Friday, January 29, 2016

Programmer atau Penulis?

Dalam hidup, akan selalu ada dua pilihan atau lebih. Seperti orang-orang akan bingung untuk memilih disaat ia jatuh cinta dengan dua orang berbeda di waktu bersamaan, lalu para lelaki akan bingung pilih Raisa atau Pevita, yang jomblo akan bingung mau malam minggu ke mana, anak kosan bingung mau makan pake apa, atau para wanita juga akan sangat bingung pilih antara Al Ghazali atau saya. Tapi mending pilih saya aja deh. Lebih gurih.

Kalian gimana? Sudah berapa banyak kalian dihadapkan pada pilihan-pilihan? Dulu waktu kecil saya pernah dihadapkan pada pilihan antara main bola di lapangan atau main playstation, antara pilih mandi dulu baru main atau main dulu baru mandi, terus pilih ngambil duit Mama secara diam-diam atau duit Papa secara diam-diam. Itu pilihan dengan resiko yang berat. Tapi waktu itu saya milih untuk ngambil duit Mama karena letaknya yang lebih strategis. Lalu saat mulai beranjak dewasa, pilihannya mulai semakin rumit. Pilihan bukan hanya untuk saat itu, tapi juga untuk kedepannya. Seperti sekarang. Saya sekarang seperti sedang dihadapkan pada dua pilihan antara menjadi programmer atau penulis. Dunia yang sama-sama saya cintai di waktu yang bersamaan. Tapi apa programmer atau penulis itu adalah pilihan?

Saya jatuh cinta pada dunia IT kurang lebih sejak kelas 3 SMA. Entah gimana awalnya, tapi yang jelas setiap hari saya makin tertarik dengan teknologi-teknologi yang ada. Ibarat seorang jomblo yang sedang naksir gebetannya, pasti jomblo tersebut akan melakukan segala cara untuk mengetahui tentang gebetannya itu kan? Mulai dari stalking akun media sosialnya, nanya-nanya tentang dia, dan sebagainya. Saya juga gitu. Karena mulai tertarik dengan dunia IT, hampir tiap hari saya menambah informasi tentang dunia teknologi dari banyak sumber, baca sana sini, nanya-nanya, dan lain-lain. Karena itu, ketika lulus SMA saya dengan mantap memutuskan untuk kuliah di program studi teknik informatika. Sebuah pilihan yang tepat menurut saya (waktu itu). Ngebayangin setiap hari belajar tentang komputer, membuat program-program, dan lain-lain. Saya selalu membayangkan diri saya kelak menjadi programmer hebat, yaa meskipun sekarang kalo ngoding masih suka error.

Tapi jauh sebelum itu. Jauh sebelum saya jatuh hati pada dunia IT, saya lebih dulu jatuh hati pada dunia sastra. Yap, menulis. Saya mulai tertarik menjadi penulis sejak kelas 2 SMP. Apa aja waktu itu ditulis mulai dari cerpen, sajak-sajak, bahkan cerita keseharian. Dengan pede nya, semua tulisan waktu itu saya share ke catatan facebook karena belum punya blog dan belum ngerti main blog. Padahal kalo dibaca-baca lagi sekarang, tulisan saya di catatan facebook itu tingkat alay nya minta ampun. Sumpah geli kalo dibaca lagi. Tapi gak masalah. Semua adalah bukti bahwa saya pernah berada di tahap sana. Tahap ‘coba-coba’ menulis, tahap awal jatuh cinta menjadi seorang penulis. Sampai sekarang, meskipun belum menjadi penulis aktif, mimpi itu tetap ada. Mimpi suatu saat bisa menerbitkan sebuah buku dari hasil ide sendiri. Mimpi untuk menjadi seorang penulis.

Sekarang saya berada di kedua posisi tersebut secara bersamaan. Berada di dunia teknik dengan penuh perhitungan, juga berada di dunia sastra yang menjadi tempat tumpahan ide di kepala saya. Kalau pertanyaannya adalah apakah saya masih harus memilih antara menjadi programmer atau penulis, maka dengan mantap saya menjawab tidak. Saya tidak akan memilih antara keduanya. Yang pasti adalah saya akan menjalankan keduanya dengan semangat dan sepenuh hati. Saya mencintai dunia IT. Saya harus menjalankannya karena itu adalah kewajiban sebagai mahasiswa dan kewajiban terhadap orang tua yang membiayai kuliah saya. Tapi saya juga suka menulis. Menulis seolah menjadi kemampuan lain yang dianugerahkan Tuhan. Saya menikmati setiap proses menulis dan harus saya kembangkan karena saya sadar sebagian passion saya juga ada disana.


Sekarang, programmer atau penulis bukan masalah. Yang masalah adalah kalau kita membatasi kemampuan diri kita sendiri. Sadari dan kembangkan setiap passion yang ada. Nanti, bagaimanapun kedepannya, apapun yang akan menjadi “dunia” saya sesungguhnya, itulah yang terbaik. Percaya aja bahwa Tuhan tak pernah meletakkanmu di tempat yang salah.
Share:

Tuesday, January 19, 2016

Tugas vs Malas. Siapa yang Menang?

Mau curhat dulu nih. Sebagai seorang mahasiswa, pasti dong kita semua pernah dibebani oleh tugas. Eh mungkin lebih tepatnya bukan ‘dibebani’ oleh tugas ya, tapi diberikan tugas yang akhirnya membebani kita. Yaa gitulah pokoknya. Kata orang-orang sih, kalo gak mau dapat tugas, ya jangan kuliah. Kalian setuju? Aku mah enggak. Mau kuliah atau enggak kuliah juga pasti bakalan ada tugas. Pengangguran aja punya tugas kok, yaitu nyari kerja. Kerja buat apa? Buat nyari duit. Duit buat apa? Ditabung buat modal nikah. Nikah buat apa? Buat menyatukan keluarga aku dan Pevita. Okesip!

Kembali ke topik, sebenarnya apa sih tujuan utama dosen memberikan tugas kepada mahasiswanya? Iseng aja gitu ngasih tugas atau gimana? Yaa kayanya sih tujuan dosen memberikan tugas ke mahasiswanya itu lebih kepada menjalankan sebuah tradisi turun temurun. Loh kok bisa? Bisa banget. Jadi gini, dosen kan dulunya pasti seorang mahasiswa juga, nah pas dia masih menjadi mahasiswa, pasti dia juga pernah diberi tugas oleh dosennya. Nah dosennya itu pasti pernah jadi mahasiswa juga dan pernah diberi tugas juga oleh dosennya dulu. Nah dosennya dulu pasti seorang mahasiswa dan pasti pernah diberi tugas oleh dosennya yang lebih dahulu. Dan dosennya yang lebih dahulu pasti juga pernah mendapatkan tugas dari dosennya yang lebih dahulu lagi. Dan seterusnya. Nah begitulah kurang lebih. Gimana? Pusing? Jadi semuanya itu adalah motif balas dendam dan pemberian tugas kepada mahasiswa itu tidak lain dan tidak bukan adalah sebuah tradisi belaka. Tradisi yang kalau tidak dijalankan akan membuat para mahasiswa bisa santai-santai di kosannya sambil mainin upil.

Karena tradisi itu, jadi aja kita para mahasiswa dibuatnya pusing. Tugas dari dosen datang tiap minggu, belum lagi tugas yang banyaknya sebanyak cinta aku ke kamu itu deadlinenya cuma seminggu. Enak sih kalo cuma satu, nah kalo misalnya ada 4 tugas dari 4 dosen yang beda gimana? Lelah tau! Kami juga mau nyantai. Peka dong. Nah karena tugas-tugas itu tuh mahasiswa jadinya kebanyakan begadang, lupa mandi, lupa makan, lupa sama utang, lupa bikin alis kalo yang cewek, lupa ngupil juga. Kan kalo lupa ngupil bahaya. Bisa-bisa upilnya menumpuk di lubang hidung terus gabisa nafas terus mati.

Memang sih ada kalanya mahasiswa itu rajin bikin tugas. Saya juga gitu kadang-kadang. Tapi kan itu sementara. Kalo udah datang gangguan dari luar ya beda cerita lagi. Misal nih lagi semangatnya ngerjain tugas, tiba-tiba ada sms temen ngajak main pes, atau lagi ngerjain tugas eh ingat belum nyerang di coc, atau lagi ngerjain tugas tiba-tiba ada chat dari gebetan, atau yang lebih ekstrem, lagi ngerjain tugas eh malah tugasnya yang ngerjain kita balik. Jadi semangat ngerjain tugasnya hilang lagi. Jadi malas lagi deh.

Jadi kalo ditanya tugas vs malas bakal menang yang mana, jawabannya akan dinamis alias bisa berubah-ubah. Tergantung situasi. Kalo deadline tugasnya masih jauh, maka malas akan menang telak. Pasti. Tapi kalo deadline tugasnya udah dekat, maka tugas yang menang. Malasnya mengalah sejenak demi nilai yang lebih baik. Tapi ada juga kok yang deadline tugasnya udah nyampe tapi tugas tak kunjung selesai. Nah kalo itu namanya seri alias draw.

Udahan dulu ah.
Bye.
Muachh seribu kali....
Share:

Friday, January 8, 2016

Pada Sebuah Temu, Kita Membisu

Suatu hari aku pernah sangat ingin menemuimu. Melihat segaris senyum yang menenangkan di wajahmu yang bulat. Melihat tatapmu yang tajam menusuk relung batin. Melihat tawamu. Oh iya, tawamu. Aku suka ketika melihat kamu tertawa sembari menutup mulutmu dengan kedua tangan.

Lalu aku mencarimu. Aku mencarimu di perpustakaan kampus, namun tak ada. Aku tak melihat kamu yang biasanya sedang membaca di sebuah sudut meja di perpustakaan itu. Ah mungkin semua novel di perpustakaan ini sudah habis kau baca, pikirku. Lalu aku mencarimu di sebuah tempat makan. Namun yang kudapati hanyalah orang-orang rakus berwajah lapar. Oh, mungkin kamu sudah lebih dulu menghabiskan Lobster Saus Tiram kesukaanmu disini, pikirku lagi. Petang tiba, namun aku belum menemuimu hingga akhirnya mentari tak lagi tampak.

Benar adanya bahwa kita hanya bisa berencana, selebihnya Tuhan yang menentukan. Esoknya, tanpa direncana, tanpa diduga, aku  menemuimu yang sedang duduk menunggu hujan reda. Kamu termenung kala itu. Tatapmu kosong ditengah dinginnya hujan. Aku ingin menghampirimu, mengajakmu mengobrol untuk sekedar menghangatkan gigilmu, membicarakan sebuah novel yang pernah kita baca kemudian menghardik si tokoh utama dalam novel tersebut karena terlalu egois. Lalu kita membicarakan hujan yang turun, hujan yang bukan menjadi tempat yang baik untuk seseorang yang ingin melupakan kenangan, hujan yang akan membawaku kepada satu kesimpulan bahwa senyummu adalah sebaik-baiknya penghangat bagi aku yang selalu merasakan dingin di dekatmu. Tapi semua itu urung terjadi. Aku lebih dulu kaku.

Disana, di sebuah sudut yang tak terlihat olehmu, Aku hanya diam memperhatikanmu. Tak berani menampakkan diri, apalagi menyapamu dan berbicara denganmu seperti di khayalanku. Begitulah akhirnya aku. Berharap untuk bisa dekat dengamu. Tapi nyatanya setiap aku menemuimu, aku hanya diam. Semua kata yang ada seolah tercekat di tenggorokan. Bahkan kadang dalam mimpi, aku dan kamu tak lebih dari seseorang yang hanya sebatas tau.

Pada sebuah temu, kita memang saling membisu. Tak pernah ada kata terucap, tak pernah ada kisah terukir, tak pernah ada sapa menyapa. Tapi percayalah, dalam doa-doaku yang panjang, aku menyapamu lebih sering. Dalam doa-doaku yang panjang, aku menjagamu tanpa lelah. Dan dalam doa-doaku yang panjang, aku berkata kepada Tuhan bahwa aku mencintaimu.


Biarlah sekarang kita membisu, hingga kelak setiap kata yang kita ucapankan adalah alasan untuk kita saling bertemu dikala rindu. Semoga begitu.
Share: