“Pak,
kenapa rumah kita di bawah kolong jembatan?” tanya Andhra saat sedang makan
siang bersama Ibu Bapaknya. Sang Bapak terdiam. Mulutnya yang tadi sedang mengunyah
nasi terhenti sejenak. Ia menatap ke arah sang Ibu yang pura-pura tidak
mendengar.
“Ngg..
coba tanya sama Ibu. Bapak mau cuci tangan dulu” jawabnya sambil bangkit
menjauh.
“Kenapa,
Bu?” Andhra masih penasaran.
“Begini,
sayang. Emangnya kenapa kalo rumah kita di bawah kolong jembatan? Yang penting
kan Andhra sehat. Masih bisa sekolah, bisa main sama temen-temen disini” ucap
Ibunya sambil mengusap kepala Andhra.
“Iya,
Bu. Tapi temen-temen Andhra di sekolah gaada yang rumahnya di bawah kolong
jembatan. Terus mereka juga punya WC, gak kayak kita yang kalo mau buang air harus
ke kali dulu”
“Sshhh.
Udah udah. Abisin cepet makannya. Nanti diambil kucing” alih sang Ibu. Andhra kemudian
menghabisi makan siangnya sebelum bergegas pergi bermain. Sebuah telur dadar
dibagi tiga adalah menu makan siang mereka hari ini.
“Andhra
sudah beranjak besar, Bu” ucap Bapaknya yang baru kembali dari mencuci tangan.
“Tapi
belum cukup besar untuk tahu semuanya, Pak”
“Tapi
mau sampai kapan? Sampai dia siap?”
“Bukan,
Pak. Sampai kita yang siap” jawab Ibunya. Sang Bapak kemudian diam. Makan mereka
siang ini terasa berbeda.
“Yasudah.
Bapak mau memulung lagi. Assalamualaikum” ucapnya pamit. Tak ada kopi untuk
siang ini. Gula yang mereka beli seminggu yang lalu sudah habis, juga kopinya. Andhra
yang melihat Bapaknya hendak pergi kemudian menghampiri. Memberi salam serta
melambaikan tangan. “Hati-hati Bapak” ucapnya.
Bapak
Andhra, yang telah berumur 54 tahun itu menarik gerobaknya sejauh mungkin. Matanya
telah terlatih jeli melihat sampah-sampah yang bisa ia kumpulkan untuk kemudian
dijual. Gerobak yang ia gunakan untuk memulung merupakan gerobak yang sama yang
ia gunakan sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Di sisi kiri gerobak itu,
terdapat sebuah kata yang merupakan semangat baginya saat bekerja, “Andhra” anak
semata wayangnya.
Dahulu,
saat ia dan sang istri baru menikah, mereka sempat merasakan tinggal di rumah kontrakan
berukuran 4 x 5 meter yang cukup layak meskipun berada di gang sempit dan
padat. Namun Jakarta bukanlah kota yang ramah bagi ia yang hanya bekerja serabutan.
Keadaan harus membuat mereka berpindah-pindah karena tak mampu membayar uang
sewa hingga akhirnya memutuskan untuk membangun sebuah rumah liar di bawah
kolong jembatan. Bertahun tinggal di bawah kolong jembatan, disanalah kemudian
mereka menemukan Andhra, anak mereka.
Suara
tangis bayi terdengar pukul 2 malam tak jauh dari rumah mereka. Istrinya yang
pertama kali mendengar kemudian membangunkan suaminya untuk memeriksa. Suara bayi
tersebut berasal dari sisi kanan jalanan, dari dalam sebuah kardus mi instan. Bayi
laki-laki yang masih merah dan masih memiliki tali pusar tersebut menangis kelaparan.
Tak ada apa-apa yang ditinggalkan oleh sang pemilik bayi kecuali sebuah kertas
bertuliskan “Tolong rawat anak saya”. Mereka berdua menangis terharu kala itu. Merasa
bahagia karena akhirnya memiliki bayi yang tak bisa mereka dapatkan selama
pernikahan. Setelah bersepakat, bayi laki-laki tersebut diberi nama Andhra,
yang berarti berani dan kuat.
Andhra
telah berusia 9 tahun saat ini, dua bulan lagi ia menginjak usia 10 tahun. Hidup
di jalanan, di bawah kolong jembatan, membuat ia terbiasa dengan kebisingan dan
lingkungan yang kumuh. Tak ada pilihan lain bagi Andhra ataupun orang tuanya. Menjalani
dan mensyukuri keadaan adalah cara berdamai yang terbaik.
Di
bawah kolong jembatan ini, di balik sebuah rumah berdinding triplek, Bapak dan
Ibu Andhra mempersiapkan sebaik mungkin demi masa depan anaknya agar kelak tak
lagi hidup disini, sebab ia juga bukan berasal dari kolong jembatan. Juga, ada
satu hal yang harus mulai mereka persiapkan dan pikirkan bersama, yaitu sebuah
jawaban apabila suatu hari Andhra bertanya “Pak, Bu, saya ini sebenarnya anak
siapa?”
*Terinspirasi dari anak-anak yang
hidup di bawah kolong jembatan di Jakarta. Tetap semangat! Masa depan yang
lebih baik menanti kalian*