Suatu hari aku pernah sangat
ingin menemuimu. Melihat segaris senyum yang menenangkan di wajahmu yang bulat.
Melihat tatapmu yang tajam menusuk relung batin. Melihat tawamu. Oh iya,
tawamu. Aku suka ketika melihat kamu tertawa sembari menutup mulutmu dengan
kedua tangan.
Lalu aku mencarimu. Aku mencarimu
di perpustakaan kampus, namun tak ada. Aku tak melihat kamu yang biasanya
sedang membaca di sebuah sudut meja di perpustakaan itu. Ah mungkin semua novel
di perpustakaan ini sudah habis kau baca, pikirku. Lalu aku mencarimu di sebuah
tempat makan. Namun yang kudapati hanyalah orang-orang rakus berwajah lapar.
Oh, mungkin kamu sudah lebih dulu menghabiskan Lobster Saus Tiram kesukaanmu
disini, pikirku lagi. Petang tiba, namun aku belum menemuimu hingga akhirnya
mentari tak lagi tampak.
Benar adanya bahwa kita hanya
bisa berencana, selebihnya Tuhan yang menentukan. Esoknya, tanpa direncana,
tanpa diduga, aku menemuimu yang sedang
duduk menunggu hujan reda. Kamu termenung kala itu. Tatapmu kosong ditengah dinginnya
hujan. Aku ingin menghampirimu, mengajakmu mengobrol untuk sekedar
menghangatkan gigilmu, membicarakan sebuah novel yang pernah kita baca kemudian
menghardik si tokoh utama dalam novel tersebut karena terlalu egois. Lalu kita
membicarakan hujan yang turun, hujan yang bukan menjadi tempat yang baik untuk
seseorang yang ingin melupakan kenangan, hujan yang akan membawaku kepada
satu kesimpulan bahwa senyummu adalah sebaik-baiknya penghangat bagi aku yang
selalu merasakan dingin di dekatmu. Tapi semua itu urung terjadi. Aku lebih
dulu kaku.
Disana, di sebuah sudut yang tak
terlihat olehmu, Aku hanya diam memperhatikanmu. Tak berani menampakkan diri,
apalagi menyapamu dan berbicara denganmu seperti di khayalanku. Begitulah
akhirnya aku. Berharap untuk bisa dekat dengamu. Tapi nyatanya setiap aku
menemuimu, aku hanya diam. Semua kata yang ada seolah tercekat di tenggorokan.
Bahkan kadang dalam mimpi, aku dan kamu tak lebih dari seseorang yang hanya
sebatas tau.
Pada sebuah temu, kita memang
saling membisu. Tak pernah ada kata terucap, tak pernah ada kisah terukir, tak
pernah ada sapa menyapa. Tapi percayalah, dalam doa-doaku yang panjang, aku
menyapamu lebih sering. Dalam doa-doaku yang panjang, aku menjagamu tanpa
lelah. Dan dalam doa-doaku yang panjang, aku berkata kepada Tuhan bahwa aku
mencintaimu.
Biarlah sekarang kita membisu,
hingga kelak setiap kata yang kita ucapankan adalah alasan untuk kita saling
bertemu dikala rindu. Semoga begitu.
keren, klo sempat berkunjung ya
ReplyDeletekeren, klo sempat berkunjung ya
ReplyDelete