Aku
pikir, semua akan berakhir baik setelah apa yang terjadi selama ini.
Aku
akan menggenggam tanganmu, memenuhi semua ruang kosong di hati. Kamu akan
merangkul semua jatuh dan bangunku hingga aku kembali pulih, mendewasakanku
yang kadang bersifat kekanak-kanakan.
Aku
pikir, jatuh cinta kepadamu takkan pernah sia-sia.
Kita
akan merawatnya hingga tak ada yang saling terluka, merayakan tiap bahagia atau
amarah dengan peluk yang menenangkan, menyudahi tiap emosi yang memuncak dengan
satu kecup mesrah di kening.
Aku
pikir,
Aku
akan memenangkan hatimu.
Aku
menertawakan diriku sendiri tatkala mengingat lagi semua yang telah aku lakukan
selama ini. Tentang aku yang salah melabuhkan hati, tentang aku yang percuma
menaruh rasa, tentang aku yang tak kau anggap semua perjuangannya, tentang aku yang
akhirnya patah hati sendiri.
Hati
memilih diam, ia bagian yang paling terluka. Entah harus sebesar apa usahaku ke
depan untuk memulihkannya kembali. Ada rasa getir yang menolak tiap kali aku
berusaha untuk meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Memaksanya untuk
segera pulih berarti membunuhku, sementara membiarkannya untuk terus larut
dalam lara juga menyiksa.
Kamu
memilih dia.
Pilihan
yang membuat semua menjadi tidak baik-baik saja bagiku. Setidaknya hingga detik
ini. Ternyata, yang berjuang untuk kita dapat bersama selama ini hanya aku,
sementara kamu berjuang untuk dapat lepas dariku. Ternyata,
yang menginginkan hati kita terpaut selama ini hanya aku, sementara kamu dengan
berbagai upaya ingin agar kita tak bersatu. Ternyata,
yang egois dalam mencintai selama ini hanya aku saja, sementara kamu sangat
egois untuk tidak melihat semua yang aku berikan.
Kamu
memilih dia.
Semua
yang kutakutkan akhirnya terjadi. Pertemuan kita melahirkan takdir yang tak
diharapkan bagiku. Pertemuan kita mengakhiri semua harap dan doa. Pertemuan yang
akhirnya memisahkan kita.
Kamu
bahagia sekarang, merayakan kemenangan atas pilihan hatimu.
Sedangkan
aku….
Kaku
pada sebuah sudut ruangan yang dipenuhi
kesal dan amarah.
Kesedihan
menjadi raja dalam diriku.
Suatu
hari,
Puisi-puisi
ku tak lagi berkisah tentangmu. Meski kamu pernah menjadi nyawa dalam tiap baitnya,
meski semua ingatan tentangmu kembali dengan kuat.
Suatu
hari,
Rinduku
bukan lagi untukmu. Meski kelak rindu mengetuk semua ingatan tentangmu, meski
kepalaku dipenuhi dengan ingatan masa lalu, aku tak akan kembali.
Suatu
hari,
Saat
kau mulai menyadari semua yang telah aku lakukan, kau tak lagi mendapatiku yang
selalu bangga mendampingimu. Aku telah pergi. Langkahku telah jauh
meninggalkanmu. Membawa semua luka yang kau berikan.
Tapi
suatu hari,
Kau
akan menyadari bahwa doa terbaikku untukmu tak pernah pergi. Sebab, jika aku
tak dapat mendampingimu, biar doaku saja yang menemani tiap langkahmu.
Sedih :'(
ReplyDelete.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Kunjungi juga ya :')
Mycatatanpribadi.wordpress.com
Sedih banget, masih mendoakan pula. :(
ReplyDeleteSaya ninggalin link ya, kali aja masnya ingin blogwalking.
https://rifalnurkholiq.blogspot.com/2018/10/three-girls-ive-amazed-before.html?m=1