Monday, October 17, 2016

Perempuan, Kopi, dan Barista

Ia datang tepat pukul dua siang. Perempuan dengan rambut sebahu itu memilih duduk di sudut kedai kopi yang ia datangi. Beberapa lelaki yang ada di dalam kedai kopi melihatnya dengan kagum. Perempuan itu seolah memiliki daya magisnya sendiri. Siapapun lelaki yang melihatnya pastilah akan jatuh cinta. Dari speaker yang ada di kedai kopi itu, Ben Harper sedang menyanyikan lagu Diamonds On the Inside dengan semangat. Perempuan itu tak menghiraukan keadaan sekitarnya. Sejak datang, matanya yang berwarna sedikit kecoklatan menatap kosong ke arah depan. Kearah seorang barista yang sedang membuat secangkir Cafe Mocha pesanannya.

 “Terimakasih atas kopinya” Ucap perempuan itu saat kopi pesanannya tiba.

“Sudah tugas saya membuatkan kopi terbaik, Nona” Jawab sang barista. “Kau sedang menunggu seseorang?” Lanjutnya.

Perempuan itu tersenyum getir. Ia menarik nafas panjang sebelum mengucapkan sesuatu.

“Ken” Jawabnya singkat. Sang barista segera meninggalkan perempuan itu.

Satu jam lebih berlalu. Kopi yang dipesan perempuan itu sudah mendingin sejak lama. Ia menjadi pecandu kopi yang hilang selera untuk menyesap kopi saat itu. Tatapnya masih tertuju pada sesosok barista di ujung kedai kopi. Pada barista yang bernama Ken. Kemanapun Ken melangkahkan kakinya, mata perempuan yang bernama Julia tersebut selalu mengikutinya.

Ken tahu ia diawasi oleh perempuan itu sejak pertama kali ia datang. Entah harus berbuat apa, tapi tatapan perempuan itu sangat mengganggu pikiran dan fokusnya dalam bekerja. Karena kejadian itu, hari ini Ken sudah mendapatkan dua kali teguran dari pelanggan kopinya. Pertama karena ia terlalu banyak memasukkan gula ke dalam kopi yang dipesan tidak terlalu manis. Kedua karena ia salah meracik kopi yang dipesan pelanggan. Semua itu karena pikiran Ken terganggu dengan perempuan yang selalu menatapnya.

Hari semakin sore. Julia masih saja menatap Ken diujung sana. Ia hanya menatap kearah Ken tanpa ada isyarat lain. Membuat Ken semakin risih karena terus diawasi. Kopi yang ia pesan sudah habis bersamaan dengan hujan yang juga habis dimuntahkan oleh langit. Tiba-tiba, entah karena Ken sudah lelah diawasi, ia kemudian berbalik menatap mata perempuan yang sedari tadi mengawasinya. Tatapan mereka berdua beradu. Julia yang sejak tadi menatap kearah ken menangkap basah bahwa Ken kemudian melihat kearahnya. Dari tatap yang terjadi itu, ada pesan yang disampaikan oleh mata Julia dengan sangat kuat kepada Ken. Ken mengerti tatap itu. Ia akhirnya melangkahkan kaki menuju tempat Julia duduk.

“Ken” sapa Julia sesaat setelah Ken duduk persis dihadapannya. Ken masih tertunduk. Ia tahu bahwa ia belum mampu menatap mata Julia sedekat ini. Jantungnya berdetak cepat melebihi kecepatan cahaya.

“Aku sudah muak dengan janjimu” lanjut Julia.

“Maaf, Julia. Belum sekarang” jawab Ken pelan. Suaranya seolah hilang ditelan getir.

“Lalu kapan? Apalagi alasanmu?” Julia berbicara lebih keras. Beberapa pengunjung kedai kopi melihat kearah mereka.

“Aku akan berusaha secepatnya, Julia. Beri aku waktu”

“Waktu katamu? Apakah 11 bulan selama ini bukan waktu? Aku sudah kehabisa waktu untukmu, Ken”

“Aku tahu kau marah. Tapi setidaknya aku tak pernah menghilang saat kau cari, Julia. Aku butuh waktu yang lebih lagi”

“Ken, hutang kamu kepadaku 200 juta! Itu bukan uang kecil. Kamu tahu kan aku berjuang mati-matian untuk mendapatkan uang itu?! Sekarang aku lagi butuh uangnya, Ken, untuk biaya hidupku selama merantau!” bentak Julia.

“Aku mengerti, Julia. Tapi kamu juga harus mengerti bahwa usaha aku saat ini bangkrut. Aku tak punya banyak uang lagi. Gaji dari menjadi barista di kedap kopi ini tak pernah sampai ke akhir bulan” Ken sedikit curhat demi melunakkan hati Julia.

“Baiklah. Aku beri kamu waktu satu bulan lagi. Jika kamu tidak membayar hutang-hutangmu juga, maka maaf, Ken. Aku terpaksa membawa permasalahan ini ke ranah hukum” Julia kemudian beranjak pergi meninggalkan Ken.

“Julia...” panggil Ken. Julia tak peduli. Ia tetap berjalan meninggalkan Ken.

Ken bingung menghadapi semuanya. Ia belum menemukan jalan keluar untuk membayar hutangnya kepada Julia. 200 juta bukan mudah untuk dicari, apalagi oleh seorang barista yang hanya bekerja di kedai kopi seperti Ken. Dalam hati Ken bergumam, “Julia, kalo hutangnya aku bayar pakai uang monopoli mau nggak?”
Share: