Ia
datang tepat pukul dua siang. Perempuan dengan rambut sebahu itu memilih duduk
di sudut kedai kopi yang ia datangi. Beberapa lelaki yang ada di dalam kedai
kopi melihatnya dengan kagum. Perempuan itu seolah memiliki daya magisnya
sendiri. Siapapun lelaki yang melihatnya pastilah akan jatuh cinta. Dari
speaker yang ada di kedai kopi itu, Ben Harper sedang menyanyikan lagu Diamonds On the Inside dengan semangat. Perempuan
itu tak menghiraukan keadaan sekitarnya. Sejak datang, matanya yang berwarna
sedikit kecoklatan menatap kosong ke arah depan. Kearah seorang barista yang
sedang membuat secangkir Cafe Mocha
pesanannya.
“Terimakasih atas kopinya” Ucap perempuan itu
saat kopi pesanannya tiba.
“Sudah tugas saya membuatkan kopi
terbaik, Nona” Jawab sang barista. “Kau sedang menunggu seseorang?” Lanjutnya.
Perempuan itu tersenyum getir. Ia
menarik nafas panjang sebelum mengucapkan sesuatu.
“Ken” Jawabnya singkat. Sang
barista segera meninggalkan perempuan itu.
Satu jam lebih berlalu. Kopi yang
dipesan perempuan itu sudah mendingin sejak lama. Ia menjadi pecandu kopi yang
hilang selera untuk menyesap kopi saat itu. Tatapnya masih tertuju pada sesosok
barista di ujung kedai kopi. Pada barista yang bernama Ken. Kemanapun Ken
melangkahkan kakinya, mata perempuan yang bernama Julia tersebut selalu
mengikutinya.
Ken tahu ia diawasi oleh
perempuan itu sejak pertama kali ia datang. Entah harus berbuat apa, tapi
tatapan perempuan itu sangat mengganggu pikiran dan fokusnya dalam bekerja.
Karena kejadian itu, hari ini Ken sudah mendapatkan dua kali teguran dari
pelanggan kopinya. Pertama karena ia terlalu banyak memasukkan gula ke dalam kopi
yang dipesan tidak terlalu manis. Kedua karena ia salah meracik kopi yang
dipesan pelanggan. Semua itu karena pikiran Ken terganggu dengan perempuan yang
selalu menatapnya.
Hari semakin sore. Julia masih
saja menatap Ken diujung sana. Ia hanya menatap kearah Ken tanpa ada isyarat
lain. Membuat Ken semakin risih karena terus diawasi. Kopi yang ia pesan sudah
habis bersamaan dengan hujan yang juga habis dimuntahkan oleh langit. Tiba-tiba,
entah karena Ken sudah lelah diawasi, ia kemudian berbalik menatap mata
perempuan yang sedari tadi mengawasinya. Tatapan mereka berdua beradu. Julia
yang sejak tadi menatap kearah ken menangkap basah bahwa Ken kemudian melihat
kearahnya. Dari tatap yang terjadi itu, ada pesan yang disampaikan oleh mata
Julia dengan sangat kuat kepada Ken. Ken mengerti tatap itu. Ia akhirnya
melangkahkan kaki menuju tempat Julia duduk.
“Ken” sapa Julia sesaat setelah
Ken duduk persis dihadapannya. Ken masih tertunduk. Ia tahu bahwa ia belum
mampu menatap mata Julia sedekat ini. Jantungnya berdetak cepat melebihi
kecepatan cahaya.
“Aku sudah muak dengan janjimu”
lanjut Julia.
“Maaf, Julia. Belum sekarang”
jawab Ken pelan. Suaranya seolah hilang ditelan getir.
“Lalu kapan? Apalagi alasanmu?”
Julia berbicara lebih keras. Beberapa pengunjung kedai kopi melihat kearah
mereka.
“Aku akan berusaha secepatnya,
Julia. Beri aku waktu”
“Waktu katamu? Apakah 11 bulan
selama ini bukan waktu? Aku sudah kehabisa waktu untukmu, Ken”
“Aku tahu kau marah. Tapi
setidaknya aku tak pernah menghilang saat kau cari, Julia. Aku butuh waktu yang
lebih lagi”
“Ken, hutang kamu kepadaku 200
juta! Itu bukan uang kecil. Kamu tahu kan aku berjuang mati-matian untuk
mendapatkan uang itu?! Sekarang aku lagi butuh uangnya, Ken, untuk biaya
hidupku selama merantau!” bentak Julia.
“Aku mengerti, Julia. Tapi kamu
juga harus mengerti bahwa usaha aku saat ini bangkrut. Aku tak punya banyak
uang lagi. Gaji dari menjadi barista di kedap kopi ini tak pernah sampai ke
akhir bulan” Ken sedikit curhat demi melunakkan hati Julia.
“Baiklah. Aku beri kamu waktu
satu bulan lagi. Jika kamu tidak membayar hutang-hutangmu juga, maka maaf, Ken.
Aku terpaksa membawa permasalahan ini ke ranah hukum” Julia kemudian beranjak pergi
meninggalkan Ken.
“Julia...” panggil Ken. Julia tak
peduli. Ia tetap berjalan meninggalkan Ken.
Ken bingung menghadapi semuanya.
Ia belum menemukan jalan keluar untuk membayar hutangnya kepada Julia. 200 juta
bukan mudah untuk dicari, apalagi oleh seorang barista yang hanya bekerja di
kedai kopi seperti Ken. Dalam hati Ken bergumam, “Julia, kalo hutangnya aku bayar pakai uang monopoli mau nggak?”