Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Sunday, August 18, 2019

Surat Untuk Ann


Apa kabar, Dewiku?
Ann, sudah setahun lebih sejak terakhir kali kita bertemu. Aku masih ingat semuanya, Ann. Tentang pertemuan pertama kita sore itu, tentang ketakutanku saat kukira engkau marah saat aku cium, percakapan-percakapan kita di sebelah Bowok, juga tentang cumbu pertama kita.

Ann,
Aku dan Mama disini baik-baik saja. Percayalah. Meski sesekali aku mendengar Mama menangis sesegukan pada malam hari dari balik kamarnya. Mungkin ia rindu sama kamu, Ann. Oh iya, usaha yang aku dan Mama mulai setelah kejadian kelam yang memisahkan kita itu, perlahan-lahan sudah mulai membaik. Darsam, Pono, dan beberapa pekerja lain masih setia bekerja bersama kita.

Ann,
Aku merindukanmu pada tiap sudut rumah ini. Aku masih bisa merasakan kehadiranmu, Ann. Wangi khas tubuhmu melekat di banyak tempat. Aku merasa sering ditemanimu duduk berbicara di teras rumah, hingga kemudia Mama menyadariku bahwa kau telah jauh disana.

Dendamku pada londo-londo bajingan itu memuncak tatkala aku teringat bagaimana ia memisahkan cinta kita. Sumpah serapah terburukku selalu keluar ketika aku melihat orang-orang Eropa jahanam itu. Tapi aku tak punya kekuatan yang lebih, Ann. Pribumi seperti diriku masih menjadi budak di negeriku sendiri. Kami, pribumi Indonesia, kalah dalam bersaing. Tapi aku janji, Ann. Aku akan mengalahkan orang-orang kulit putih itu tanpa henti. Bukan dengan otot, tapi dengan tulisan-tulisanku yang akan dimuat di surat kabar. Melalui tulisan, aku berjanji akan membangkitkan semangat perjuangan pribumi disini.

Aku juga belajar satu hal penting setelah kejadian itu, Ann. Bahwa benar kata temanku, untuk memanusiakan manusia, kita sudah harus bersikap adil sejak dalam pikiran. Dan itu yang tak dimiliki oleh Belanda bajingan disini. Keadilan hanya untuk mereka ras putih, sementara untuk pribumi totok, keadilan tak pernah berlaku.

Ann,
Bagaimana kabarmu di Belanda? Apakah bunga-bunga tulip disana menjadi tersaing keindahannya sejak kehadiran dirimu? Apa di Belanda ada yang memanggilmu mbakyu juga seperti disini? Terakhir aku baca surat darimu, katanya kau rindu dongeng dariku. Hahaha sial. Kenapa kau hanya merindukan dongeng dariku dan bukan diriku, Ann?

Ann,
Bersabarlah menunggu aku. Tak lama lagi, Ann. Aku berjanji akan menyusulmu kesana. Belanda hanya memisahkan raga kita, Ann. Tapi untuk hati, kita tak pernah berpisah.

Annelies Mellema, istriku sayang,
Seluruh aku tetap mencintaimu.

Suamimu,
Minke.


Share:

Sunday, April 21, 2019

Anak Kolong Jembatan


“Pak, kenapa rumah kita di bawah kolong jembatan?” tanya Andhra saat sedang makan siang bersama Ibu Bapaknya. Sang Bapak terdiam. Mulutnya yang tadi sedang mengunyah nasi terhenti sejenak. Ia menatap ke arah sang Ibu yang pura-pura tidak mendengar.

“Ngg.. coba tanya sama Ibu. Bapak mau cuci tangan dulu” jawabnya sambil bangkit menjauh.

“Kenapa, Bu?” Andhra masih penasaran.

“Begini, sayang. Emangnya kenapa kalo rumah kita di bawah kolong jembatan? Yang penting kan Andhra sehat. Masih bisa sekolah, bisa main sama temen-temen disini” ucap Ibunya sambil mengusap kepala Andhra.

“Iya, Bu. Tapi temen-temen Andhra di sekolah gaada yang rumahnya di bawah kolong jembatan. Terus mereka juga punya WC, gak kayak kita yang kalo mau buang air harus ke kali dulu”

“Sshhh. Udah udah. Abisin cepet makannya. Nanti diambil kucing” alih sang Ibu. Andhra kemudian menghabisi makan siangnya sebelum bergegas pergi bermain. Sebuah telur dadar dibagi tiga adalah menu makan siang mereka hari ini.

“Andhra sudah beranjak besar, Bu” ucap Bapaknya yang baru kembali dari mencuci tangan.

“Tapi belum cukup besar untuk tahu semuanya, Pak”

“Tapi mau sampai kapan? Sampai dia siap?”

“Bukan, Pak. Sampai kita yang siap” jawab Ibunya. Sang Bapak kemudian diam. Makan mereka siang ini terasa berbeda.

“Yasudah. Bapak mau memulung lagi. Assalamualaikum” ucapnya pamit. Tak ada kopi untuk siang ini. Gula yang mereka beli seminggu yang lalu sudah habis, juga kopinya. Andhra yang melihat Bapaknya hendak pergi kemudian menghampiri. Memberi salam serta melambaikan tangan. “Hati-hati Bapak” ucapnya.

Bapak Andhra, yang telah berumur 54 tahun itu menarik gerobaknya sejauh mungkin. Matanya telah terlatih jeli melihat sampah-sampah yang bisa ia kumpulkan untuk kemudian dijual. Gerobak yang ia gunakan untuk memulung merupakan gerobak yang sama yang ia gunakan sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Di sisi kiri gerobak itu, terdapat sebuah kata yang merupakan semangat baginya saat bekerja, “Andhra” anak semata wayangnya.

Dahulu, saat ia dan sang istri baru menikah, mereka sempat merasakan tinggal di rumah kontrakan berukuran 4 x 5 meter yang cukup layak meskipun berada di gang sempit dan padat. Namun Jakarta bukanlah kota yang ramah bagi ia yang hanya bekerja serabutan. Keadaan harus membuat mereka berpindah-pindah karena tak mampu membayar uang sewa hingga akhirnya memutuskan untuk membangun sebuah rumah liar di bawah kolong jembatan. Bertahun tinggal di bawah kolong jembatan, disanalah kemudian mereka menemukan Andhra, anak mereka.

Suara tangis bayi terdengar pukul 2 malam tak jauh dari rumah mereka. Istrinya yang pertama kali mendengar kemudian membangunkan suaminya untuk memeriksa. Suara bayi tersebut berasal dari sisi kanan jalanan, dari dalam sebuah kardus mi instan. Bayi laki-laki yang masih merah dan masih memiliki tali pusar tersebut menangis kelaparan. Tak ada apa-apa yang ditinggalkan oleh sang pemilik bayi kecuali sebuah kertas bertuliskan “Tolong rawat anak saya”. Mereka berdua menangis terharu kala itu. Merasa bahagia karena akhirnya memiliki bayi yang tak bisa mereka dapatkan selama pernikahan. Setelah bersepakat, bayi laki-laki tersebut diberi nama Andhra, yang berarti berani dan kuat.

Andhra telah berusia 9 tahun saat ini, dua bulan lagi ia menginjak usia 10 tahun. Hidup di jalanan, di bawah kolong jembatan, membuat ia terbiasa dengan kebisingan dan lingkungan yang kumuh. Tak ada pilihan lain bagi Andhra ataupun orang tuanya. Menjalani dan mensyukuri keadaan adalah cara berdamai yang terbaik.

Di bawah kolong jembatan ini, di balik sebuah rumah berdinding triplek, Bapak dan Ibu Andhra mempersiapkan sebaik mungkin demi masa depan anaknya agar kelak tak lagi hidup disini, sebab ia juga bukan berasal dari kolong jembatan. Juga, ada satu hal yang harus mulai mereka persiapkan dan pikirkan bersama, yaitu sebuah jawaban apabila suatu hari Andhra bertanya “Pak, Bu, saya ini sebenarnya anak siapa?”

*Terinspirasi dari anak-anak yang hidup di bawah kolong jembatan di Jakarta. Tetap semangat! Masa depan yang lebih baik menanti kalian*

Share:

Friday, April 10, 2015

Cerita Anak Kost

Suatu hari Asrul yang sedang kelaparan hanya bisa guling-guling di kamar kostnya. Tak ada makanan, tak ada minuman, bahkan duit pun tak ada. Yang ada hanya Asrul dan sebongkah harapan untuk tetap bertahan hidup. Karena tak kuat lagi menahan lapar, akhirnya Asrul pergi ke kosan temannya untuk menumpang makan.

“Jer, minta makan dong. Gue udah tiga hari nih nggak makan” Pinta Asrul memelas. Matanya berbinar mengeluarkan air soda.

“Sama, Srul. Gua malah udah empat hari nggak makan. Nih dari kemaren cuma ngemil detergen doang. Mau?” Tawar Jeri yang lebih mengenaskan. Tubuhnya terlihat dipenuhi lalat. Ternyata dua orang sahabat ini sama-sama dalam kondisi sulit sebagai anak kost.

“Wah kok detergen lo rasa bawang goreng. Beli dimana?” Tanya Asrul penasaran.

“Udah jangan banyak tanya. Sikat aja”

“Eh gimana kalo kita keliling nyari makan? Kali aja ada pesta pernikahan. Kan lumayan bergizi tuh” Ajak Asrul semangat.

“Bener juga lo. Yuk berangkat. Jangan lupa bawa tas. Kita bungkus banyak buat bekal di kosan”

Kedua sahabat tersebut akhirnya bergegas mencari tempat pesta pernikahan.

*****

Nahh, apa inti dari cerita singkat diatas? Intinya, anak kost itu punya banyak cara untuk bertahan hidup. Seperti yang diketahui pada umumnya, jadi anak kost itu tidak selalu menyenangkan. Ada kalanya anak kost menderita dan susah. Apalagi kalo sudah mendekati akhir bulan. Kalo nggak pinter-pinter menghadapinya, tamat sudah riwayat.

Seperti yang dibilang di atas, jadi anak kost itu harus pinter-pinter. Pinter dalam semua hal yaa, termasuk dalam mengelola keuangan. Kecuali kalo kalian sebulannya dikirim satu miliar sama orang tua. Itu mau ngapain juga gak masalah. Masalahnya gimana kalo yang sebulannya dikirim pas-pasan? Nah disinilah anak kost harus pinter mengelola duitnya. Maksudnya gini, jangan mentang-mentang awal bulan, ATM masih gemuk, terus kalian tiap hari makan di restaurant, nge-mall, beli batu akik, batu bata, semen, ngeborong deodorant. Ngapain coba? Emang ketek kalian ada berapa? Kalo kayak gitu, rasa-rasanya mau berapapun dikirim uang sama orang tua juga gak bakalan cukup. Kenapa? Karena gaya hidup kalian terlalu tinggi.

Jadi anak kost itu perlu kesadaran diri juga. Boleh bergaya hidup mewah, tinggi, tapi itu kalo kalian udah berpenghasilan saat jadi anak kost atau yang tadi, yang sebulan dikirim satu miliar. Nah buat yang gak bisa, jangan dipaksain. Jangan mementingkan ego. Ingat aja kuliah atau sekolah itu mahal. Gak kasian sama orang tua yang udah banting tulang siang malam demi kita anaknya? Nah kalo udah ada kesadaran diri kayak gitu, yakin deh kalian pasti akan terus merasa cukup. Karena cukup atau tidaknya itu bukan tergantung dari besar kecilnya uang yang dikasih sama orang tua kita, tapi tergantung bagaimana kita mengelolanya.

Selain masalah keuangan, anak kost itu juga identik dengan yang namanya jorok, kamarnya berantakan, baju jarang dicuci, dan semacamnya. Nah saya sebagai lelaki yang cinta kebersihan ingin merubah pandangan buruk itu. Hari minggu saya tetapkan sebagai hari bersih-bersih. Memang hari minggu itu biasanya jadi hari bersih-bersih buat sebagian anak kost. ‘Sebagian’ yaa. Sebagian lagi bersih-bersihnya sebulan sekali. Nah saat inilah saya kadang merasa mirip sama ibu-ibu rumah tangga. Jadi pagi hari udah mulai bersih-bersih kamar. Dimulai dari merendam pakaian yang udah menggunung. Udah itu dilanjutin dengan nyuci piring. Beres nyuci piring lanjut lagi sama nyapu dan ngepel kamar kost. Kamar udah bersih, baru deh nyuci pakaian yang udah direndam tadi. Udah itu baru deh nyusuin anak, mandiin anak. Oke dua point terakhir abaikan. Mirip kan sama kegiatan ibu-ibu rumah tangga? Bedanya kalo ibu rumah tangga nyucinya bersih, nggak masalah lama. Kalo anak kost nyucinya yang penting cepat selesai, bersih nomer dua. Yang penting bajunya wangi. Itu aja.


Oke saya punya pesan nih buat anak kost terutama yang masih newbie. Pesannya, kalo kalian ngekost, hadapilah hidup dengan gagah, bro. Bawa happy aja. Mungkin awal-awalnya memang berat. Harus beradaptasi dengan makanan warteg yang kadang keasinan kadang juga gak ada rasanya, harus terbiasa nyuci baju sendiri, harus terbiasa ngurus diri sendiri, harus terbiasa mandiri. Tapi lama kelamaan pasti asyik. Banyak pengalaman yang bisa didapat saat jadi anak kost. Intinya dinikmati aja. Jadi anak kost cuma sekali seumur hidup kok. Kita juga harus bersyukur karena ada orang di luar sana yang mau merasakan jadi anak kost tapi nggak kesampaian. Anggap aja ini latihan mendewasakan diri buat masa depan hahaha. Satu lagi, kurangi makan indomie. Jangan dijadiin makanan pokok.
Share:

Monday, March 30, 2015

Nara dan Secangkir Kopi Pahit

Dirga melangkahkan kakinya dengan hati-hati. Genangan air yang ada di sepanjang trotoar membuatnya tak bisa melangkah leluasa seperti biasanya. Hujan yang turun sejak tadi siang  membuat sepatu pantofelnya yang mengkilat menjadi sedikit kotor.

“Ahh kok hujannya gak berenti-berenti sih?” Gumam Dirga kesal.

Lelaki yang berparas tampan ini ingin menuju sebuah kedai kopi yang terletak tidak jauh dari kantornya. Setiap sore selepas pulang kantor, ia memang selalu menghabiskan waktunya di kedai kopi tersebut. Selain Dirga memang penikmat kopi, posisi kedai yang terletak strategis di dekat taman ini membuatnya betah berlama-lama duduk disana hanya untuk melepas lelah.

“Yang ini ya, mbak” Dirga menunjuk Latte Macchiato untuk dipesan. Itu adalah kopi kesukaannya. Latte Macchiato yang terbuat dari kopi yang dicampur espresso dan susu ini membuatnya kecanduan. Ia bisa menghabiskan 10 cangkir jenis kopi yang sama dalam sehari.

“Ini mas pesanannya. Selamat menikmati..” Sapa pramusaji kedai kopi tersebut. Dirga hanya membalasnya dengan senyum. Dari name tag yang terpasang di dada kirinya, ia bisa tahu pramusaji tersebut bernama Sandra.

30 menit berlalu. Dirga  masih sibuk menikmati kopi yang dipesannya sembari mencium aroma kopi yang menurutnya tiada tara. Sesekali tangan kirinya mengaduk kopi tersebut.  Disisi lain, kedai kopi ini semakin ramai dikunjungi oleh orang-orang. Dirga  memperhatikan keadaan sekitarnya. Terlihat orang-orang disana sangat terbawa oleh suasana kedai yang bernuansa klasik. Namun perhatian Dirga terfokus pada sudut kedai ini. Disana ada seorang wanita bermuka tirus yang terlihat sedih. Tak ada kecerian terpancar dari wajahnya. Matanya hanya fokus menatap secangkir kopi yang ada di mejanya. Dirga  terus saja memperhatikan wanita itu hingga kopi miliknya habis. Diliriknya jam tangan yang menempel di tangan kirinya, sudah pukul 6:15 sore. Artinya sudah satu jam lebih wanita itu hanya diam termangu hingga kopinya mendingin. Dirga tak menghiraukannya. Ia kemudian pulang meninggalkan kedai tersebut.

Seminggu telah berlalu. Sejak Dirga melihat perempuan itu di sudut kedai kopi minggu lalu, sampai sekarang ia masih saja melihat hal yang serupa setiap harinya. Perempuan yang hanya duduk diam di sebuah sudut kedai dengan wajah penuh rana dan hanya memandangi secangkir kopi yang ia pesan. Disamping kopi tersebut terlihat pula sebuah surat beramplop merah.

“Ini mas pesanannya” Suara pramusaji mengagetkan Dirga yang sedari tadi memperhatikan wanita di sudut itu.

“Oh iya, Mbak. Terimakasih. Uhm, saya boleh nanya?”

“Tanya apa ya?”

“Itu perempuan yang disudut sana pesan apa ya? Kok kalo saya perhatiin dia gak pernah minum kopi pesanannya” Tanya Dirga sembari menunjukkan jarinya ke arah perempuan tersebut.

“Ohh mbak yang itu. Iya, dia dari seminggu yang lalu pesennya cuma kopi pahit. Tapi sampai dia pulang kopinya gak diminum sedikitpun. Aneh ya?” Jawab sang pramusaji yang merasa aneh dengan salah satu pelanggannya tersebut.

“Oh gitu ya, Mbak. Makasih yaa” Dirga  lagi-lagi mengucapkan terimakasih kepada pramusaji yang bernama Sandra itu.

Seperti biasa, Dirga  menikmati Latte Macchiato yang ia pesan. Tidak ada kenikmatan lain bagi Dirga selain merasakan setiap tegukan kopi yang melenggang mulus menuju lambungnya. Ia seolah memasrahkan tubuhnya dimasuki kafein setiap hari. Namun keasyikan Dirga menikmati kopi masih saja terganggu oleh seorang wanita yang diperhatikannya. Ia masih belum habis fikir bagaimana bisa seseorang memesan secangkir kopi pahit tapi tak pernah meminumnya sedikitpun. Dirga yang akhirnya penasaran kemudian membawa kopinya menuju sudut kedai tersebut.

“Kenapa masih saja bersedih?” Ucap Dirga yang langsung duduk dihadapan wanita berambut lurus itu. Wanita tersebut kaget dengan kehadiran Dirga. Ia langsung menyeka air matanya.

“Aku tidak bersedih” Jawab si wanita. Matanya masih belum berani menatap Dirga.

“Lalu apa arti dari air mata itu jika engkau tidak bersedih?”

“Ini air mata kekecewaan. Dulu aku pikir cinta itu hanya diciptakan dengan kebahagiaan saja. Bertahun-tahun aku merasakan kebaikan yang didasari atas cinta. Selama itulah aku percaya bahwa cinta adalah cara lain Tuhan membahagiakan kita. Tapi ternyata semuanya salah. Tuhan juga menciptakan cinta dengan kesedihan. Dan sekarang aku merasakannya. Merasakannya cinta yang dahulunya manis menjadi pahit. Aku membenci cinta sejak aku kehilangan cinta itu sendiri”

“Kamu tidak perlu membenci cinta. Ikhlaskan hatimu untuk melepas cinta seberapapun susahnya itu. Lupakan. Hatimu terlalu baik jika hanya merasakan duka setiap harinya. Belajarlah dari secangkir kopi pahit ini. Mungkin kamu akan merasakan pahit yang sangat luar biasa pada tegukan pertama. Tapi kemudian kamu akan terbiasa pada tegukan selanjutnya. Pun begitu dengan mengikhlaskan. Kamu akan tertatih awalnya, hingga kemudian kamu mulai bisa terbiasa”

“Melupakan tidak semudah yang engkau bilang” Ucap wanita itu sembari menatap Dirga dengan tajam. “Aku telah berkali-kali berusaha melupakan. Tapi alih-alih bisa, aku malah semakin terjatuh pada kubangan yang bernama kenangan”

“Kamu belum melakukan apa-apa untuk melupakan, Nara. Bagaimana kamu bisa lupa jika kamu selalu kembali ke tempat yang mengingatkanmu kembali kepada kenangan. Beri hatimu ruang untuk menerima kenyataan, karena sesungguhnya cinta itu hanya tentang menerima atau melepaskan”

“Terimakasih atas wejangannya, Dirga. Seperti yang kamu tahu, sejak kamu meninggalkan aku hari itu, aku sampai saat ini masih berusaha untuk melupakanmu. Tapi bagaimana bisa aku melupakanmu sementara kamu saat ini duduk dihadapanku memberi kekuatan untuk melupakan? Tapi aku akan berusaha. Berusaha melupakan kenangan pahit yang engkau berikan bersama dengan secangkir kopi pahit ini” Nara menghabiskan kopi pahit yang sudah mulai mendingin itu. Dari raut wajahnya tersirat ada sebuah kenangan pahit yang ingin ia lupakan.

“Ini surat terakhirku untukmu. Bacalah. Engkau akan tahu semuanya” Nara meninggalkan Dirga dengan surat beramplop merah tadi. Ada kelegaan yang terpancar dari setiap langkahnya yang meninggalkan Dirga. Dirga yang terpaku kemudian membuka surat beramplop merah itu dan dengan seksama membacanya.

Untuk Dirga. Lelaki yang dulu aku cintai.

Dulu di kedai kopi ini ada cinta yang tumbuh bersama dengan setiap kopi yang kita pesan. Aku mengenalmu sebagai lelaki yang hebat. Memang itu tidak salah. Kamu adalah satu-satunya yang mampu membuat aku jatuh cinta berkali-kali pada hati yang sama. Saat itu aku mencintaimu secara utuh.

Namun cinta akhirnya memaksaku untuk sadar bahwa selama ini aku salah. Kamu meninggalkanku begitu saja. Meninggalkan aku dengan cinta yang sepenuhnya untukmu. Aku yang dulunya tak tahu bagaimana caranya berhenti mencintaimu, sekrang menjadi tak tahu bagaimana caranya melupakanmu. Tapi aku akan berusaha. Berusaha melupakan semua kenangan pahit bersamaan dengan setiap tegukan kopi pahit yang aku minum.

Dari aku, Nara.

Wanita yang hatinya kau sakiti.
Share:

Saturday, June 14, 2014

Detective Nina

Aku bingung.
Bagaimana bisa cintaku terpaut padamu?
Apakah ini ujian hati? Atau ini hanya lelucon Tuhan?
Sungguh aku belum siap jika ini hanya lelucon Tuhan.

Nina membuang puisi itu kedalam tong sampah. Entah ini sudah yang keberapa kalinya ia mendapati hal yang sama setiap hari. Seperti tak ada bosannya, sosok misterius itu selalu mengirimkan sepucuk surat kepadanya. Nina sendiri bingung. Siapa yang mengirim ini? Apa tujuannya? Sampai kapan dia mengirim surat seperti ini? Ribuan pertanyaan membanjiri pikirannya, namun tetap tak ada jawaban sedikitpun.

“ Ini siapa sih yang ngirimin aku puisi tiap hari?”
“Ciee dapet puisi lagi. Liat dong, Nin...” Goda Dion, teman satu kelasnya yang berperawakan kurus.
“Sudah aku buang. Kalo mau baca besok aja, pasti puisinya datang lagi kok” Jawab Nina ketus.
“Kamu enak tiap hari ada yang ngirimin puisi. Lah aku? Sekalipun nggak pernah” Sambar Citra yang merupakan sahabat baik Nina. Dia ingin seperti Nina, ada yang mengiriminya puisi, memberi perhatian walaupun kecil. Namun harapannya belum terwujud.
“Kamu aku kirimin surat Yasin aja. Mau nggak?” Ucap Dion yang disambut gelak tawa Nina.

Keesokan harinya, Nina sengaja berangkat sekolah pagi-pagi. Waktu itu pukul 6:30, ia sudah ada di sekolah. Harapannya ia bisa mengetahui siapa sosok misterius yang selalu meletakkan puisi diatas mejanya itu. Tapi harapan tak sesuai kenyataan. Pagi itu Nina mendapati sebuah puisi sudah terletak diatas mejanya. Lagi-lagi ia kalah cepat dengan si pengirim puisi itu. Dengan sedikit kesal, Perlahan Nina membuka puisi yang kertasnya bermotif hati itu dan kemudian membacanya.

Bersama surat yang aku kirimkan, semoga jiwamu selalu damai.
Pagi ini aku menerka lagi, mengapa cinta belum mampu menyatukan kita? Apakah ini hanya impian semu yang takkan menjadi nyata?semoga surat ini membuatmu tersenyum, karena disini, aku menantikan senyum indahmu

Sial! Batinnya.

Siapa sebenarnya orang ini? Jangan-jangan yang mengirim puisi ini adalah pak Darmo penjaga sekolah? Nina terus berasumsi. Ia tak tahu harus berbuat apa lagi sekarang. semua cara yang dilakukannya untuk dapat mengetahui siapa sosok misterius ini selalu saja gagal. Dia—sang pengirim puisi—masih terlalu hebat menyembunyikan identitasnya.

Waktu terus saja berlalu. Tak terasa sudah sebulan lebih Nina selalu mendapatkan puisi diatas mejanya. Nina sudah mulai terbiasa  menikmati setiap puisi yang ditulis oleh sosok misterius itu. Ia juga tak membuang puisi itu kedalam tempat sampah lagi. Selain  mendapatkan kiriman puisi setiap hari, terkadang Nina juga mendapatkan sms-sms dari sosok yang sama. Tapi siapa?

“Ehh, Nin. Kamu masih sering dapet kiriman puisi-puisi?” Tanya Citra memecah hening.
“Masih dong” Jawab Nina singkat sembari mengunyah mie ayam kesukaannya.
“Wahh nggak ada nyerahnya ya itu orang. Salut deh!”
“Bilang aja kamu iri. Iya kan? Pake salut-salut segala hahaha” ucap Dion seolah mengejek Citra.
“Dion apaan sih. Nggak jelas banget wooo” Ucap Citra kesal. “Ehh kalian aku tinggal ke kelas dulu ya. Sebentar aja kok, byee..”

Citra pergi melengos ke kelasnya. Tak ada yang menghiraukan. Nina masih sibuk mengunyah mie ayamnya, sementara Dion baru saja menyelesaikan suapan terakhir baksonya.

“Jadi, sampai kapan kamu mau ngirimin aku puisi terus?” Tanya Nina sejurus kemudian. Ia tampak serius. Matanya menatap Dion dengan tajam. Ia seolah seperti polisi yang sedang menginterogasi seorang tersangka. Celakanya, Dion adalah ‘tersangkanya’ disini.
“Nggg.... maksud kamu, Nin? Aku nggak paham deh” Jawab Dion terbata-bata. Ia tampak gugup.
“Udah nggak usah bohong. Aku udah tau yang sebenarnya. Kamu kan yang ngirimin aku puisi sebulan lebih ini?”

Dion terdiam. Kepalanya tertunduk lesu, lidahnya pun seolah kaku. Dion tak menyangka akhirnya Nina tau yang sebenarnya.

“Nggg... iii..iyaa, Nin. Aku orang yang selama ini ngirimin puisi ke kamu. Maafin aku yaa. Kamu nggak marah kan?” Dion mengaku dengan lantang.
“Tuh kan bener. Hahahaaa. Nggak apa-apa kok, santai aja”
“Tapi darimana kamu tau, Nin?” Dion yang malu mulai penasaran.
“Kamu ceroboh, Dion. Kamu lupa kalo kita sudah satu kelas selama tiga tahun? Aku sudah hafal gaya tulisan kamu. Lain kali kalo mau ngirim puisi ke aku suruh orang lain deh yang nulisnya. Selain itu, aku juga dapet banyak info dari penjaga sekolah kita, Pak Darmo. Waktu itu aku nyuruh dia buat memantau siapa orang yang datang pertama di kelas kita. Menurut laporan beliau, kamulah orang yang setiap hari datengnya cepat terus. Dia juga sering liat kok kalo kamu meletakkan puisi itu diatas meja aku. Nah selesai kamu meletakkan puisi itu, kamu pergi ke warung nasi uduk di depan sekolah kita buat sarapan. Iya kan? Terus pas udah agak siang baru deh kamu ke sekolah. Seolah-olah datangnya siang. Ohh  iya satu lagi. Kemarin aku minjem hp kamu kan? Nah pas aku minjem, aku sengaja liat isi sent box kamu. Dan disana aku liat tiap pesan yang kamu kirim ke aku, mulai dari selamat malam, Nina, selamat tidur, Nina, selamat belajar, Nina, macam-macam deh. Kamu lupa hapus ya? Hahaha” jelas Nina panjang lebar. Lagi-lagi Dion hanya bisa terdiam. Apa yang diucapkan Nina itu semuanya benar. Dion seolah-olah ‘ditelanjangi’. Ia merasa sangat malu.

“Jadi, apa benar isi puisi itu?” Tanya Nina bertubi-tubi. Belum selesai Dion dibuatnya salah tingkah, ia semakin membuat Dion tak berkutik di depannya.
“Isi puisi yang mana?” jawab Dion lirih.
“Semuanya. Apa benar kalau kamu cinta sama aku?”

DEEGGG!

Dion semakin tak bermuka. Ia seperti ditantang habis-habisan oleh Nina. Selama ini Dion cuma berani mengungkapkan perasaannya lewat suratnya yang berisi puisi, tapi sekarang ia benar-benar berhadapan dengan orang yang ia kagumi. Dion mencoba menenangkan diri sembari mengumpulkan keberanian. Sejenak ia menutup matanya dan mengambil nafas panjang. Kemudian....

“Iya, aku cinta sama kamu. Maaf kalau selama ini aku cuma bisa bilang lewat puisi-puisi itu. Nina, maukah kamu...”
“Kamu terlambat” Nina memotong ucapan Dion “Aku sudah pacaran dengan orang lain. Memang dia tak pandai merangkai kata-kata seperti kamu, dia tak bisa membuat aku kagum dengan puisi-puisi seperti kamu. Tapi dia melakukan hal yang membuat aku tau kalau dia cinta dengan aku. Berbeda dengan kamu, Dion. Kamu memang melakukan segala cara untuk membuat aku bahagia, membuat aku kagum dengan kata-katamu. Tapi kamu tidak melakukan satu hal pun yang membuat aku tau kalau kamu cinta sama aku. Maaf”

Nina melangkah pergi. Ia meninggalkan Dion dengan pasti. Disatu sisi Nina lega bisa mengetahui siapa pengirim puisi itu, tapi disisi lain dia juga tak tega telah menghancurkan hati temannya sendiri. Sedikit banyak hal itu membuat Nina tidak tenang. Namun Nina tetap melangkah meninggalkan Dion. Belum terlalu jauh ia melangkah, tiba-tiba seseorang memanggil Nina. Ia kaget dan kemudian menghentikan langkah kakinya, lalu melihat kebelakang, kearah sumber suara.

“Hey Nak, bayar dulu Mie ayamnya. Main pergi aja..” Kata si penjual Mie ayam.


Ternyata Nina lupa membayar mie ayam yang sudah dilahapnya.
Share:

Thursday, May 1, 2014

666

“Tolong cari kepalaku...”

Nia segera menghapus pesan singkat itu. Sekarang sekujur tubuhnya gemetaran, teriakannya tertahan di tenggorokan,  kakinya susah untuk melangkah seolah dirantai, membuatnya seakan ‘lumpuh’ untuk sesaat. Entah sudah berapa banyak dia menerima pesan singkat yang isinya selalu seperti itu.

Nia dan keluarganya baru saja pindah rumah. Sebuah rumah di pinggiran kota menjadi tempat baru mereka saat ini. Rumah bertingkat dua dengan pagar berwarna biru itu semakin terlihat elegan dengan pohon cemara mengapit di sisi kiri dan kanannya. Namun keelokan rumah itu berbanding terbalik dengan kejadian-kejadian aneh yang sering terjadi disana. Iya, terutama Nia, dia adalah orang yang paling sering diganggu oleh sosok-sosok misterius rumah itu.

Kejadiannya bermula saat Nia mendapatkan sebuah pesan singkat dari nomor yang sangat aneh, yaitu 666. Pesan tersebut berisi:

“Saya adalah korban mutilasi dari paman saya sendiri. Tubuh saya saat ini belum ditemukan seutuhnya. Tolong bantu saya mencari keberadaan kepala saya”

Awalnya Nia tidak percaya dengan pesan singkat ini. Ahh paling hoax, batinnya. Namun melihat sumber pengirim pesan tersebut, Nia seakan dibuatnya percaya. 666 memang terkenal sebagai simbol setan. Mungkinkah ini cuma hoax?

Sore itu Nia baru saja pulang sekolah. Pulang sore hari adalah rutinitas bagi anak kelas 9 smp seperti Nia. Hari ini hanya Nia sendirian dirumah, kedua orang tuanya pulang agak larut karena lembur. Singkat cerita, untuk melepaskan lelahnya, Nia memutuskan menonton tv sejenak. Lepas beberapa menit ia menonton tv, ponsel Nia berbunyi menandakan ada pesan masuk. Ia segera mengambil ponselnya yang terletak tepat disebelahnya.

“Tolong cari kepalaku sekarang...”

Jantung Nia berdegup sekerasnya seolah hendak lepas. Bulu kuduknya berdiri hebat. Wajahnya yang merah merona seketika berubah pucat pasi. Itu adalah pesan singkat dari nomor 666. Lagi-lagi dia memberi teror kepada Nia. Walaupun setiap hari mendapatkan pesan singkat itu, tetap saja Nia dibuatnya merinding. Apalagi sekarang Nia sendirian dirumahnya.

Nia belum beranjak dari tempat duduknya. Ia mencoba menenangkan diri dengan menarik nafas panjang-panjang dan berharap tak terjadi hal-hal yang mistis.

DAAARRRR!!!

Suara benturan keras dari arah kamar Nia membuatnya kaget bukan kepalang. Ketakutannya semakin menjadi. Teriakannya meminta tolong kepada kedua orangtuanya seolah tak berarti. Nia benar-benar sendirian. Temannya hanyalah rasa takutnya.

Ia sempat bimbang harus berbuat apa, kemudian dengan sedikit sisa keberanian Nia memberanikan diri untuk melihat kamarnya. Selangkah demi selangkah ia jalan hingga sampai di depan pintu kamarnya yang tertutup. Dibukanya perlahan pintu itu dannn alangkah terkejutnya Nia ketika melihat isi kamarnya saat itu. Tepat disamping tempat tidurnya ada seseorang dengan pakaian serba putih namun tanpa kepala. Sosok itu hanya terdiam kaku. Lalu tangannya yang berlumuran darah menunjuk kearah Nia dan mengisyaratkan dia untuk mendekat. Tentu saja Nia tak berani. Melihatnya dari jauh saja sudah menakutkan. Tanpa pikir panjang, sembari teriak memanggil kedua orang tuanya, Nia dengan cepat berlari menuju kearah dapur.

Nia masih shock. Kejadian tersebut benar-benar membuatnya ketakutan. Ia tak tahu harus berbuat apa. Kakinya gemetaran saat ia berdiri di sudut dapur. Mulutnya terus merapalkan doa, sembari berharap kedua orangtuanya cepat pulang. Tuhan lindungi aku. Ucap gadis berusia 15 tahun ini.
Tiba-tiba....

DAARRRR!!!

Sebuah kepala manusia jatuh di depan Nia. Kepala itu berlumuran darah. Mulutnya yang menganga juga mengeluarkan darah kental yang mengotori lantai. Matanya yang besar menatap tajam kearah Nia. Nia hanya memicingkan matanya. Ia mencoba menyingkir dari tempat itu hingga kemudian berhasil dan dia lari sekencangnya mencari pintu keluar. Namun naasnya, belum lagi sampai di dekat pintu keluar, Nia tersandung oleh kakinya sendiri hingga menyebabkan ia terjatuh. Kepalanya membentur lantai dengan keras. Nia terkejut dan seketika bangun dari tidurnya.

Ahh mimpi buruk lagi. Ucap Nia sembari mengelap keningnya yang penuh dengan peluh. Ternyata Nia hanya mimpi. Ia terlelap saat menonton tv tadi. Entah kenapa sejak pindah ke rumah ini, Nia memang sering mengalami mimpi buruk. Anehnya lagi setiap mimpi buruk, sosok hantu tanpa kepala itu pasti selalu ada. Doa tidur yang ia bacakan seolah tak mampu untuk menghalang sosok itu masuk ke mimpinya.

Tak lama kemudian ponsel Nia bervibrasi menandakan ada pesan yang masuk. Diambilnya ponsel yang berwarna hitam yang berada tepat disampingnya. Dengan perlahan ia membaca teks pesan tersebut.

“Tolong cari kepalaku sekarang...”

Pesan itu berasal dari nomor 666!


DEEEGGGG!!!
Share:

Monday, April 28, 2014

Misteri Masjid Tua

Singkat cerita, Seto adalah seorang mahasiswa jurusan hukum di sebuah universitas swasta di Jakarta. Ia adalah anak sulung dari 5 bersaudara. Seto adalah anak rantau. Semua keluarganya tinggal di Bandung. Seto tergolong mahasiswa yang baik, jarang berulah, dan rajin beribadah. Iya, setiap hari ia selalu sholat berjamaah di masjid tua yang berada tidak jauh dari kosannya. Konon masjid tua ini terkenal dengan keangkerannya. Makanya banyak warga yang tidak mau sholat disana. Sudah banyak cerita horror yang Seto dengar dari para tetangga tentang masjid tua itu. Namun Seto tetap saja tidak percaya. Sebelum akhirnya Seto sendiri yang menjadi korban ‘kejahilan’ sosok-sosok misterius di masjid itu.

Pagi, sekitar pukul 04:30, Seto sudah mulai bersiap-siap berangkat ke masjid untuk sholat subuh. Dengan sarung bermerek ‘Gajah Salto’, Seto berjalan menuju masjid tua. Cuaca subuh saat itu memang agak dingin karena Jakarta baru saja diguyur hujan ringan. Dari kejauhan Seto melihat masjid tua itu sudah terang bahkan sudah ramai dengan orang-orang yang mau sholat berjamaah. Seto heran, kaget, dan seolah tidak percaya. Biasanya Seto lah orang pertama yang datang di masjid itu. Wahh sekarang sudah banyak yang mau sholat disini. Syukurlah. Gumam Seto riang dalam hatinya.

Sesampainya di masjid, Seto langsung menuju tempat mengambil air wudhu. Sesekali ia melirik kearah orang-orang yang sudah duluan datang. Aneh. Tak ada sedikitpun orang yang dikenal Seto. Semua orang terlihat asing di matanya. Bahkan saat Seto menyapa orang-orang itu, tak ada satupun yang meresponnya. Semua orang berwajah pucat. Tanpa ekspresi. Tanpa suara sedikitpun. Seto merinding.

Seusai mengambil wudhu, Seto segera menuju barisan depan untuk melakukan sholat sunnah. Dia berusaha fokus meskipun sedang dalam keadaan ketakutan yang sangat. Seusai shalat sunnah, Seto masih memejamkan matanya seraya mulutnya berkomat-kamit mengucapkan doa. Ia mulai teringat denga cerita warga tentang masjid tua ini. Hal ini semakin membuatnya takut.

“Ehh nak Seto. Sendirian lagi nih. Udah lama datang?” Suara haji Wawan mengagetkannya.
“Ahh pak haji ngagetin aja nih. Nggak sendirian kok pak, ini…..”

Sejurus kemudian Seto terperangah melihat sekelilingnya sudah kosong. Ia tak percaya apa saja yang baru dialaminya. Kemana perginya orang-orang yang banyak tadi? Tidak mungkin secepar itu menghilang. Masa iya itu cuma halusinasi Seto?
“Loh kenapa kamu? Kok diam?” Tanya Haji Wawan.
“Nggg… Nggak pak. Tadi disini banyak orang kok. Tapi sekarang mereka kemana yaa?” Jawab Seto gugup.
“Kamu ini bercanda terus. Daritadi kamu cuma sendirian kok disini. Yaudah jangan ngelantur terus, udah masuk waktu adzan tuh. Cepetan adzan”

Akhirnya Seto pun adzan. Namun fikirannya tetap tidak lepas dari kejadian aneh yang baru saja terjadi. Di dalam benaknya ia terus bertanya siapa orang-orang itu tadi? Kemana mereka menghilang? Apa betul cerita orang-orang tentang masjid ini? Pertanyaan tak terjawab itu terus terngiang di dalam fikirannya.

Mereka berdua pun melaksanakan shalat subuh. Haji Wawan sebagai imam, dan Seto sebagai makmum satu-satunya. Selepas shalat pak Haji dan Seto ngobrol-ngobrol panjang lebar. Seto pun sejenak mulai melupakan kejadian aneh tadi. Tapi tiba-tiba saja Haji Wawan menanyakan sesuatu yang padahal hampir saja ia lupakan itu.
“Berapa orang yang kamu lihat tadi?” Tanya Haji Wawan.
“Umhh… Maksud pak Haji apa?”
“Iya, orang yang kamu lihat disini tadi ada berapa?”

Seto pun terdiam. Pertanyaan Haji Wawan sukses membuat bulu kuduknya merinding lagi. Bulu kakinya pun rontok. Mengingat kejadian tadi membuat Seto ingin segera cepat-cepat meninggalkan masjid ini. Namun hal itu diurungkannya.
“Mungkin sekitar 20-an 'orang' pak Haji. Udah ahh jangan bahas itu lagi. Nggak berani saya” Jawab Wawan serius.
“Hahahaa banyak juga yaa. Makanya hati-hati dengan orang disekitarmu. Bisa jadi dia bukan orang sungguhan. Yaudah pak Haji pulang duluan yaa. Kamu belum pulang?”
“Belum pak Haji. Mau gulung sajadah dulu. Pak Haji nggak apa-apa duluan”

Pak Haji pun pulang. Seto dengan sisa keberaniannya masuk lagi kedalam masjid untuk menggulung sajadah. Di masjid ini memang tidak ada marbot. Entah kenapa setiap marbot yang ngurus masjid ini pasti selalu pergi dengan alasan ‘sering diganggu’.

Selesai menggulung sajadah, Seto segera keluar dari masjid dengan langkah seribu. Dan disinilah kejadian aneh itu terulang lagi. Baru saja Seto mau pulang, tiba-tiba Haji Wawan menghampirinya dengan menggunakan sepeda motor matic. Seto merasa heran. Bukannya Haji Wawan tadi sudah pulang? Terus kenapa dia kesini lagi?
“Ehh nak Seto mau pulang. Gimana tadi subuhnya? Masih kamu sendiri jamaahnya?” Tanya Haji Wawan. Seto terperangah. Kejadian ini bisa saja membuatnya menjadi gila.
“ma…maksud pak Haji?? Bukannya tadi pak Haji yang jadi imam saya sholat disini?” Jawab Seto terbatah-batah.
“Apa? Saya saja dari kemaren nginap di Rumah Sakit, mertua saya lagi dirawat disana. Lah gimana saya mau ngimamin kamu. Hehee ada-ada saja”

DEGGG!!!

Seto merinding hebat. Sekujur tubuhnya seakan kaku. Jantungnya berdegup kencang pertanda ketakutan yang dahsyat. Seto belum bisa percaya dengan apa saja yang barusan dialaminya. Bertemu dengan orang-orang yang berwajah pucat dan tanpa ekspresi yang kemudian hilang entah kemana, lalu diimami oleh Haji Wawan. Tunggu, benarkah itu Haji Wawan? Bukankah Haji Wawan bermalam di rumah sakit? Lalu siapa gerangan yang mengimami Seto dan kemudian mengobrol dengannya sampai fajar hampir tiba???
Kemudian Seto ingat dengan kata-kata ‘Haji Wawan’ Tadi.

Makanya hati-hati dengan orang disekitarmu. Bisa jadi dia bukan orang sungguhan.


Seto pun pingsan.
Share: