdirkan padanya.

Namanya Rengganis.

Ia benci ketika orang-orang memuji warna bola matanya yang biru. Sangat benci. Sebab baginya itu tak berguna. Ia pernah berpikir untuk mencongkel bola matanya dan melemparkannya ke kucing jalanan yang sedang kelaparan. Toh tak akan mengubah apapun. Ia tetap tak dapat melihat. Namun setidaknya, orang-orang tidak lagi memuji keindahan bola matanya.

Namanya Rengganis.

Dari jauh, seorang pemuda sering diam-diam memandangnya dengan kagum. Bergumam betapa cantiknya ia. Tak peduli pemandangan matahari tenggelam di belakangnya juga indah. Ia tahu gadis itu buta, semua orang juga telah tau. Maka sangat mengejutkan ketika ia datang ke rumah Rengganis dan menemui Ayahnya untuk melamarnya.

“Tapi anakku buta”

“Maka aku akan menjadi matanya” jawab pemuda itu yakin.

Namanya Rengganis.

Ia berhak bahagia. Kelak dunianya tak lagi gelap. Kelak dunianya akan berwarna. Kelak ia “mempunyai” mata melalui lelakinya, Krisna.

Namanya Rengganis.

Ia tak lagi duduk sendirian di balik jendela kamarnya.


Share:

Thursday, October 22, 2020

Rayu

desrezaarief.blogspot.com

Harinya tiba. Hari dimana kita saling mengucapkan kata yang awalnya tak pernah kita inginkan : Perpisahan. Kita harus saling melonggarkan peluk yang selama ini membuat nyaman. Kita harus merelakan hati kembali kosong setelah diisi dengan banyak hal baik. Kita harus mulai melangkah dengan arah yang beda setelah tujuan kita tak lagi sama.

Besok, kita adalah dua manusia yang hanya sempat saling bersama. Aku akan mengenangmu dengan sebaik-baiknya kisah yang pernah ada. Mengenang setiap detik bahagia yang pernah menyelimuti kita. Mengenang waktu dimana kita saling bertengkar karena hal kecil. Hingga aku berharap jika kelak aku telah tua dan pikun, semoga kenangan tentang kita masih tetap terjaga dengan baik di sudut kepala.

Pintaku hanya kau bahagia saja. Dengan jalanmu, dengan pilihanmu, dengan segala keputusanmu nanti. Langkah terbaik untuk memulai kembali adalah dengan merelakan. Maka, aku minta kepadamu untuk merelakan dengan utuh, sebagaimana aku yang telah merelakan kita urung bersama. Kau, bahagialah bersama segala yang bukan aku.

Betapa kelak aku akan sangat merindukan kita. Merindukan tiap rayu yang tercipta, merindukan tiap tawa yang ada. Waktu benar-benar telah membawa kita jauh hingga ke titik ini, namun sayangnya waktu tak sanggup membawa kita untuk menjadi satu. Waktu tak mampu merayu takdir untuk mengubah jalannya. Waktu juga tak cukup kuasa merayu Tuhan kita.

Namun pada akhirnya kita memang harus memutuskan. Antara bertahan dengan perbedaan yang besar, atau antara bertahan dengan harus ada salah satu yang mengalah. Lalu jalan terbaik yang kita pilih adalah kita yang sama-sama mengalah. Sebab bagaimanapun, Tuhan kita tak sama. Akan sulit rasanya kita berdiri diantara beda yang mendasar.

Sekarang, rayu Tuhanmu. Minta untuk dapatkan sesosok yang lebih baik dari aku.


Share:

Tuesday, September 8, 2020

Bahagia Kita Baru Dimulai

desrezaarief.blogspot.com

Kita memasuki dunia yang sama. Dunia yang baru bagi kita. Dunia yang sebelumnya pernah kita mimpikan untuk digapai bersama. Dan sekarang, masing-masing kaki kita telah menapakinya. Kita adalah dua orang yang paling bahagia. Kita juga beruntung, sebab dunia ini beratapkan doa-doa baik dari orang-orang yang menyayangi kita.

Dan…

Perjalanan kita akan masih sangat panjang.

Pelukku sudah sepenuhnya kau miliki, maka peluk aku jika suatu saat kamu membutuhkan tenang. Sebab sesuatu yang tak perlu kita rasakan lagi ialah cemas. Cemas akan kehilangan, cemas akan sendiri, cemas akan tangan yang tak lagi saling merangkul. Aku akan ada di sisimu sampai selamanya. Menjadi orang yang paling setia menikmati senyummu hingga satu diantara kita terbujur kaku.

Perjalanan kita akan sangat menantang.

Tak mudah pasti. Akan ada banyak ranting yang siap melintang di jalan yang akan kita lalui. Kamu, genggamlah tanganku. Agar tak jatuh. Agar kita saling menguatkan. Perjalanan kita kelak akan menemui beberapa tawa atau tangis, akan singgah pada suka atau duka. Aku bilang sekali lagi, ini tak akan mudah. Maka jangan berpikir untuk berhenti di tengah langkah, sebab aku tak akan mampu berjalan sendiri.

Perjalanan kita tak selamanya baik-baik saja.

Akan ada masanya kita bertengkar. Menatap sinis satu sama lain. Akan ada masanya pula kita tak saling memeluk sebelum lelap. Memunggungi satu sama lain. Badai kecil seperti itu kelak akan menerpa kita. Bertahanlah untuk tak goyah. Kita adalah dua kepala yang beda dan mustahil untuk bisa selalu sama. Tapi perlahan kita akan belajar menurunkan ego. Bukan demi aku atau kamu, tapi demi kita.

Sebab…

Bahagia kita baru dimulai.

Nikmatilah tanpa perlu takut esok akan ada tangis atau tidak. Bahagia kita baru dimulai. Kamu memilikiku, aku dilengkapimu. Kita menggenap dari keganjilan yang lama. Kita memulai untuk sesuatu yang takkan ada akhir : saling mencintai.

Bagaimanapun beratnya apa-apa yang akan kita hadapi nanti, bagaimanapun susahnya kita akan bangkit lagi setelah jatuh nanti, bagaimanapun semua hal akan coba mengalahkan kita nanti. Bagaimanapun itu, kamu akan aku perjuangkan. Kita akan menang.

Share:

Sunday, August 2, 2020

Kau Adalah Apa yang Hatiku Pilih



Aku ingin jujur.
Sekali ini saja. Sebelum akhirnya aku akan pergi dan tak akan pernah kembali melihatmu.
Begini.
Aku kalah lagi. Kali ini oleh cinta yang ingin kumenangkan.
Banyak harap jatuh tanpa tapi.
Mengabaikan rasa.
Mengabaikan cinta yang perlahan aku tunjukkan.
Berdalih aku terlambat.
Padahal kau yang memang tak ingin melangkah bersamaku.
Cinta sebesar apa yang berhasil membawamu pergi?
Atau bual seperti apa yang buatmu berhasil mengabaikan?
Janji sehebat apa pula yang kemudian menghancurkan perahu yang tengah kusiapkan untuk kita berlayar bersama.
Tidak.
Aku sedang tidak menyalahkan pilihanmu.
Pergilah, lalu bahagialah.
Kelak kau juga akan tergantikan.
Aku hanya perlu waktu untuk kemudian bangkit dan melangkah.
Meski entah berapa lama.
Entah pula butuh berapa banyak lagi pura-pura.
Sebab bagian terbaik dari jatuh cinta adalah memiliki.
Dan aku kira, tak ada yang mampu langsung kembali setelah gagal memiliki.
Haruslah tertatih dahulu.
Apalagi kau adalah apa yang hatiku pilih, meski aku bukan apa yang ingin kau miliki.
Sudah.
Jujurku sudah.
Selamat tinggal, luka.

Share:

Saturday, July 4, 2020

Malaikat yang Terlihat


malaikat yang terlihat

Aku pernah terjatuh. Tersandung oleh kenyataan yang beda dari harap. Mendapati diri yang awalnya dipenuhi semangat tiba-tiba tersungkur di pojok kamar. Menangis. Memeluk lukaku sendiri. Alih-alih menyalahi, kau datang memberikan peluk yang sangat hangat. Olehmu, luka yang menganga perlahan sembuh.

Aku pernah mengecewakan, atau mungkin cukup sering. Aku sering memenangkan egoku sendiri. Akulah poros dari hidupku, pikirku kala itu. Bertingkah layaknya jagoan yang tak akan menemukan halang rintang. Lalu masalah-masalah hadir perlahan di jalan yang aku pilih. Aku mulai lelah, dan berpikir telah salah langkah. Namun alih-alih meninggalkanku dengan kecewa, kau masih berdiri di tempat yang sama. Menungguku pulang dengan segala beban di pundak. Kau dekap aku. Denganmu, langkah yang mulai goyah kembali gagah.

Aku pernah marah. Menganggap apa yang kau katakan adalah salah. Aku mengabaikan bahwa kau adalah sebaik-baiknya penuntun arah. Hingga aku lupa bahwa marahku berarti melukaimu. Marahku kemudian hanya menjadi sesal yang malu untuk diakui. Kau tersenyum, memaafkan tatkala aku harusnya bisa saja kau abaikan. Memaafkan disaat aku bahkan belum mengucapkan maaf. Memaafkanku lagi meskipun kelak aku marah lagi. Hatimu adalah muara terbesar dari kebaikan.

Kau tak pernah lelah, sekalipun aku penuh dengan salah. Kau selalu menuntun layaknya aku adalah anak umur 5 tahun. Kau selalu ada meski aku pulang dengan penuh darah. Kau meneduhkan disaat dunia penuh kejutan. Kau memeluk disaat yang lain mengutuk. Kau ada disaat yang lain memilih tiada. Kau api semangat yang tak akan pernah padam.

Dunia tak akan selalu baik kepadaku. Kelak, akan ada batu yang akan menyandung langkahku, akan ada badai yang siap menggoyahkan tegapku, akan ada gemuruh yang ingin menghentikan mimpiku. Disaat itu, aku tau kemana tempat untuk henti sejenak lalu kembali kuat : pada dekapmu yang hangat sekaligus menyejukkan serupa embun pukul 6 pagi. Aku menyayangimu. Menyayangi kalian, malaikatku yang terlihat.


Share:

Friday, June 12, 2020

Untuk Anakku

untuk anakku. desrezaarief.blogspot.com

Nak, dunia sedang tak baik-baik saja saat kamu pertama kali terbebas dari perut Ibu. Ada banyak kekacauan sejak awal tahun. Banyak tragedi dan kehilangan. Hingga ada sebuah wabah yang menyerang hampir seluruh dunia. Diantara kekacauan itu, kamu hadir, Nak. Tangismu membawa haru di ujung mata Ayah dan Ibu. Dunia sesungguhnya boleh saja sedang kalap, namun dunia kecil yang kita miliki bersama Ibu tidak.

Nak, ketakutan terbesar Ayah dan Ibu kala itu adalah kami tidak bisa melindungimu. Namun saat pertama kali kamu menangis di peluk Ibu, saat pertama kali tangan mungilmu menggenggam jari Ayah, saat itulah kami merasa bahwa kamulah yang menguatkan kami. Lemahmu memberi kami kekuatan untuk menjagamu dengan sepenuh-penuhnya sayang.

Ayah selalu mengingat tendangamu yang keras saat masih di dalam perut Ibu dulu. Tendangan yang selalu Ayah nantikan sesaat sebelum lelap. Kasian Ibu. Dia suka kaget kalau kamu menendang perutnya saat Ibu lagi bernyanyi. Suara Ibu jelek ya, Nak? Hahaha. Ayah juga tidak suka suara Ibu kamu kalo dia sedang marah-marah. Tapi tak apa, Nak. Nanti kalau kamu dimarahin karena kebanyakan makan es krim, bilang ke Ayah ya. Biar kita makan es krim diam-diam waktu Ibu lagi menyuci baju.

Nak, Ayah tak sabar melihat raut mukamu nanti saat pertama kali merasakan asamnya buah jeruk. Ayah juga sangat menantikan momen saat pertama kali kamu bisa melangkahkan kaki lalu berlari. Mendengarkan segala celotehmu saat mulai bisa berbicara, atau mendapatimu pulang menangis karena kelahi saat bermain. Nak, tumbuhlah menjadi sosok yang lebih hebat dari Ayah dan Ibu ya.

Jadilah kuat, Nak. Nanti luka bisa saja menikammu dari segala penjuru mata angin. Kelak mungkin kamu akan terjatuh karena kenyataan pahit. Kamu mungkin akan menangis di tengah malam karena lelah akan hidup. Langkahmu bisa saja goyah saat dihadapi banyak masalah. Kembali dan peluklah Ayah dan Ibu. Peluk Ibumu adalah tempat yang paling nyaman untuk segala luka, peluk Ayah adalah tempat yang paling hangat agar kau kembali kuat.

Nak, terima kasih telah menjadi pelengkap dunia kami. Terima kasih telah menjadikan Ayah dan Ibu lebih baik. Sekarang, izinkan Ayah dan Ibu menyayangimu lebih lama dari selamanya, lebih dari kami menyayangi diri kami sendiri.
Share:

Friday, May 22, 2020

Singkat Saja


Ternyata yang lebih singkat dari sementara adalah kisah kita.

Hanya sepenggal saja. Jikapun dijadikan sebuah buku, aku yakin hanya sampai kata pengantar saja. Sesingkat itu. Padahal awalnya kita merencanakan sebuah kisah yang bahkan orde barupun kalah lama.

Singkat saja. Kita saling jatuh cinta lalu tak lama kita saling jatuh luka. Penyebabnya adalah ketergesaan. Aku terlalu tergesa-gesa mencintaimu, tanpa memikirkan bahwa cinta haruslah diawali dengan perlahan. Tak perlu berkompetisi dengan waktu sebab mencintai sudah menghabiskan banyak waktu. Kita kehabisan bahan bakar untuk kembali bersama.

Singkat saja. Kita saling beradu unjuk untuk sekadar memperlihatkan bahwa akulah yang paling cinta. Kita lupa bahwa seharusnya tak perlu seperti itu. Berusaha menjadi yang paling hanya akan membuat kita semakin lemah. Padahal jika cinta ditunjukkan dengan sederhana akan semakin menguatkan.

Singkat saja. Pada saat kita di ambang bataspun kita masih berusaha untuk menunjukkan bahwa akulah yang paling patah. Seolah-olah semua jalan telah buntu. Kita lupa bahwa satu-satunya jalan untuk keluar dari kebuntuan tersebut adalah dengan menutup mata, lalu biarkan hati menuntun. Sebab pikiran tak dapat lagi diandalkan jika sudah dibanjiri amarah.

Pada akhirnya semua tak menjadi seperti apa yang pernah kita katakan. Mimpi kita larut bersama air mata yang mengalir melalui pipi. Satu-satunya hal yang tak akan aku lupa darimu adalah percakapan kita sore itu sepulang kerja. Disaat aku bertanya apa yang akan terjadi jika kita berhenti saling jatuh cinta, kamu menjawab “Kamu akan menderita”. Sesuai perkataanmu.

Seminggu setelahnya, kamu berhenti jatuh cinta. Sebab tak mungkin bagimu mencintai dua manusia sekaligus. Kamu terlalu lemah. Cinta hanya untuk manusia yang kuat agar mampu bertahan.
Sudah. Singkat saja. Aku tak ingin menulis kisah ini lebih dari 300 kata. Aku muak. Sebab terlalu singkat untuk kisah yang harusnya bisa selamanya.
Share:

Thursday, April 16, 2020

Aku Jatuh Hati Kepadamu Setiap Hari



“Aku jatuh hati kepadamu setiap hari” ucapku berbisik di telingamu. Angin berhembus pelan. Menggoyangkan anak-anak rambutmu.

“Haruskah setiap hari?” tanyamu kemudian. Aku menggangguk.

“Harus” jawabku. “Aku harus jatuh hati kepadamu setiap hari. Agar kelak jika kita telah tua dan aku hanya bisa terbaring di atas kasur, setidaknya aku masih punya satu kewajiban: mencintaimu” hening setelah itu. Semesta seolah mendengarkan dengan khidmat percakapan kita. Tak mau mengganggu dengan angin keras atau suara jangkrik. Aku menatap ke arahmu. Garis senyum di wajahmu adalah lengkung sempurna serupa pelangi.

Aku beruntung. Dua kata yang paling tepat untuk menggambarkan aku saat ini. Aku menemukan lautan tenang pada dalam tatapmu. Jantungku berdegup kencang tatkala aku mengetahui bahwa satu-satunya orang yang kau izinkan untuk menyelaminya adalah aku.

“Bagaimana kamu akan mencintaiku setiap hari jika kamu saat tua hanya bisa terbaring di atas kasur?” tanyamu serius sembari mengangkat alis kananmu.

“Kita akan berpetualang”

“Maksudmu?” kamu penasaran.

“Aku akan mengajakmu kembali pada masa awal kita bertemu. Di toko buku. Kita mencari satu buku yang sama kala itu. Namun buku yang tersisa hanya 1. Aku mengalah. Membiarkanmu memilikinya meskipun aku sangat ingin membaca buku tersebut saat itu. Karena merasa tak enak, kamu berjanji akan meminjamkannya begitu selesai membaca. Aku mengangguk. Kita bertukar nomor telfon setelahnya. Dengan mengalah, ternyata aku memenangkan hatimu” Kamu tertawa. Diikuti olehku.

“Kita akan berpetualang ke banyak kenangan saat kita tak bisa lagi melakukan apa-apa. Aku berjanji akan mengingatnya dengan baik untukku ceritakan lagi padamu kelak” lanjutku.

“Bagaimana kalau kenangannya telah habis” tanyamu lagi.

“Berarti aku telah pergi. Tenang kembali kepadaNya. Jika saat itu tiba, ketahuilah bahwa jeda antara kita berpisah hingga bertemu lagi adalah waktu yang akan sangat membosankan”

“Setelah kita bertemu lagi, apa kita akan jatuh cinta lagi?”

“Tentu. Masih setiap hari. Sebab denganmu, aku tak ingin hanya di dunia saja”

“Tapi, apa kamu juga akan mencintaiku setiap hari?” tanyaku kemudian.

“Tidak” jawabmu singkat. Aku menoleh aneh. “Aku akan mencintaimu setiap detik” tutupmu.

Aku beruntung. Dua kata yang sangat tepat ketika mengetahui bahwa kamu juga mencintaiku. Aku menemukan angka yang menggenapiku, aku menemukan arah mata anginku hingga aku tak perlu takut lagi tersesat, aku menemukan penenang dari debar jantungku hingga aku tak perlu takut lagi saat cemas, aku menemukan pelukmu yang lebih menenagkan dari suara debur ombak pagi hari. Aku beruntung. Aku menemukanmu. Kita menemukan akhir dari pencarian. Kita beruntung.
Share:

Sunday, March 29, 2020

Terserah Tuhan Saja


Aku benci mengenang, batinku dalam hati. Jalanan Jakarta macet sore itu. Aku berdiri dalam busway yang akan membawaku pulang ke rumah. Polusi suara klakson membuatku menyempalkan headset di kedua telinga. Memilih acak playlist lagu di aplikasi spotify yang sialnya memutarkan sebuah lagu dengan penuh kenangan. Aku menunduk. Aku benci ketidaksengajaan seperti ini.

Di antara lelah pulang kerja, di antara padat jalan raya, di antara desak dalam busway, kenangan itu membuncah tanpa ampun. Kembali berdatangan meski sebagian sudah buram. Aku menatap jauh ke luar jendela. Jakarta sedikit gerimis. Lebih jauh dari itu, hujan disertai gemuruh hebat terjadi di sekitar dadaku.

Hanya sesederhana dari sebuah lagu, sebuah kesedihan bisa menjadi sangat paripurna. Ingatan kita kadang terlalu kuat untuk hal-hal yang harusnya dilupakan saja. Syahdan, lagu yang aku dengar sudah memasuki bagian reffrein. Bagian inti dari lagu ini. Kenangan itu melaju kencang di antara kemacetan panjang. Menabrak dan meruntuhkan semua tembok-tembok pertahanan yang susah payah aku bangun. Aku kembali terbayang lesung di kedua pipinya, terbayang halus rambutnya yang sebahu, terbayang lembut suaranya meski sedang marah. Luka kembali menganga.

Ia memilih pergi hampir setahun yang lalu, tepat sehari sebelum hari ulang tahunku. Kado yang tak pernah diinginkan oleh semua orang. Ia memilih pergi, saat langkahku sudah siap membawanya pada kebahagiaan yang lebih. Ia memilih untuk mengakhiri, saat aku kira kita akan memulai lagi sebagai satu. Ia yang aku kira akan menjadi pendamping, malah memilih berpaling.

Ia meninggalkan bayang-bayang kelam tentang masa lalu. Membuat sebuah ketakutan akan memulai kembali. Lalu hidup kembali berjalan tidak sebagaimana mestinya. Beberapa harap yang terlanjur terbang, menukik tajam ke daratan. Hancur lebur bersama tetes air yang mengalir dari sudut mata. Hampir setahun berlalu, perihnya khianat masih saja menyayat.

Aku pernah meminta dengan sungguh kepada Tuhan. Berharap ia kembali lagi. Melanjutkan langkah kita yang sempat terhenti. Berharap ia menjemputku kembali, merangkul tanganku erat seolah tak ingin lepas. Merayu Tuhan sekuat tenaga. Mencoba meyakinkannya bahwa takdir ini salah. Aku mencoba menolak ketentuannya. Tapi Tuhan tetap menjawab tidak pada akhirnya.

Lagu yang aku dengarkan telah habis. Aku melepas headset di telingaku. Bising cakap manusia kembali terdengar. Aku menghela napas panjang. Sekarang terserah Tuhan saja. Aku tak ingin lagi meminta yang memang bukan untukku. Aku ingin bahagia saja. Meski ia telah pergi, sedang aku terus saja jatuh hati.

It's funny how everything I dreamed about
Starts to seem so empty without you

Penggalan lirik lagu Ben Rector – Love Like This yang tadi aku dengar masih terngiang jelas.

Share:

Thursday, February 27, 2020

Kita Yang Kembali Menjadi Asing



Bagaimana kemudian cara cinta bekerja adalah sebuah tanda tanya besar yang sulit untuk dijawab. Seseorang bisa saja jatuh berkali-kali meski disakiti berkali-kali pula. Alasannya kadang aneh. Padahal jatuh hati tak seharusnya diikuti dengan luka. Seseorang juga bisa pergi meninggalkan hati yang menjaganya. Hanya karena tak ingin lagi, enggan bersama. Padahal cinta harusnya hingga selamanya bukan sementara. Seseorang bisa saja jatuh cinta dengan banyak hati. Kesana-sini mengumbar setia. Padahal cinta sejatinya cukup satu. Menetap adalah perkara mudah namun tak dipilih.

Begitu pula kemudian cinta bekerja pada kita berdua. Sepasang yang tak lama. Genap yang urung. Seperti sia-sia semua yang kita perjuangkan. Namun begitulah cara kerjanya. Menggagalkan rencana-rencana. Membuat hujan di kedua sudut mata. Cinta ternyata tak hanya berkisah tentang keberhasilan namun juga kegagalan. Adalah keniscayaan jika kita menolak untuk menyadari.

Kamu adalah sebaik-baiknya tempat yang pernah aku jadikan rumah. Denganmu, akhir dari pencarian pernah begitu dekat. Lebih dekat dari debar jantung kita saat berpelukan. Denganmu, cinta pernah bertahta pada aksara berlafal kita. Yang pernah kita jaga bersama-sama, meski pada akhirnya usai juga. Denganmu, semua yang aku ingin adalah kita renta bersama. Menggenggam meski tak lagi kuat namun tetap hangat.

Kamu adalah alasan dari tiap raguku.

Kamu adalah henti dari langkahku.

Kamu adalah tiang dari langitku.

Kamu adalah isi dari hampa yang menggerogotiku.

Kamu adalah lecut dari lelahku.

Tapi kamu tak lebih dari sekadar cerita masa lalu. Embara kita telah berhenti. Pada sebuah persimpangan, kita memilih berpisah. Melanjutkan langkah masing-masing sambil membawa luka. Cinta bekerja tak seperti yang kita inginkan.

Aku berterima kasih kepada takdir, karena telah baik hati mempertemukan kita meski dalam waktu yang singkat. Kau adalah peluk yang selalu aku inginkan. Kau pernah menjadi segalaku atas semua kurangku. Meski hanya sebentar, meski tak lebih lama dari yang kita inginkan. Sekarang, mari cari bahagia kita sendiri-sendiri. Aku yang tanpamu dan kau yang tanpa aku. Kita yang kembali menjadi asing.

Share:

Friday, January 17, 2020

Untuk Perempuanku



Untuk perempuanku,
Kelak jika suatu hari kau baca ini, percayalah rasa yang aku miliki sejak menulis ini hingga akhirnya kau baca akan tetap sama. Kecuali kita yang semakin tua dan langkah yang semakin goyah, semua akan tetap sama. Aku tetap mencintaimu.

Untuk perempuanku,
Rambutmu yang sebahu itu kelak akan memutih. Minus di matamu mungkin kelak akan bertambah lagi. Lesung di pipimu akan layu. Kau akan semakin tua. Namun tangan yang akan menggengammu, tangan yang akan mengelus kepalamu sebelum tidur, dan tangan yang akan merangkul pundakmu kala berjalan akan tetap sama. Aku akan tetap menjadi tangan yang akan membimbingmu.

Untuk perempuanku,
Kelak saat kita sedang menikmati pagi hari dengan secangkir teh hangat, saat tak banyak lagi tenaga kita yang tersisa, kita akan kembali mengingat saat pertama kali kita bertemu. Di kantor kala itu. Senyum yang masih malu-malu dan lirik yang selalu curi-curi. Kita akan mengingatnya kembali, lalu menyadari bahwa setelah semuanya, kita masih saling memiliki.

Untuk perempuanku,
Kelak aku juga akan bercerita tentang aku yang terlambat menyapamu. Saat aku mendapatimu berjalan sendiri memasuki sebuah gedung. Pagi itu Jakarta sedang diguyur gerimis. Kau menutupi kepalamu dengan telapak tangan. Beberapa rintik hujan membekas membasahi baju kuningmu. Aku mempercepat langkah. Berharap dapat memberikan salam dan jabat tangan denganmu. Aku berbelok ke arahmu, dan syahdan, kau telah hilang di balik lift. Sapa pertama kita urung terjadi. Langkahku kurang cepat. Aku menundukkan kepala. Diantara rintik hujan yang kian banyak menyerbu, pagiku hari itu diawali dengan kecewa.

Untuk perempuanku,
Kelak saat kau sedang menangis, saat kau merasa bahwa dunia sedang tak baik denganmu, akan ada aku yang akan memelukmu. Memeluk raga dan seluruh hatimu utuh. Dekap aku, perempuanku. Luruhkan semuanya padaku. Sebab aku tak ingin ada tangis di matamu yang tajam. Kau bahagia saja. Sebab untuk itu aku berjuang.

Untuk perempuanku,
Kelak saat kita telah menjadi satu. Saat tak ada lagi aku atau kamu melainkan kita. Saat kau telah genapkan aku. Saat aku telah lengkapi kamu. Saat itulah kita telah merasakan surga tanpa perlu mati dahulu. Kecup di bibirmu akan menjadi candu, sebagaimana peluk yang akan selalu kau rindu.

Untuk perempuanku,
Kelak kau akan tahu bahwa hanya dengan pesonamu aku kalah telak. Rasa kian bergejolak setiap harinya hingga aku tak lagi mampu menolak atau berkata tidak. Aku hanya ingin kamu, dan itu mutlak.

Untuk kamu,
Yang kelak akan jadi perempuanku.


voor jou mol, met liefde.

Share: