Friday, May 22, 2020

Singkat Saja


Ternyata yang lebih singkat dari sementara adalah kisah kita.

Hanya sepenggal saja. Jikapun dijadikan sebuah buku, aku yakin hanya sampai kata pengantar saja. Sesingkat itu. Padahal awalnya kita merencanakan sebuah kisah yang bahkan orde barupun kalah lama.

Singkat saja. Kita saling jatuh cinta lalu tak lama kita saling jatuh luka. Penyebabnya adalah ketergesaan. Aku terlalu tergesa-gesa mencintaimu, tanpa memikirkan bahwa cinta haruslah diawali dengan perlahan. Tak perlu berkompetisi dengan waktu sebab mencintai sudah menghabiskan banyak waktu. Kita kehabisan bahan bakar untuk kembali bersama.

Singkat saja. Kita saling beradu unjuk untuk sekadar memperlihatkan bahwa akulah yang paling cinta. Kita lupa bahwa seharusnya tak perlu seperti itu. Berusaha menjadi yang paling hanya akan membuat kita semakin lemah. Padahal jika cinta ditunjukkan dengan sederhana akan semakin menguatkan.

Singkat saja. Pada saat kita di ambang bataspun kita masih berusaha untuk menunjukkan bahwa akulah yang paling patah. Seolah-olah semua jalan telah buntu. Kita lupa bahwa satu-satunya jalan untuk keluar dari kebuntuan tersebut adalah dengan menutup mata, lalu biarkan hati menuntun. Sebab pikiran tak dapat lagi diandalkan jika sudah dibanjiri amarah.

Pada akhirnya semua tak menjadi seperti apa yang pernah kita katakan. Mimpi kita larut bersama air mata yang mengalir melalui pipi. Satu-satunya hal yang tak akan aku lupa darimu adalah percakapan kita sore itu sepulang kerja. Disaat aku bertanya apa yang akan terjadi jika kita berhenti saling jatuh cinta, kamu menjawab “Kamu akan menderita”. Sesuai perkataanmu.

Seminggu setelahnya, kamu berhenti jatuh cinta. Sebab tak mungkin bagimu mencintai dua manusia sekaligus. Kamu terlalu lemah. Cinta hanya untuk manusia yang kuat agar mampu bertahan.
Sudah. Singkat saja. Aku tak ingin menulis kisah ini lebih dari 300 kata. Aku muak. Sebab terlalu singkat untuk kisah yang harusnya bisa selamanya.
Share: