Kemarin, saat pagi baru saja menyapa,
bayangmu lebih dulu hadir daripada mentari.
Lebih hangat dari kopi yang baru
kuseduh.
Juga lebih sejuk dari embun di atas
daun talas.
Aku – seperti biasa – mengingatmu
lagi. Menjadi perindu di pagi hari adalah rutinitas baruku.
Aku rindu tawa bahagiamu.
Kita pernah tertawa bersama saat
menyaksikan film komedi di bioskop pusat kota. Namun yang paling kuingat saat
itu bukan bagaimana alur cerita film yang kita tonton, bukan juga siapa aktor
yang bermain disana. Yang paling kuingat adalah tawa bahagiamu. Bagiku, tawamu
adalah candu. Candu yang tercipta tanpa penawar.
Ahh cinta begitu ajaib bukan? Dengan
tawa saja bisa membuat seseorang jatuh cinta.
Aku rindu senyum setelah marahmu.
Aku ingat dulu kamu pernah marah
bersebab waktu. Aku yang berjanji menemuimu pukul 3 sore malah datang pada
pukul 4 sore waktu itu. Saat tiba, tak ada senyum dari raut wajahmu. Sapamu
juga membisu. Langit mengelam. Matahari yang bersinar seolah menjadi temaram.
Lalu dengan sabar aku menjelaskan kenapa aku terlambat menemuimu. Perlahan
amarahmu mulai mereda. Senyum di bibirmu juga kembali ada. Sejak saat itu, aku
berjanji untuk tidak membuatmu marah lagi.
Ahh cinta juga misteri bukan? Karena
waktu cinta bisa tumbuh, tapi karena waktu juga cinta bisa runtuh.
Begitulah kemudian aku. Selalu
disesaki ingatan tentangmu dimanapun dan sedang apapun aku.
Sebab aku berharap menjadi bumi
untukmu, agar kamu tinggal dan menetap disana.
Sebab aku berharap menjadi rumah
bagimu, agar kelak setelah engkau lelah melangkah jauh, kepada rumahlah engkau
kembali.
Sebab aku berharap menjadi bayangmu,
agar saat engkau tak mampu menguatkan tegak, aku akan menjadi penopang bagi
sendimu.
Bagitulah kemudian aku. Kemarin dan
hari ini terus mencintaimu. Lalu bagaimana dengan esok?
Kasih, tentang kemarin, hari ini,
esok dan juga seterusnya, akan tetap memiliki cerita yang sama. Aku akan tetap
mencintaimu.
Mantap
ReplyDeleteTulisannya keren.
ReplyDelete