Dalam hidup, akan selalu ada dua
pilihan atau lebih. Seperti orang-orang akan bingung untuk memilih disaat ia
jatuh cinta dengan dua orang berbeda di waktu bersamaan, lalu para lelaki akan
bingung pilih Raisa atau Pevita, yang jomblo akan bingung mau malam minggu ke
mana, anak kosan bingung mau makan pake apa, atau para wanita juga akan sangat
bingung pilih antara Al Ghazali atau saya. Tapi mending pilih saya aja deh.
Lebih gurih.
Kalian gimana? Sudah berapa
banyak kalian dihadapkan pada pilihan-pilihan? Dulu waktu kecil saya pernah
dihadapkan pada pilihan antara main bola di lapangan atau main playstation,
antara pilih mandi dulu baru main atau main dulu baru mandi, terus pilih
ngambil duit Mama secara diam-diam atau duit Papa secara diam-diam. Itu pilihan
dengan resiko yang berat. Tapi waktu itu saya milih untuk ngambil duit Mama
karena letaknya yang lebih strategis. Lalu saat mulai beranjak dewasa, pilihannya
mulai semakin rumit. Pilihan bukan hanya untuk saat itu, tapi juga untuk
kedepannya. Seperti sekarang. Saya sekarang seperti sedang dihadapkan pada dua
pilihan antara menjadi programmer atau penulis. Dunia yang sama-sama saya
cintai di waktu yang bersamaan. Tapi apa programmer atau penulis itu adalah
pilihan?
Saya jatuh cinta pada dunia IT
kurang lebih sejak kelas 3 SMA. Entah gimana awalnya, tapi yang jelas setiap
hari saya makin tertarik dengan teknologi-teknologi yang ada. Ibarat seorang jomblo
yang sedang naksir gebetannya, pasti jomblo tersebut akan melakukan segala cara
untuk mengetahui tentang gebetannya itu kan? Mulai dari stalking akun media
sosialnya, nanya-nanya tentang dia, dan sebagainya. Saya juga gitu. Karena
mulai tertarik dengan dunia IT, hampir tiap hari saya menambah informasi
tentang dunia teknologi dari banyak sumber, baca sana sini, nanya-nanya, dan
lain-lain. Karena itu, ketika lulus SMA saya dengan mantap memutuskan untuk
kuliah di program studi teknik informatika. Sebuah pilihan yang tepat menurut
saya (waktu itu). Ngebayangin setiap hari belajar tentang komputer, membuat
program-program, dan lain-lain. Saya selalu membayangkan diri saya kelak
menjadi programmer hebat, yaa meskipun sekarang kalo ngoding masih suka error.
Tapi jauh sebelum itu. Jauh
sebelum saya jatuh hati pada dunia IT, saya lebih dulu jatuh hati pada dunia
sastra. Yap, menulis. Saya mulai tertarik menjadi penulis sejak kelas 2 SMP.
Apa aja waktu itu ditulis mulai dari cerpen, sajak-sajak, bahkan cerita keseharian.
Dengan pede nya, semua tulisan waktu itu saya share ke catatan facebook karena
belum punya blog dan belum ngerti main blog. Padahal kalo dibaca-baca lagi
sekarang, tulisan saya di catatan facebook itu tingkat alay nya minta ampun.
Sumpah geli kalo dibaca lagi. Tapi gak masalah. Semua adalah bukti bahwa saya
pernah berada di tahap sana. Tahap ‘coba-coba’ menulis, tahap awal jatuh cinta
menjadi seorang penulis. Sampai sekarang, meskipun belum menjadi penulis aktif,
mimpi itu tetap ada. Mimpi suatu saat bisa menerbitkan sebuah buku dari hasil
ide sendiri. Mimpi untuk menjadi seorang penulis.
Sekarang saya berada di kedua
posisi tersebut secara bersamaan. Berada di dunia teknik dengan penuh
perhitungan, juga berada di dunia sastra yang menjadi tempat tumpahan ide di
kepala saya. Kalau pertanyaannya adalah apakah saya masih harus memilih antara menjadi
programmer atau penulis, maka dengan mantap saya menjawab tidak. Saya tidak
akan memilih antara keduanya. Yang pasti adalah saya akan menjalankan keduanya
dengan semangat dan sepenuh hati. Saya mencintai dunia IT. Saya harus
menjalankannya karena itu adalah kewajiban sebagai mahasiswa dan kewajiban
terhadap orang tua yang membiayai kuliah saya. Tapi saya juga suka menulis.
Menulis seolah menjadi kemampuan lain yang dianugerahkan Tuhan. Saya menikmati
setiap proses menulis dan harus saya kembangkan karena saya sadar sebagian
passion saya juga ada disana.
Sekarang, programmer atau penulis
bukan masalah. Yang masalah adalah kalau kita membatasi kemampuan diri kita
sendiri. Sadari dan kembangkan setiap passion yang ada. Nanti, bagaimanapun
kedepannya, apapun yang akan menjadi “dunia” saya sesungguhnya, itulah yang
terbaik. Percaya aja bahwa Tuhan tak pernah meletakkanmu di tempat yang salah.