Sunday, April 21, 2019

Anak Kolong Jembatan


“Pak, kenapa rumah kita di bawah kolong jembatan?” tanya Andhra saat sedang makan siang bersama Ibu Bapaknya. Sang Bapak terdiam. Mulutnya yang tadi sedang mengunyah nasi terhenti sejenak. Ia menatap ke arah sang Ibu yang pura-pura tidak mendengar.

“Ngg.. coba tanya sama Ibu. Bapak mau cuci tangan dulu” jawabnya sambil bangkit menjauh.

“Kenapa, Bu?” Andhra masih penasaran.

“Begini, sayang. Emangnya kenapa kalo rumah kita di bawah kolong jembatan? Yang penting kan Andhra sehat. Masih bisa sekolah, bisa main sama temen-temen disini” ucap Ibunya sambil mengusap kepala Andhra.

“Iya, Bu. Tapi temen-temen Andhra di sekolah gaada yang rumahnya di bawah kolong jembatan. Terus mereka juga punya WC, gak kayak kita yang kalo mau buang air harus ke kali dulu”

“Sshhh. Udah udah. Abisin cepet makannya. Nanti diambil kucing” alih sang Ibu. Andhra kemudian menghabisi makan siangnya sebelum bergegas pergi bermain. Sebuah telur dadar dibagi tiga adalah menu makan siang mereka hari ini.

“Andhra sudah beranjak besar, Bu” ucap Bapaknya yang baru kembali dari mencuci tangan.

“Tapi belum cukup besar untuk tahu semuanya, Pak”

“Tapi mau sampai kapan? Sampai dia siap?”

“Bukan, Pak. Sampai kita yang siap” jawab Ibunya. Sang Bapak kemudian diam. Makan mereka siang ini terasa berbeda.

“Yasudah. Bapak mau memulung lagi. Assalamualaikum” ucapnya pamit. Tak ada kopi untuk siang ini. Gula yang mereka beli seminggu yang lalu sudah habis, juga kopinya. Andhra yang melihat Bapaknya hendak pergi kemudian menghampiri. Memberi salam serta melambaikan tangan. “Hati-hati Bapak” ucapnya.

Bapak Andhra, yang telah berumur 54 tahun itu menarik gerobaknya sejauh mungkin. Matanya telah terlatih jeli melihat sampah-sampah yang bisa ia kumpulkan untuk kemudian dijual. Gerobak yang ia gunakan untuk memulung merupakan gerobak yang sama yang ia gunakan sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Di sisi kiri gerobak itu, terdapat sebuah kata yang merupakan semangat baginya saat bekerja, “Andhra” anak semata wayangnya.

Dahulu, saat ia dan sang istri baru menikah, mereka sempat merasakan tinggal di rumah kontrakan berukuran 4 x 5 meter yang cukup layak meskipun berada di gang sempit dan padat. Namun Jakarta bukanlah kota yang ramah bagi ia yang hanya bekerja serabutan. Keadaan harus membuat mereka berpindah-pindah karena tak mampu membayar uang sewa hingga akhirnya memutuskan untuk membangun sebuah rumah liar di bawah kolong jembatan. Bertahun tinggal di bawah kolong jembatan, disanalah kemudian mereka menemukan Andhra, anak mereka.

Suara tangis bayi terdengar pukul 2 malam tak jauh dari rumah mereka. Istrinya yang pertama kali mendengar kemudian membangunkan suaminya untuk memeriksa. Suara bayi tersebut berasal dari sisi kanan jalanan, dari dalam sebuah kardus mi instan. Bayi laki-laki yang masih merah dan masih memiliki tali pusar tersebut menangis kelaparan. Tak ada apa-apa yang ditinggalkan oleh sang pemilik bayi kecuali sebuah kertas bertuliskan “Tolong rawat anak saya”. Mereka berdua menangis terharu kala itu. Merasa bahagia karena akhirnya memiliki bayi yang tak bisa mereka dapatkan selama pernikahan. Setelah bersepakat, bayi laki-laki tersebut diberi nama Andhra, yang berarti berani dan kuat.

Andhra telah berusia 9 tahun saat ini, dua bulan lagi ia menginjak usia 10 tahun. Hidup di jalanan, di bawah kolong jembatan, membuat ia terbiasa dengan kebisingan dan lingkungan yang kumuh. Tak ada pilihan lain bagi Andhra ataupun orang tuanya. Menjalani dan mensyukuri keadaan adalah cara berdamai yang terbaik.

Di bawah kolong jembatan ini, di balik sebuah rumah berdinding triplek, Bapak dan Ibu Andhra mempersiapkan sebaik mungkin demi masa depan anaknya agar kelak tak lagi hidup disini, sebab ia juga bukan berasal dari kolong jembatan. Juga, ada satu hal yang harus mulai mereka persiapkan dan pikirkan bersama, yaitu sebuah jawaban apabila suatu hari Andhra bertanya “Pak, Bu, saya ini sebenarnya anak siapa?”

*Terinspirasi dari anak-anak yang hidup di bawah kolong jembatan di Jakarta. Tetap semangat! Masa depan yang lebih baik menanti kalian*

Share: