Aku
terduduk diam.
Menatap
kosong kearah langit yang sedang memuntahkan hujan.
Kau
yang dulu sering kuajak bercerita, kini entah sedang apa. Dingin dan gemuruh
semakin membawa rindu.
Sial!
Lagi-lagi aku teringat tentang kita dahulu. Seperti kamu yang suka meyandarkan
kepalamu di pundakku. Lalu kamu hanya diam disana sembari memejamkan mata.
Namun bagiku itu adalah ‘percakapan’ yang sangat dalam. Kamu menginginkan
pundakku untuk merebahkan segala lelah disana, dan aku, aku dengan senang hati
menyerahkannya kepadamu. Diam kita saat itu adalah percakapan tanpa suara, yang
hanya dimengerti oleh kita berdua.
Kita
tak pernah meminta untuk dipertemukan satu sama lain. Saat itu, waktu yang
mempertemukan kita dengan sendirinya. Aku bahagia, tentu saja. Bertemu denganmu
adalah sebuah kebaikan dari semesta. Bagiku, kamu adalah embun di pagiku,
sebagaimana kamu yang menjadikanku poros semestamu. Lalu, waktu pula yang
membawa kita hingga akhirnya menjadi saling terikat. Rasa yang ada pada diri
kita semakin memekar. Hari-hari kita diisi dengan banyak tawa dan canda. Tanpa
sadar, aku merindukan semuanya sekarang.
Hingga
akhirnya waktu pula yang membawa kita saling terluka. Semua ceria dengan cepat
dilahap habis oleh waktu. Aku membenci semuanya saat itu. Membenci diriku
sendiri, kamu, waktu, pertemuan, hingga semua hal yang berkaitan dengan kita.
Beberapa hal menjadi sangat berbeda setelahnya. Waktu membawa kita untuk saling
melepaskan dan merelakan.
Sekarang,
aku semakin terbiasa dengan kesendirian. Luka membuatku hanya bisa memelukmu
melalui ingatan. Tak menghangatkan memang, namun setidaknya aku masih bisa
merasakan debar itu. Debar yang kau beri saat pelukmu meluruhkan semua resahku.
Sering aku mencoba melupakan bayangmu walau sejenak. Aku menyibukkan diriku
pada banyak hal. Namun semua usahaku akhirnya kembali pada satu kesimpulan :
Aku gagal. Aku tetap merindukanmu.
Terbiasa
dengan kesendirian membuatku merindukan untuk sekedar duduk berdua denganmu.
Tapi aku tak akan berharap banyak lagi. Jika kamu telah menemukan pundak
seseorang untuk kau rebahkan kepalamu disana, aku akan mendoakan yang terbaik
bagimu. Jika saat ini pelukmu telah dimiliki orang lain, aku akan merelakan
semuanya. Dan jika hatimu telah berlabuh pada orang lain, aku akan melepasmu
dengan senyum penuh ikhlas. Sebab bagiku, bahagiamu adalah hal yang paling
utama. Meskipun bukan denganku.
Dulu,
Pada
pelukmu aku ingin kembali.
Menata
ulang rasa, memperbaiki semua salah, memulai kembali cerita.
Sebab
hanya pada pelukmu, aku ingin bersandar hingga tiada.
Namun
kemudian aku sadar. Ada keadaan yang memang tak baik jika terus dipaksakan.
Maka,biarlah kita kemudian menjadi dua orang yang saling mendoakan dalam
kebaikan. Tanpaku, kamu harus tetap bahagia. Tanpamu, aku akan belajar memperbaiki.