Aku
benci mengenang, batinku dalam hati. Jalanan Jakarta macet sore itu. Aku
berdiri dalam busway yang akan membawaku pulang ke rumah. Polusi suara klakson
membuatku menyempalkan headset di kedua telinga. Memilih acak playlist lagu di
aplikasi spotify yang sialnya memutarkan sebuah lagu dengan penuh kenangan. Aku
menunduk. Aku benci ketidaksengajaan seperti ini.
Di
antara lelah pulang kerja, di antara padat jalan raya, di antara desak dalam
busway, kenangan itu membuncah tanpa ampun. Kembali berdatangan meski sebagian
sudah buram. Aku menatap jauh ke luar jendela. Jakarta sedikit gerimis. Lebih
jauh dari itu, hujan disertai gemuruh hebat terjadi di sekitar dadaku.
Hanya
sesederhana dari sebuah lagu, sebuah kesedihan bisa menjadi sangat paripurna. Ingatan
kita kadang terlalu kuat untuk hal-hal yang harusnya dilupakan saja. Syahdan, lagu
yang aku dengar sudah memasuki bagian reffrein. Bagian inti dari lagu ini. Kenangan
itu melaju kencang di antara kemacetan panjang. Menabrak dan meruntuhkan semua
tembok-tembok pertahanan yang susah payah aku bangun. Aku kembali terbayang
lesung di kedua pipinya, terbayang halus rambutnya yang sebahu, terbayang lembut
suaranya meski sedang marah. Luka kembali menganga.
Ia
memilih pergi hampir setahun yang lalu, tepat sehari sebelum hari ulang
tahunku. Kado yang tak pernah diinginkan oleh semua orang. Ia memilih pergi,
saat langkahku sudah siap membawanya pada kebahagiaan yang lebih. Ia memilih
untuk mengakhiri, saat aku kira kita akan memulai lagi sebagai satu. Ia yang
aku kira akan menjadi pendamping, malah memilih berpaling.
Ia
meninggalkan bayang-bayang kelam tentang masa lalu. Membuat sebuah ketakutan
akan memulai kembali. Lalu hidup kembali berjalan tidak sebagaimana mestinya.
Beberapa harap yang terlanjur terbang, menukik tajam ke daratan. Hancur lebur
bersama tetes air yang mengalir dari sudut mata. Hampir setahun berlalu,
perihnya khianat masih saja menyayat.
Aku
pernah meminta dengan sungguh kepada Tuhan. Berharap ia kembali lagi.
Melanjutkan langkah kita yang sempat terhenti. Berharap ia menjemputku kembali,
merangkul tanganku erat seolah tak ingin lepas. Merayu Tuhan sekuat tenaga.
Mencoba meyakinkannya bahwa takdir ini salah. Aku mencoba menolak ketentuannya.
Tapi Tuhan tetap menjawab tidak pada akhirnya.
Lagu
yang aku dengarkan telah habis. Aku melepas headset di telingaku. Bising cakap
manusia kembali terdengar. Aku menghela napas panjang. Sekarang terserah Tuhan
saja. Aku tak ingin lagi meminta yang memang bukan untukku. Aku ingin bahagia
saja. Meski ia telah pergi, sedang aku terus saja jatuh hati.
It's funny how everything I dreamed
about
Starts
to seem so empty without you
Penggalan
lirik lagu Ben Rector – Love Like This yang tadi aku dengar masih terngiang
jelas.