Friday, December 28, 2018

Beberapa Harapan


Aku ingin menjadi tempatmu bercerita disaat keluh kesahmu tak mampu lagi terbendung.
Aku ingin menggenggam tanganmu lalu meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa kau tak perlu menangis lagi. Bahwa kau sepantasnya harus bahagia.
Aku ingin membuatmu tak pernah patah semangat. Seberat apapun ujian yang kau hadapi saat ini atau nanti, yakinlah bahwa kau akan menuntaskannya dengan baik.
Aku ingin membawakanmu seikat bunga tatkala kau berhasil melewati setiap tantangan yang kau hadapi.
Aku ingin kau tetap membumi tatkala keberhasilan membawamu terbang tinggi.
Aku ingin menjadi orang yang beruntung karena dapat melihatmu pertama kali setelah aku terjaga dari tidur.
Aku ingin meraih tanganmu, meyakinkanmu bahwa kita akan hidup bahagia bersama.

Lalu…
Kita akan menjadi pendengar yang baik disaat dunia pongah kepada kita.
Kita akan melewati semua masalah dengan saling bergandeng tangan. Kau akan ada disebelahku, begitupun sebaliknya.
Kita akan saling bercerita setiap sore di teras rumah. Ditemani teh hangat buatanmu yang terlalu manis.
Kita akan melawan dingin malam dengan membahas rencana-rencana masa depan, lalu diakhiri dengan satu peluk hangat sebelum mata terpejam.
Kita akan memulai pagi dengan satu gelas susu hangat, roti tawar dengan selai kacang, dan cerita tentang mimpi yang tak masuk akal, lalu ditutup dengan satu kecup di kening sebelum kerja.

Hingga…
Kita akan dibisingkan dengan tangis seorang anak bayi di siang dan malam.
Kita akan berbagi tugas untuk mengganti popok yang telah basah.
Kita akan kekurangan jam tidur karena ada yang akan menangis tak kenal waktu.
Kita akan menjaganya dari gigitan nyamuk dan semut.
Kita akan mengajarkannya berjalan, lalu mengenalkannya pada hewan-hewan dan tumbuhan.
Kita akan mengantarkannya ke sekolah untuk pertama kali dengan penuh rasa haru.
Kita akan dibuatnya bangga hari demi hari.

Setelahnya…
Kita akan keriput dan menua.
Kita mulai payah untuk sekadar melangkah.
Kita akan menjadi pelupa karena ingatan tak lagi punya daya.

Namun…
Kita akan tetap saling menggenggam meskipun tak sekuat dulu.
Kita akan tetap saling memeluk meski tak sehangat dulu.
Kita akan tetap saling menguatkan meski kita telah lemah.
Kita akan tetap terus bersama, hingga salah satu dari kita tiada.

Sederhananya…
Aku ingin memilikimu. Agar Tuhan tak sia-sia mempertemukan kita.




Share:

Tuesday, December 11, 2018

Sore Hari Di Jalan Dago

Sore hari di jalan Dago, kita mengawali pertemuan dengan tatap yang penuh malu. Oleh tatapmu, aku luluh. Setelahnya, aku selalu kembali ke tempat yang sama. Harapanku hanya satu; bertemu kembali denganmu. Beruntungnya, harapanku dikabulkan.

Dalam hati, aku selalu memintamu untuk tak terburu-buru saat kita bertemu. Duduklah sebentar di sebelahku. Ada kopi yang menunggu untuk kita sesap bersama. Ada cerita-cerita yang akan membuatmu tertawa. Ada jantung yang akan berdebar lebih dari biasanya saat kita kehabisan kata. Hingga entah pada temu keberapa, sapa pertama kita terjadi. Aku langsung jatuh hati.

Pada akhirnya, waktu berhasil membawa kita menjadi dua manusia yang berjanji untuk setia. Perlahan kita menghilangkan ragu hingga yang tersisa hanya rasa percaya. Tapi kita juga tak selalu baik-baik saja. Kadang kita bertengkar, marah, bahkan merasa kecewa. Namun dari sanalah kita belajar untuk menahan ego yang ada. Hingga akhirnya kita kembali bersama, tertawa dan bahagia.

Dan hari ini aku kembali lagi ke jalan Dago, tepat dua tahun setelah pertemuan kita dahulu. Dago semakin cantik, kenangan kita pun masih terekam jelas di berbagai sudutnya yang macet. Tak ada yang berbeda, hanya saja aku yang yang biasanya berdua denganmu disini, sekarang sendiri; kehilangan.

Sore hari di jalan Dago, kita pernah saling memiliki, sebelum akhirnya kita sama-sama pergi.


Share:

Saturday, December 8, 2018

Lelah


Aku pernah berharap terlalu lebih
Namun yang kudapat hanyalah penyesalan
Hingga kemudian kecewa menyelimuti

Lalu kita bertemu
Aku yang sudah lelah, kau paksa untuk kembali berharap
Dengan perhatianmu
Dengan senyummu
Dengan tatapmu yang selalu berhasil membuatku salah tingkah

Denganmu, kecewaku menguap
Denganmu, aku ingin kita hidup satu atap

Hingga akhirnya,
Aku yang telah membaik kau buat patah kembali
Aku yang telah terlanjur berharap kau buat kecewa sekali lagi
Kau telah dibahagiakan, bukan olehku
Aku telah dibohongi, tentu olehmu

Cinta sejatinya adalah tentang perjuangan untuk menggapai bahagia
Tapi aku menyerah untuk menggapainya. Aku punya rasa lelah.

Share:

Monday, November 19, 2018

Sebelum Dia


Dulu, aku yakin bahwa suatu saat kelak, kita akan saling berbagi cerita saat sore sepulang kerja. Entah itu di halaman rumah atau di depan ruang tv sembari menyesap kopi. Kita akan berbagi semua keluh kesah, lalu saling menyemangati layaknya seorang motivator. Lalu sore itu kita akhiri dengan sebuah kecup mesrah di kening.

Dulu, aku yakin bahwa jika nanti kita bersama, kita akan menjadikan sebuah peluk untuk menenangkan tiap debar. Kelak, akan banyak masalah yang akan kita hadapi setelah bersama. Aku tak mau kau menghadapinya sendiri. Hampiri aku. Peluk aku sekuat-kuatnya. Menangislah sejadi-jadinya. Hingga kau tenang. Hingga kita hadapi bersama masalah dengan saling menggenggam.

Tapi, keyakinanku hanya berlaku sebelum dia datang.

Genggangmu tak lagi erat setelahnya. Hati kita yang dulu seolah tak berjarak, perlahan mulai mengambil langkah untuk meninggalkan. Ah, lebih tepatnya kamu yang meninggalkan. Aku masih terpaku disini, bersama harapan yang kau patahkan.

“Maaf” katamu sore itu dengan kepala tertunduk. “Aku pamit”. Lalu kamu berdiri, kemudian melangkah pergi meninggalkan. Benar-benar meninggalkan. Setelahnya, seperti yang kamu tahu, aku hancur. Sementara kamu tidak.

Dulu, sebelum dia mengisi hatimu, ada aku yang dengan bodohnya merapikan puing hatimu yang sempat runtuh. Perlahan aku memperbaikinya dengan membuatmu tersenyum tiap hari. Hingga kemudian hatimu kembali utuh, dan aku ada di dalamnya.

Dulu, sebelum dia menjadi bagian hidupmu, ada aku yang selalu kau ingatkan untuk tak pergi. Katamu, meski apapun yang terjadi, kita harus tetap saling merangkul. Aku mengiyakan. Lalu kita mulai merencanakan masa depan, memilih warna apa yang cocok untuk rumah kita kelak dan memilih nama untuk kucing yang akan kita pelihara. Namun tak lama, kau malah berubah haluan.

Aku layaknya pelabuhan tempatmu bersandar sementara. Di pelabuhanku, kau menikmati tiap kisah yang kita buat. Aku melukismu diantara senja di ufuk barat. Di pelabuhanku pula, kau sempat membuat pencarianku berhenti. Bodohnya, kukira akulah pelabuhan terakhir untukmu, ternyata kau hanya singgah. Debur ombak tak kuasa menahan tambatmu lebih lama.

Tak apa. Pergilah sejauh mungkin. Tak usah kembali lagi. Tapi ingatlah satu hal. Dulu, sebelum dia yang memenangkan hatimu dengan mudah, ada aku yang mati-matian memperjuangkanmu.
Share:

Sunday, November 11, 2018

Aku Berhenti Menulis


Entah sudah berapa banyak aku menulis tentangmu
Tentang awal kita bertemu
Tentang kamu yang mencuri perhatianku
Tentang kamu yang ingin aku sapa tapi aku terlalu malu
Tentang kamu yang mengabaikan ajakku
Tentang kamu yang tak pernah menganggapku

Lalu, semua yang aku lakukan terasa percuma
Aku terlalu redup untuk menjadi terang di gelapmu
Bahkan tulisanku tak mampu untuk sekedar mencuri perhatianmu
Maka,
Aku berhenti menulis saja
Aku berhenti menjadikanmu sosok yang menjadi tokoh pada tiap tulisanku
Aku berhenti menjadikanmu ada dalam tiap bait puisiku
Aku berhenti menyakiti perasaanku sendiri

Aku berhenti menulis saja
Aku tak ingin sedihku menjadi abadi
Aku tak ingin mengenang kau yang tak pernah ada untukku
Sepertinya cukup untuk berharap terlalu jauh
Aku berhenti menulis saja
Biar kau usang
Biar kau mati hingga tak lagi aku ingat

Terima kasih telah menjadi nyawa dalam banyak tulisanku
Akan kupastikan aku akan luka jika kelak membacanya kembali
Share:

Friday, November 2, 2018

Jangan Takut Dengan Skripsi

“Kamu yakin mau ganti konsep programmnya? Nanti nggak beres loh skripsi kamu”

Kalimat dari salah satu dosen penguji waktu itu membuat saya terdiam beberapa saat. Berpikir. Mencerna apa yang selanjutnya harus dilakukan.

“Yakin, Pak. Saya usahakan bisa” Jawab saya mantap. Ruang dosen waktu itu mendadak lebih hangat. Bulir keringat mengucur di kening saya. Hari itu bimbingan pertama setelah selesai sidang seminar skripsi.

4 tahun lalu saat pertama kali menjadi mahasiswa, sesekali saya membayangkan bagaimana nanti saya akan menghadapi skripsi. Karna konon menurut cerita, dan menurut beberapa buku yang pernah saya baca, skripsi adalah momok yang paling menakutkan bagi setiap mahasiswa. Banyak yang gagal dan mengulang hingga banyak semester pada fase ini. Awal tahun ini, saat saya memasuki semester 8, saat itulah saya akan menghadapi momok paling menakutkan tersebut.

Tahap pertama, yaitu sidang proposal (pengajuan judul) alhamdulillah berhasil dilewati, meski harus menjalankan dua kali sidang. Lega karna sudah bisa skripsian tidak berlangsung lama, sebab setelahnya kegelisahan lain muncul lagi. Gimana nih cara ngerjain programmnya? Itu pertanyaan terbesar saya. Kuliah di jurusan teknik informatika mewajibkan kami harus membuat sebuah program saat skripsi. Kebetulan skripsi saya waktu itu membuat sebuah program android, yang saya sendiri pun belum pernah membuatnya. Modal saya cuma nekat dan yakin. Akhirnya dari sana saya mulai mencari banyak video referensi di youtube, baca-baca jurnal, sampe sharing ke temen yang lebih jago.

Kurang lebih 4 bulan berlalu, skripsi saya sudah siap untuk diseminarkan (disidang). Waktu itu bulan puasa, saya sidang pukul 11.30 siang. Kebayang kan gimana hausnya tenggorokan saat harus membacot selama satu jam di depan dosen penguji. Selesai sidang, mulut saya kemarau parah, pengen langsung buka puasa tapi takut dosa.

Selesai seminar, skripsi saya makin rumit. Konsep program yang sudah saya bikin ternyata kurang tepat dengan masalah. Jujur saya sempat pesimis pada titik ini. Apalagi kemudian mendapat pertanyaan dari dosen seperti pada pembukaan tulisan ini. “Kamu yakin mau ganti konsep programmnya? Nanti nggak beres loh skripsi kamu”. Saat itu di kepala saya sudah ada bayangan bahwa saya akan lulus tidak tepat waktu.

Setelahnya, saat saya sudah mulai down, hampir menyerah, saat itulah kekuatan dari silaturahmi sangat berguna. Saya langsung menghubungi temen yang baru saya kenal, yang juga menguasai tentang program yang saya bikin. Waktu itu saya minta langsung ketemuan dan langsung berguru kepada beliau. Ingat ya saya hanya minta diajarin bukan minta dibikinin. Setelah itu rasa optimis saya meningkat drastis. Yang awalnya udah putus asa sama skripsi tiba-tiba langsung semangat lagi. Hingga akhirnya saya bimbingan dengan membawa konsep baru dan setelah itu, dengan segala perjuangan, saya akhirnya bisa melanjutkan ke sidang akhir. Sidang yang dilewati dengan penuh kecemasan dan ketakutan, namun dihadiahi dengan kelulusan. Alhamdulillah.

Skripsi membuat saya merasakan bagaimana menjadi mahasiswa yang sebenarnya. Membaca banyak jurnal, rajin ke kampus tepat waktu, bekerja mati-matian demi deadline, dan banyak lagi. Banyak pengalaman saat skripsi yang membuat saya menjadikan skripsi sebagai waktu terbaik selama kuliah, mulai dari tidak tidur semalaman karna skripsi, nungguin bimbingan dari pagi sampai sore, tidur di lorong kampus karna nunggu dosen, lupa makan, saling menguatkan sesama teman, sampai was-was berminggu-minggu. Jujur beberapa kali saat sedang revisian, saya menangis. Menangis karna takut apa yang saya lakukan sejauh ini ternyata sia-sia, menangis karna takut mengecewakan orang tua, dan menangis karna beban skripsi yang semakin berat.

Skripsi secara tidak langsung melatih mental saya dalam menghadapi orang yang lebih tinggi statusnya, melatih keberanian saya dalam berpendapat, dan tentunya melatih kemampuan membacot saya. Karna kalau skripsi, jangan hanya mengangguk-angguk saja kalau lagi bimbingan, karna bisa jadi dosen pembimbing hanya mengetes penelitian kita, makanya harus menguasai apa yang kita teliti. Kalo enggak nanti bisa bingung sendiri.

Sekarang masa skripsi telah selesai, saya telah menyandang gelar sarjana. Pengalaman skripsi, bagaimanapun pahitnya, bagaimanapun jatuh bangunnya, bagaimanapun beratnya perjuangan yang telah saya lakukan, adalah pengalaman terbaik selama kuliah. Saya bersyukur bisa melewatinya dengan baik. Semoga kalian juga.
Share:

Tuesday, October 30, 2018

Pagi Itu, Mereka Pulang Ke Surga


Sang anak terlihat ceria meski hari masih sangat dini. Ia sedikitpun tak mengeluh harus bangun pagi-pagi, mandi disaat tubuh masih ingin bergulung dibalik hangatnya selimut, dan kemudian sarapan sambil menahan kantuk. Di perjalanan menuju bandara, wajahnya semakin berseri tatkala melihat pesawat-pesawat yang terparkir.

Sang Ayah dan Ibu tampak bahagia. Hari ini mereka akan pulang. Membawa serta anak yang telah dirindukan oleh kakek dan neneknya di kampung halaman. Pagi itu, keluarga kecil yang bahagia ini akan terbang pukul 6.20. Keluarga kecil itu akan pulang bersama penumpang lainnya.

Bandara Soekarno-Hatta selalu sibuk seperti biasanya. Tidak ada istilah sepi meski sedang pagi hari. Selesai melakukan chek-in dan meletakkan koper ke dalam bagasi, mereka menuju ke ruang tunggu. Ruang yang dipenuhi oleh banyak calon penumpang yang hendak bertolak ke Pangkal Pinang.

Di ruang tunggu itu, semua menantikan penerbangan dengan berbagai aktivitas. Beberapa orang menelpon sanak saudara di Pangkal Pinang, mengabarkan bahwa sebentar lagi ia akan pulang. Beberapa Ayah melakukan panggilan video dengan anaknya di rumah yang sedang bersiap berangkat ke sekolah. Ibu-ibu mengobrol membicarakan tentang pekerjaan atau tentang rumah tangga. Anak remaja lainnya memilih untuk bermain game online di gawainya.

Panggilan dari petugas untuk segera memasuki pesawat terdengar setengah jam sebelum jadwal keberangkatan. Para penumpang berdiri, memastikan tidak ada barang yang tertinggal dan kemudian bergegas untuk masuk ke dalam pesawat. Alhamdulillah tidak delay. Batin beberapa orang dari mereka.

“Ayah, kita akan pulang kan?”

“Iya, Nak. Kita pulang” Ucap sang Ayah tersenyum sambil memasangkan sabuk pengaman untuk anaknya. Sang Ibu kemudian mengecup lembut kening anaknya. Pesawat sudah siap di landasan. Sang pilot telah mendapatkan izin terbang. Semua sudah siap untuk pulang.

Pesawat yang mereka tumpangi terbang. Membawa 180 orang lebih. 13 menit kemudian berlalu, pesawat baru saja menyentuh lapisan pertama awan. Tepat di atas laut Karawang, pesawat tersebut membawa semua yang ada di dalamnya benar-benar pulang. Bukan pulang ke rumah masing-masing, tapi pulang ke pangkuan Tuhan.

Pagi itu, saat matahari baru saja muncul di ufuk timur, saat orang-orang baru saja memulai harinya di dunia, mereka telah memulai harinya di surga.

*Tulisan ini merupakan bentuk simpati saya terhadap korban pesawat Lion Air JT610 yang mengalami kecelakaan. Doa dan duka cita saya haturkan kepada korban dan keluarganya. Semoga korban diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa. Amin.

Share:

Thursday, October 18, 2018

Terima kasih, Bandung


Perjalananku dicukupkan. Beberapa hari sebelum meninggalkan kota ini, kenangan-kenangan lama sejak 4 tahun lalu menyeruak tanpa henti. Aku bagai seorang anak kecil yang menangis histeris tatkala ditinggal oleh ibunya ke pasar. Kenangan-kenangan itu membuat langkahku untuk meninggalkan Bandung semakin berat.

Aku masih ingat jelas bagaimana 4 tahun lalu saat pertama kali datang ke kota ini. Saat itu aku hanya seorang remaja yang sangat bahagia karna dapat menginjakkan kaki di kota Bandung. Kota ini adalah salah satu kota yang sangat ingin aku kunjungi. Bahagiaku tak terkira kala itu.

Perlahan aku mulai jatuh cinta dengan kota Bandung. Jatuh cinta dengan suasana kotanya, dengan sejuk hawanya, dengan ramahnya warga Bandung, dan banyak lagi. Oh iya, aku juga jatuh cinta dengan logat sunda yang menurutku unik-lucu-gemesh gimanaaaa gitu. Pun tak lupa jajanan kota Bandung yang bikin nagih, juga kedai kopinya yang ada dimana-mana. Sebab bagiku kedai kopi adalah tempat terbaik untuk menenangkan diri.

Beberapa hal berlalu dengan cepat. Aku akhirnya juga bisa berbicara menggunakan bahasa Sunda, hafal beberapa jalanan di Bandung, dan mulai terbiasa hidup di hawa yang cukup dingin. Aku semakin terikat dengan Bandung tatkala banyak sekali teman-temanku disini. Teman-temanku, merekalah yang selama 4 tahun ini mengisi hari-hariku di Bandung. Mereka adalah orang-orang yang hebat. Aku tetap diterima dengan baik meski kadang suka usil.

Ah mungkin aku yang terlalu spesial. Jadi mana mungkin mereka sanggup menjauhiku yang teramat lucu dan imut ini. Teman-temanku mungkin tidak mau mengakui bahwa aku adalah sosok yang akan sangat dirindukan. Tak apa. Mereka memang malu-malu seperti itu. Tapi dalam hati sangat peduli. Cih.

Setelah semua ini, aku akan mengingat kalian, semua teman-temanku di Bandung, sebagai salah satu bagian terbaik yang pernah aku miliki. Terima kasih untuk pernah saling menguatkan saat kita sedang berjuang, terima kasih untuk pernah membagi kebahagiaan saat kita bersama, terima kasih untuk pernah berbagi canda hingga kita lelah tertawa, terima kasih untuk semua kenangan yang telah kita ukir bersama. Akan aku bingkai dengan baik semua cerita yang kita buat untuk bekal tersenyum di hari tua kelak.

Aku membayangkan masa itu. Masa dimana kita telah menjadi tua. Menua di tempat masing-masing, renta dan semakin melemah. Lalu ingatan-ingatan tentang kita disaat muda menguatkan batin. Membawa kita pada titik rindu yang paling pilu. Tersenyum melihat foto-foto kita di waktu itu, tertawa tatkala mengingat setiap tingkah laku kita di waktu muda, menangis tatkala menyadari bahwa semua tak mungkin terulang lagi. Kelak saat itu kita hanya dapat memeluk kenangan melalui ingatan. Namun semoga dapat meredakan rindu yang menggebu.

Pada akhirnya, kita harus memilih jalan hidup masing-masing. Pada akhirnya, raga kita akan terpisah ratusan kilometer. Pada akhirnya, kita tak akan bisa lagi bertemu dengan mudah seperti dahulu. Pada akhirnya, pertemuan kita akan menjadi sebuah kenangan yang tak terlupakan. Dan pada akhirnya, aku akan mengingat kalian sebagai bagian terbaik yang pernah mengisi hariku.

Jika takdir membawaku kembali ke Bandung, tentu aku akan sangat bahagia. Tapi jika tidak, maka tak apa. Bandung sudah menjadi bagian penting dalam hidupku, tak mungkin lupa meski kelak daya ingatku melemah.

Sampai jumpa lagi, Bandung!
Titip teman-temanku disana.

*ditulis saat perjalanan meninggalkan Kota Bandung.

Share:

Thursday, September 27, 2018

Suatu Hari


Aku pikir, semua akan berakhir baik setelah apa yang terjadi selama ini.
Aku akan menggenggam tanganmu, memenuhi semua ruang kosong di hati. Kamu akan merangkul semua jatuh dan bangunku hingga aku kembali pulih, mendewasakanku yang kadang bersifat kekanak-kanakan.

Aku pikir, jatuh cinta kepadamu takkan pernah sia-sia.
Kita akan merawatnya hingga tak ada yang saling terluka, merayakan tiap bahagia atau amarah dengan peluk yang menenangkan, menyudahi tiap emosi yang memuncak dengan satu kecup mesrah di kening.

Aku pikir,
Aku akan memenangkan hatimu.

Aku menertawakan diriku sendiri tatkala mengingat lagi semua yang telah aku lakukan selama ini. Tentang aku yang salah melabuhkan hati, tentang aku yang percuma menaruh rasa, tentang aku yang tak kau anggap semua perjuangannya, tentang aku yang akhirnya patah hati sendiri.
Hati memilih diam, ia bagian yang paling terluka. Entah harus sebesar apa usahaku ke depan untuk memulihkannya kembali. Ada rasa getir yang menolak tiap kali aku berusaha untuk meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Memaksanya untuk segera pulih berarti membunuhku, sementara membiarkannya untuk terus larut dalam lara juga menyiksa.

Kamu memilih dia.
Pilihan yang membuat semua menjadi tidak baik-baik saja bagiku. Setidaknya hingga detik ini. Ternyata, yang berjuang untuk kita dapat bersama selama ini hanya aku, sementara kamu berjuang untuk dapat lepas dariku. Ternyata, yang menginginkan hati kita terpaut selama ini hanya aku, sementara kamu dengan berbagai upaya ingin agar kita tak bersatu. Ternyata, yang egois dalam mencintai selama ini hanya aku saja, sementara kamu sangat egois untuk tidak melihat semua yang aku berikan.

Kamu memilih dia.
Semua yang kutakutkan akhirnya terjadi. Pertemuan kita melahirkan takdir yang tak diharapkan bagiku. Pertemuan kita mengakhiri semua harap dan doa. Pertemuan yang akhirnya memisahkan kita.

Kamu bahagia sekarang, merayakan kemenangan atas pilihan hatimu.
Sedangkan aku….
Kaku pada sebuah sudut  ruangan yang dipenuhi kesal dan amarah.
Kesedihan menjadi raja dalam diriku.

Suatu hari,
Puisi-puisi ku tak lagi berkisah tentangmu. Meski kamu pernah menjadi nyawa dalam tiap baitnya, meski semua ingatan tentangmu kembali dengan kuat.

Suatu hari,
Rinduku bukan lagi untukmu. Meski kelak rindu mengetuk semua ingatan tentangmu, meski kepalaku dipenuhi dengan ingatan masa lalu, aku tak akan kembali.

Suatu hari,
Saat kau mulai menyadari semua yang telah aku lakukan, kau tak lagi mendapatiku yang selalu bangga mendampingimu. Aku telah pergi. Langkahku telah jauh meninggalkanmu. Membawa semua luka yang kau berikan.

Tapi suatu hari,
Kau akan menyadari bahwa doa terbaikku untukmu tak pernah pergi. Sebab, jika aku tak dapat mendampingimu, biar doaku saja yang menemani tiap langkahmu.

Share:

Tuesday, May 29, 2018

Semoga Kita


“Aku rindu”. Ucapmu lirih di ujung telepon.

Aku menghela nafas panjang. Meresap ucapanmu lamat-lamat. Bulir air keluar di ujung mataku.

Sudah pukul 1 dini hari. Rindu memang tak pernah mengenal waktu. Malam ini aku mengenangmu lagi melalui kenangan-kenangan sebelum kita terpisah karena jarak. Riak tawamu menyesakkan kepalaku. Aku tenggelam dalam lesung di daratan wajahmu.

Membiasakan diri untuk sesuatu yang tidak biasa bukanlah perkara mudah. Aku yang terbiasa menyandarkan kepala di pundakmu saat lelah, sekarang harus belajar untuk mengganti kebiasaan. Kamu yang terbiasa mengacak-acak anak rambutku saat kita duduk di beranda, sekarang harus menahan tanganmu yang jahil.

Sayangku,
kamu pernah bilang bahwa hidup akan tetap baik-baik saja meski kita terpaut oleh jarak. Dan saat ini, kita harus membuktikan kata-kata itu. Persetan dengan semua ragu yang akan menggoda. Memang ketakutan terbesarku adalah kehilanganmu, tapi keyakinanku untuk tetap menjadi rumah untukmu pulang jauh lebih besar. Maka, percayalah kita akan baik-baik saja. Aku akan tetap menjadi penenang di setiap gelisahmu dan kamu akan tetap menjadi arah untuk tiap langkahku.

Sayangku,
akan tiba sebuah masa dimana kita akan merasa bosan dan lelah. Mungkin engkau akan bosan menatap mataku hanya melalui layar gawaimu, atau mungkin aku lelah hanya bisa menyemangatimu lewat kata-kata bukan lewat peluk yang mesrah. Sayang, kita harus belajar bertahan dari semua tantangan. Berdirilah pada keyakinan untuk saling menetapkan hati. Kelak, saat kita telah sama-sama berhasil melipat jarak, akan kita rayakan setiap bosan dan lelah yang telah kita kalahkan.

Sayangku,
jika rasamu kepadaku mulai memudar karena jarak, tolong ingat aku yang sedang mati-matian menjaga rasa disini. Ingat aku yang menguatkan langkahmu saat kau ragu mengambil keputusan. Ingat aku yang selalu berusaha menghadirkan tawa saat harimu kelam dan muram. Sebagaimana aku yang juga akan selalu mengingat perjuanganmu. Kamu yang rela mendengarkan keluh kesahku hingga larut malam. Kamu yang sangat cemas saat tubuhku terbaring sakit dan lemah.

Sayangku,
Semoga kita tetap saling menguatkan saat keadaan mencoba untuk melemahkan.

“Aku juga rindu”. Balasku pelan.

Malam itu, kita tidur dengan memeluk rindu masing-masing.





Share:

Thursday, May 24, 2018

Bagaimana Jika?

Bagaimana jika aku yang selama ini kau abaikan, kelak akan menjadi orang yang akan mendekapmu hingga segala resahmu luruh?
Bagaimana jika aku yang selama ini cuma bisa menatap senyummu diam-diam, kelak akan menatap senyummu sebelum kita beranjak tidur di musim penghujan?
Bagaimana jika aku yang saat ini hanya bisa menyemangatimu lewat doa, kelak akan menjadi orang yang akan memberimu peluk dan kecup saat ragamu lelah?
Bagaimana jika aku yang sekarang bukan siapa-siapa di hatimu, kelak akan menjadi seseorang yang akan akan menjagamu dari bosan dan sepi, marah dan kecewa, hingga tangis dan murung?
Bagaimana jika kamu yang saat ini sedang bersama yang lain, ternyata ditakdirkan untuk menua bersamaku?
Tapi…
Bagaimana jika ternyata aku yang terlalu banyak berharap?



Share:

Tuesday, February 13, 2018

Pada Pelukmu Aku Ingin Kembali

Aku terduduk diam.
Menatap kosong kearah langit yang sedang memuntahkan hujan.
Kau yang dulu sering kuajak bercerita, kini entah sedang apa. Dingin dan gemuruh semakin membawa rindu.

Sial! Lagi-lagi aku teringat tentang kita dahulu. Seperti kamu yang suka meyandarkan kepalamu di pundakku. Lalu kamu hanya diam disana sembari memejamkan mata. Namun bagiku itu adalah ‘percakapan’ yang sangat dalam. Kamu menginginkan pundakku untuk merebahkan segala lelah disana, dan aku, aku dengan senang hati menyerahkannya kepadamu. Diam kita saat itu adalah percakapan tanpa suara, yang hanya dimengerti oleh kita berdua.

Kita tak pernah meminta untuk dipertemukan satu sama lain. Saat itu, waktu yang mempertemukan kita dengan sendirinya. Aku bahagia, tentu saja. Bertemu denganmu adalah sebuah kebaikan dari semesta. Bagiku, kamu adalah embun di pagiku, sebagaimana kamu yang menjadikanku poros semestamu. Lalu, waktu pula yang membawa kita hingga akhirnya menjadi saling terikat. Rasa yang ada pada diri kita semakin memekar. Hari-hari kita diisi dengan banyak tawa dan canda. Tanpa sadar, aku merindukan semuanya sekarang.

Hingga akhirnya waktu pula yang membawa kita saling terluka. Semua ceria dengan cepat dilahap habis oleh waktu. Aku membenci semuanya saat itu. Membenci diriku sendiri, kamu, waktu, pertemuan, hingga semua hal yang berkaitan dengan kita. Beberapa hal menjadi sangat berbeda setelahnya. Waktu membawa kita untuk saling melepaskan dan merelakan.

Sekarang, aku semakin terbiasa dengan kesendirian. Luka membuatku hanya bisa memelukmu melalui ingatan. Tak menghangatkan memang, namun setidaknya aku masih bisa merasakan debar itu. Debar yang kau beri saat pelukmu meluruhkan semua resahku. Sering aku mencoba melupakan bayangmu walau sejenak. Aku menyibukkan diriku pada banyak hal. Namun semua usahaku akhirnya kembali pada satu kesimpulan : Aku gagal. Aku tetap merindukanmu.

Terbiasa dengan kesendirian membuatku merindukan untuk sekedar duduk berdua denganmu. Tapi aku tak akan berharap banyak lagi. Jika kamu telah menemukan pundak seseorang untuk kau rebahkan kepalamu disana, aku akan mendoakan yang terbaik bagimu. Jika saat ini pelukmu telah dimiliki orang lain, aku akan merelakan semuanya. Dan jika hatimu telah berlabuh pada orang lain, aku akan melepasmu dengan senyum penuh ikhlas. Sebab bagiku, bahagiamu adalah hal yang paling utama. Meskipun bukan denganku.

Dulu,
Pada pelukmu aku ingin kembali.
Menata ulang rasa, memperbaiki semua salah, memulai kembali cerita.
Sebab hanya pada pelukmu, aku ingin bersandar hingga tiada.

Namun kemudian aku sadar. Ada keadaan yang memang tak baik jika terus dipaksakan. Maka,biarlah kita kemudian menjadi dua orang yang saling mendoakan dalam kebaikan. Tanpaku, kamu harus tetap bahagia. Tanpamu, aku akan belajar memperbaiki.
Share:

Saturday, January 27, 2018

Aku (bukan) Dilan

Akhir-akhir ini, Dilan menjadi pembicaraan dimana-dimana. Di setiap tongkrongan remaja-remaja alay, di kos-kosan, di kampus, bahkan sampai di warkop. Ah aku muak. Bisakah sejenak berhenti membicarakan Dilan? Lalu kita membicarakan tentang agresi militer Belanda I misalnya? Hmmmm.

Kamu kenal Dilan? Maksudku, kamu tau tentang Dilan? Sosok fiksi yang satu ini menjadi sosok idaman para wanita setelah dulu ada Rangga AADC. Karakternya memang beda. Rangga dengan sosok pendiam, sinis, dan suka baca puisi, sementara Dilan sosok yang gombal, caper sama Milea, dan hobi tawuran. Namun kesamaannya, sosok mereka berdua sama-sama disukai para wanita. Ah aku juga ingin.

Tapi…

Tapi aku bukan Dilan. Aku bukan orang yang bisa meramal nanti kita akan bertemu dimana. Jangan berharap seperti itu. Mungkin akan jadi romantis kalau misal aku ramal nanti kita ketemu di kampus, tapi lebih baik lagi kalau kita ketemuannya janjian aja. Kan kalau janjian aku bisa siap-siap dulu. Daripada aku ramal kita ketemuan di kampus tapi kamunya enggak ke kampus kan ramalannya gagal. Atau daripada aku ramal kita bertemu di kampus tapi ternyata kita bertemu di gang pas aku lagi pakai celana boxer dan baju partai. Kan malu.

Tapi aku bukan Dilan. Aku bukan orang yang bisa gombal seperti yang Dilan lakuin ke Milea. Jangan berharap seperti itu. Oleh Dilan, rindu saja bisa dibikin puitis. Tapi olehku, kalau rindu harus ketemu. Aku gak maksa kamu buat gak rindu karena rindu itu berat, aku mau kita rindu bareng-bareng. Biar nanti yang merasakan debar saat mau bertemu bukan cuma aku, tapi kamu juga.

Tapi aku bukan Dilan. Aku bukan orang yang bisa ngasih hadiah ulang tahun berupa TTS yang udah diisi. Jangan berharap seperti itu. Aku maunya kita yang ngisi TTS sama-sama, entah di kedai kopi, di perpustakaan, atau di lobi kampus. Ah pasti lebih seru bukan? Sambil ngisi TTS sambil cerita-cerita sampai lupa waktu.

Tapi aku bukan Dilan. Aku bukan orang yang harus menunggu sore dulu baru aku tahu aku cinta kamu. Jangan berharap seperti itu. Aku gak mau kamu menunggu. Kamu cantik, aku sudah menyukaimu dari subuh. Gak tau kalau kamu.

Tapi aku bukan Dilan. Aku juga tidak mau jadi Dilan agar kamu sukai. Aku cuma mau jadi diriku sendiri, yang kamu cintai sesuai dengan kenyataan, bukan sesuai dengan imajinasi. Aku cuma mau jadi diriku apa adanya, yang kamu cintai dengan semua kurangku, bukan dengan lebihnya saja. Aku cuma mau jadi diriku, lalu kamu cintai.

Aku bukan Dilan, jadi yang aku butuhkan bukan Milea. Yang aku butuhkan kamu. Sesederhana itu.­­­­­­­
Share:

Wednesday, January 24, 2018

Sekarang Kita Berpisah

Sekarang, beberapa hal tak lagi sama. Aku terbangun diawali dengan sesuatu yang berbeda. Tak ada lagi sapa pagimu, juga tak ada lagi semangat darimu. Semuanya melebur terbalut lirih.

Jika saja bukan karena keinginan untuk bangkit, mungkin sekarang aku sudah menjadi pesakitan disudut kamar. Mendekap sedih kedua lutut, meratapi ternyata patah hati bisa seperih ini. Namun menyesali kenyataan tak akan membuatmu lebih baik.

Diluar hujan. Gemuruh saling bersautan mengisi luas langit. Ah, semesta bisa saja membuatku teringat lagi tentang kita dulu. Waktu itu hujan pukul 3 sore, 15 menit sebelum jadwal keretamu berangkat meninggalkan Bandung. Kita yang saat itu sedang berada di sebuah tempat makan dikejutkan dengan hujan yang tiba-tiba. Raut wajahmu sedikit panik. Berulang kali kamu melihat jam yang melingkari tanganmu. Aku pun tak kalah panik. Akhirnya aku memutuskan untuk meminjam payung di tempat makan itu. Lalu kita melintasi hujan berdua. Payung yang tidak terlalu besar itu tak cukup melindungi kita dari hujan. Sisi kiri badanku dan sisi kanan badanmu basah oleh hujan. Aku tersenyum mengingatnya lagi.

Sekarang kita berpisah, setelah beberapa luka tak lagi bisa diobati. Ah, jika saja aku lebih mengerti saat itu, mungkin sekarang kita lagi duduk bersama di bangku taman. Memandangi langit yang temaram sembari meyesap kopi. Lalu bercerita tentang kita dimasa depan. Hingga kopi dan cerita kita habis, dekapmu lah yang menghangatkan.

Sekarang kita berpisah, setelah langkah kita tak mampu lagi berjalan berdampingan. Jika saja saat itu ego kita bisa dikalahkan, mungkin sekarang aku masih menjadi orang yang kau kabari di setiap pagi dan menjadi orang terakhir yang kau ajak bicara sebelum tidur. Atau aku masih menjadi sesorang tempatmu bercerita tentang banyak hal. Mulai dari cerita tentang temanmu yang menyebalkan, mata kuliah yang tidak kau sukai, atau cerita tentang makanan apa yang ingin kau cicipi nanti bersamaku.

Sekarang kita berpisah, meninggalkan luka, menyisakan kenangan, menyesali pertengkaran, mensyukuri pertemuan. Tidak. Aku tidak membencimu sama sekali. Bagaimana mungkin aku membenci seseorang yang pernah ada di hidupku. Bagaimana mungkin aku membenci seseorang yang pernah mencuri hatiku dengan cara termanis. Aku pastikan, kau menjadi bagian termanis dari cinta yang pahit.

Sekarang kita berpisah, untuk menyembuhkan hati hingga siap kembali. Pergilah dulu. Berjalanlah tanpa adanya aku, berbahagialah tanpa adanya aku, sebagaimana aku akan melakukan hal yang sama. Luka di hati kita mungkin akan berbekas, namun seiring berjalannya waktu, semua akan menjadi baik lagi.

Sekarang kita berpisah. Darimu aku belajar satu hal, bahwa bagian tersulit dari perpisahan adalah bukan mencari seseorang yang akan mengisi kembali hati kita, tapi bagaimana berdamai dengan cerita kita yang berjudul kenangan.

Jangan bersedih lagi. Kau pantas lebih bahagia.
Share:

Saturday, January 20, 2018

Rei

“Rei, lihat” Jane menunjuk kearah ufuk barat. Disana senja sedang menguning. Biasnya membuat langit dan gumpalan merona. Rei menatap sejenak, namun wajahnya tetap menunjukkan raut sedih. Baginya, langit tetap saja mendung.

“Ayolah, Rei. Tertawalah sebentar, nikmati dulu senja ini. Kau pantas bahagia lagi” Jane menepuk pundak Rei.

Hening sejenak. Rei dan Jane sama-sama terduduk diam. Di depan mereka, gulungan ombak saling berlomba untuk mencapai bibir pantai.

“Aku mau bertanya” Ucap Rei. “Bagaimana caranya memaafkan?” Lanjutnya. Matanya tetap menatap ombak.

“Maafkan dirimu dahulu, Rei. Bagaimana mungkin kamu memaafkan orang lain sementara diwaktu yang sama kamu masih membenci dirimu”

“Lalu setelah itu?”

“Berdamailah dengan keadaan” Jane menarik napas sejenak “Aku tahu kondisimu sekarang. Hari-harimu mungkin berjalan sangat berat. Semenjak kejadian itu, aku melihatmu bukan seperti Rei yang aku kenal. Kau banyak melamun. Tatapmu kosong seperti pikiranmu.” Jane menatap Rei.

“Berdamai dengan keadaan memang tidak mudah, Rei. Tapi kau harus mengerti, untuk mencapai kebahagiaan yang baru, kau harus menemukan dirimu yang dahulu. Bagaimana mungkin kau bisa bahagia kalau dirimu saja seperti ini” lanjutnya.

“Apa katamu? Menemukan dirimu yang dahulu?” Rei memastikan. kali ini ia balik menatap Jane. Alisnya terangkat.

“Iya. Temukan dirimu yang dahulu. Memangnya kenapa?” tanya Jane heran.

Rei tak menjawab. Matanya kembali menatap kearah gulungan ombak. Langit sudah hampir gelap.

“Diriku yang dahulu sudah mati, Jane” ucap Rei. Ia menutup matanya. Menarik napas dalam-dalam, dan mengingat lagi kejadian itu.

“Maksudmu?” Jane heran.

“Diriku yang dahulu sudah mati. Sesederhana itu. Mati tanpa ada yang menangisi, lalu dibiarkan membusuk. Oh, aku mengeri sekarang, Jane. Ternyata kematian diriku yang dahulu lah yang membuat aku tak bisa lagi bahagia. Semua bahagiaku ikut mati. Ah, sial!” Rei menggerutu. Tangannya mengepal.

“Aku tidak mengerti. Bagaimana bisa dirimu yang dahulu mati?” Jane masih bingung. Kepalanya memikirkan ucapan Rei yang tidak ia mengerti.

“Begini, Jane. Aku dulu bahagia. Kau tahu itu kan. Aku selalu bahagia ketika melihat mentari tenggelam di ufuk barat seperti tadi. Nah sekarang lihatlah aku. Aku tak lagi menikmati itu. Diriku yang dahulu telah mati, Jane. Diriku yang dahulu mati karena sakit hati. Bagaimana bisa aku bahagia lagi?” tegas Rei.

“Kau bodoh, Rei. Kau orang paling bodoh di dunia ini” ucap Jane. Rei menatap bingung.

“Kau lihat mentari yang tenggelam tadi? Apakah setelah tenggelam dia mati? Tidak, Rei! Dia hanya menghilang sejenak untuk kemudian esok pagi kembali lagi. Ah, aku tau ini analogi yang buruk, tapi ini bisa dijadikan pelajaran, Rei. Dirimu tidak mati, ia hanya terbelenggu oleh rasa sedih yang sementara”

Mereka berdua terdiam. Langit semakin gelap. Bintang yang berbinar terang telah siap menemani bulan yang hanya setengah.

“Bagaimana agar aku tidak sedih lagi?”

“Kamu butuh waktu” jawab Jane.

“Berapa lama?”

“Tanyakan itu pada dirimu sendiri, Rei. Cuma kamu yang bisa menjawab”

Rei menggangguk paham. Ia mengerti sekarang. Dirinya yang dahulu tidaklah mati, ia hanya digerogoti oleh sedih hingga hampir habis. Ia hanya butuh waktu yang entah sampai kapan, untuk bahagia kembali, untuk berdamai dengan keadaan, dan untuk memaafkan. Dirinya yang dahulu boleh saja mati karena sakit hati, tapi nanti akan kembali lebih kuat lagi. Rei percaya itu.

“Jane?” ucap Rei kemudian.

“Iya?”

“Lain kali belajarlah menganalogikan sesuatu dengan lebih baik”

“Sial!” Jane kesal.

Mereka berdua tertawa. Langit telah gelap. Ombak yang pasang beberapa kali menyentuh jari kaki Rei, seolah hendak menjemput kesedihannya dan menenggelamkannya.
Share:

Wednesday, January 17, 2018

Bara yang lara

Panggil ia Bara. Ia Laki-laki. Dan Ia sedang bingung.

Bara menyesap secangkir kopi hangat. Puluhan puntung rokok sisa kenikmatan bertumpuk dalam asbak di depannya. Sekarang pukul 3 pagi, ia belum tidur sedikitpun. Matanya merah. Entah karena kantuk yang ia tahan, atau karena tangis yang terbendung.

Bangsat! Gumamnya. Ia mendengus kesal. Ternyata secangkir kopi dan kebulan asap rokok belum mampu menenangkan pikirannya. Ia melangkah mendekati jendela kamar. Ia butuh udara segar. Udara Bandung yang dingin menampar wajahnya yang pasi. Diluar, suara jangkrik saling bersautan.

Bara kembali kedalam lamunannya. Matanya yang kosong menatap jauh kearah langit yang gelap. Ia tahu sekarang dibenaknya ada bayang yang selalu mengikuti. Lebih tepatnya bukan mengikuti, tapi bayang itu terbawa oleh Bara hingga mengganggu pikirannya. Bara ingin memeluk bayang itu, tapi belum mampu. Ingin ia jauhi bayang itu, tapi tak bisa. Ia sudah terpaut entah sejak kapan.

Bara tak menemui jawaban atas apa yang terjadi pada dirinya saat ini. Ia pernah mencoba bertualang jauh hanya untuk menenangkan jiwanya. Semuanya membaik saat itu, namun ketika ia kembali ke rutinitas, semua bayangnya ikut kembali. Hingga tadi ia coba menulis puisi untuk menumpahkan semuanya, namun yang ada ia semakin hanyut dalam bayang itu.

“Tidakkah kau melihatku sedikipun, wahai puan?” lirihnya pelah

Tidak ada yang menjawab. Bahkan suara jangkrik yang tadi berisik pun tiba-tiba berhenti, angin yang tadi berbisik di telinganya pun entah kemana. Semua seolah menertawakan Bara diam-diam.

Panggil ia Bara.
Ia ingin lesap,
Pada bayang seorang hawa
Namun ia telah terbelenggu
Pada sebuah kata dan rasa

Namanya Bara, dan ia sedang lara
Share: