Harinya
tiba. Hari dimana kita saling mengucapkan kata yang awalnya tak pernah kita
inginkan : Perpisahan. Kita harus saling melonggarkan peluk yang selama ini
membuat nyaman. Kita harus merelakan hati kembali kosong setelah diisi dengan
banyak hal baik. Kita harus mulai melangkah dengan arah yang beda setelah
tujuan kita tak lagi sama.
Besok,
kita adalah dua manusia yang hanya sempat saling bersama. Aku akan mengenangmu
dengan sebaik-baiknya kisah yang pernah ada. Mengenang setiap detik bahagia
yang pernah menyelimuti kita. Mengenang waktu dimana kita saling bertengkar
karena hal kecil. Hingga aku berharap jika kelak aku telah tua dan pikun,
semoga kenangan tentang kita masih tetap terjaga dengan baik di sudut kepala.
Pintaku
hanya kau bahagia saja. Dengan jalanmu, dengan pilihanmu, dengan segala
keputusanmu nanti. Langkah terbaik untuk memulai kembali adalah dengan
merelakan. Maka, aku minta kepadamu untuk merelakan dengan utuh, sebagaimana
aku yang telah merelakan kita urung bersama. Kau, bahagialah bersama segala
yang bukan aku.
Betapa
kelak aku akan sangat merindukan kita. Merindukan tiap rayu yang tercipta,
merindukan tiap tawa yang ada. Waktu benar-benar telah membawa kita jauh hingga
ke titik ini, namun sayangnya waktu tak sanggup membawa kita untuk menjadi
satu. Waktu tak mampu merayu takdir untuk mengubah jalannya. Waktu juga tak
cukup kuasa merayu Tuhan kita.
Namun
pada akhirnya kita memang harus memutuskan. Antara bertahan dengan perbedaan
yang besar, atau antara bertahan dengan harus ada salah satu yang mengalah.
Lalu jalan terbaik yang kita pilih adalah kita yang sama-sama mengalah. Sebab
bagaimanapun, Tuhan kita tak sama. Akan sulit rasanya kita berdiri diantara
beda yang mendasar.
Sekarang,
rayu Tuhanmu. Minta untuk dapatkan sesosok yang lebih baik dari aku.