Thursday, September 27, 2018

Suatu Hari


Aku pikir, semua akan berakhir baik setelah apa yang terjadi selama ini.
Aku akan menggenggam tanganmu, memenuhi semua ruang kosong di hati. Kamu akan merangkul semua jatuh dan bangunku hingga aku kembali pulih, mendewasakanku yang kadang bersifat kekanak-kanakan.

Aku pikir, jatuh cinta kepadamu takkan pernah sia-sia.
Kita akan merawatnya hingga tak ada yang saling terluka, merayakan tiap bahagia atau amarah dengan peluk yang menenangkan, menyudahi tiap emosi yang memuncak dengan satu kecup mesrah di kening.

Aku pikir,
Aku akan memenangkan hatimu.

Aku menertawakan diriku sendiri tatkala mengingat lagi semua yang telah aku lakukan selama ini. Tentang aku yang salah melabuhkan hati, tentang aku yang percuma menaruh rasa, tentang aku yang tak kau anggap semua perjuangannya, tentang aku yang akhirnya patah hati sendiri.
Hati memilih diam, ia bagian yang paling terluka. Entah harus sebesar apa usahaku ke depan untuk memulihkannya kembali. Ada rasa getir yang menolak tiap kali aku berusaha untuk meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Memaksanya untuk segera pulih berarti membunuhku, sementara membiarkannya untuk terus larut dalam lara juga menyiksa.

Kamu memilih dia.
Pilihan yang membuat semua menjadi tidak baik-baik saja bagiku. Setidaknya hingga detik ini. Ternyata, yang berjuang untuk kita dapat bersama selama ini hanya aku, sementara kamu berjuang untuk dapat lepas dariku. Ternyata, yang menginginkan hati kita terpaut selama ini hanya aku, sementara kamu dengan berbagai upaya ingin agar kita tak bersatu. Ternyata, yang egois dalam mencintai selama ini hanya aku saja, sementara kamu sangat egois untuk tidak melihat semua yang aku berikan.

Kamu memilih dia.
Semua yang kutakutkan akhirnya terjadi. Pertemuan kita melahirkan takdir yang tak diharapkan bagiku. Pertemuan kita mengakhiri semua harap dan doa. Pertemuan yang akhirnya memisahkan kita.

Kamu bahagia sekarang, merayakan kemenangan atas pilihan hatimu.
Sedangkan aku….
Kaku pada sebuah sudut  ruangan yang dipenuhi kesal dan amarah.
Kesedihan menjadi raja dalam diriku.

Suatu hari,
Puisi-puisi ku tak lagi berkisah tentangmu. Meski kamu pernah menjadi nyawa dalam tiap baitnya, meski semua ingatan tentangmu kembali dengan kuat.

Suatu hari,
Rinduku bukan lagi untukmu. Meski kelak rindu mengetuk semua ingatan tentangmu, meski kepalaku dipenuhi dengan ingatan masa lalu, aku tak akan kembali.

Suatu hari,
Saat kau mulai menyadari semua yang telah aku lakukan, kau tak lagi mendapatiku yang selalu bangga mendampingimu. Aku telah pergi. Langkahku telah jauh meninggalkanmu. Membawa semua luka yang kau berikan.

Tapi suatu hari,
Kau akan menyadari bahwa doa terbaikku untukmu tak pernah pergi. Sebab, jika aku tak dapat mendampingimu, biar doaku saja yang menemani tiap langkahmu.

Share: