Monday, November 23, 2020

Jendela Puan

desrezaarief.blogspot.com

Ada sebuah jendela. Berwarna cokelat dengan di beberapa tempat telah terkelupas, namun tetap kokoh melewati banyak musim. Terletak di lantai dua sebuah rumah di penghujung jalan. Menghadap ke arah barat. Jika sore tiba, semburat cahaya matahari yang berwarna seperti kulit jeruk menyapu dengan megah. Di balik jendela itulah dia sering terlihat. Rengganis.

Pukul 3 sore, selalu pukul 3 sore, perempuan itu selalu duduk menghadap keluar jendela kamarnya. Menatap entah apa, tak menengok ke arah lain kecuali ke depan. Hingga tepat pukul 6 sore ia beranjak. Menutup jendelanya lalu kembali menatap kelam sebagaimana biasanya.

Namanya Rengganis.

Kadang jika di musim panas, cahaya matahari langsung menyelimutinya di balik jendela. Membuat wajah tirusnya berwarna oranye. Pun begitu dengan rambut hitamnya yang sebahu ikut berkilau. Dan jika di musim penghujan, tampias hujan sedikit banyak membasuh wajahnya. Tak sampai kuyup memang, namun cukuplah membuat ia seperti sedang berpeluh layaknya pelari.

Namanya Rengganis.

Anak tunggal dari pasangan Jan Williem dan Maya Putri. Ayahnya adalah orang asli Belanda yang menikahi perempuan Jawa. Jan Williem merupakan pebisnis furnitur kayu di Belanda. Datang ke Indonesia dengan tujuan berlibur namun yang ia dapat adalah kekasih. Lalu seperti itulah singkatnya, ia bertemu Maya Putri dan kemudian menikah. Maka tak heran Rengganis mewarisi wajah khas Eropa dengan mata yang biru dan juga mewarisi tutur kata dan sikap yang lembut persis Ibunya.

Namanya Rengganis.

Ia berusia 20 tahun. Memiliki suara yang bagus untuk bernyayi di atas panggung megah. Ia juga pandai bermain gitar bahkan di kondisi gelap. Gitar pertamanya didapatkan saat ia berulang tahun ke 11 tahun. Sejak saat itulah ia mulai tertarik bermain gitar. Ia dibantu sang Ayah yang mengajarinya kunci-kunci dasar.

Namanya Rengganis.

Ia buta sejak lahir. Tak pernah melihat apapun kecuali gelap. Tak mengenal warna, tak mengenal wajah Ayah atau Ibunya. Wajahnya cantik, kata orang. Ia tak percaya sebab tak pernah melihatnya sendiri. Bahkan cantik pun ia tak tahu seperti apa.

Namanya Rengganis.

Yang ia tatap setiap sore dari jendela di kamarnya bukanlah pemandangan senja yang tenggelam di balik laut, bukan pula menatap burung-burung yang terbang memenuhi langit keemasan sore hari. Yang ia tatap hanya gelap. Yang ia lihat tak ada. Ia hanya duduk disana menikmati kehampaan dunia yang ditakdirkan padanya.

Namanya Rengganis.

Ia benci ketika orang-orang memuji warna bola matanya yang biru. Sangat benci. Sebab baginya itu tak berguna. Ia pernah berpikir untuk mencongkel bola matanya dan melemparkannya ke kucing jalanan yang sedang kelaparan. Toh tak akan mengubah apapun. Ia tetap tak dapat melihat. Namun setidaknya, orang-orang tidak lagi memuji keindahan bola matanya.

Namanya Rengganis.

Dari jauh, seorang pemuda sering diam-diam memandangnya dengan kagum. Bergumam betapa cantiknya ia. Tak peduli pemandangan matahari tenggelam di belakangnya juga indah. Ia tahu gadis itu buta, semua orang juga telah tau. Maka sangat mengejutkan ketika ia datang ke rumah Rengganis dan menemui Ayahnya untuk melamarnya.

“Tapi anakku buta”

“Maka aku akan menjadi matanya” jawab pemuda itu yakin.

Namanya Rengganis.

Ia berhak bahagia. Kelak dunianya tak lagi gelap. Kelak dunianya akan berwarna. Kelak ia “mempunyai” mata melalui lelakinya, Krisna.

Namanya Rengganis.

Ia tak lagi duduk sendirian di balik jendela kamarnya.


Share: