Ternyata
yang lebih singkat dari sementara adalah kisah kita.
Hanya
sepenggal saja. Jikapun dijadikan sebuah buku, aku yakin hanya sampai kata
pengantar saja. Sesingkat itu. Padahal awalnya kita merencanakan sebuah kisah
yang bahkan orde barupun kalah lama.
Singkat
saja. Kita saling jatuh cinta lalu tak lama kita saling jatuh luka. Penyebabnya
adalah ketergesaan. Aku terlalu tergesa-gesa mencintaimu, tanpa memikirkan
bahwa cinta haruslah diawali dengan perlahan. Tak perlu berkompetisi dengan
waktu sebab mencintai sudah menghabiskan banyak waktu. Kita kehabisan bahan
bakar untuk kembali bersama.
Singkat
saja. Kita saling beradu unjuk untuk sekadar memperlihatkan bahwa akulah yang
paling cinta. Kita lupa bahwa seharusnya tak perlu seperti itu. Berusaha menjadi
yang paling hanya akan membuat kita semakin lemah. Padahal jika cinta
ditunjukkan dengan sederhana akan semakin menguatkan.
Singkat
saja. Pada saat kita di ambang bataspun kita masih berusaha untuk menunjukkan
bahwa akulah yang paling patah. Seolah-olah semua jalan telah buntu. Kita lupa
bahwa satu-satunya jalan untuk keluar dari kebuntuan tersebut adalah dengan menutup
mata, lalu biarkan hati menuntun. Sebab pikiran tak dapat lagi diandalkan jika
sudah dibanjiri amarah.
Pada
akhirnya semua tak menjadi seperti apa yang pernah kita katakan. Mimpi kita
larut bersama air mata yang mengalir melalui pipi. Satu-satunya hal yang tak
akan aku lupa darimu adalah percakapan kita sore itu sepulang kerja. Disaat aku
bertanya apa yang akan terjadi jika kita berhenti saling jatuh cinta, kamu
menjawab “Kamu akan menderita”.
Sesuai perkataanmu.
Seminggu
setelahnya, kamu berhenti jatuh cinta. Sebab tak mungkin bagimu mencintai dua manusia
sekaligus. Kamu terlalu lemah. Cinta hanya untuk manusia yang kuat agar mampu
bertahan.
Sudah.
Singkat saja. Aku tak ingin menulis kisah ini lebih dari 300 kata. Aku muak.
Sebab terlalu singkat untuk kisah yang harusnya bisa selamanya.