Untukmu yang tak pernah menjadi kekasihku.
Aku tahu ini adalah bentuk percaya diri yang sangat dariku. Dan tulisan ini, aku tulis di atas kesombonganku yang nyata. Sebab akhirnya aku tahu, aku memang tak pantas untukmu. Ehm, maksudku, kau yang tak pantas untukku.
Kenapa?
Baik. Dengarkan aku bercerita.
Aku masih ingat betul bagaimana berdebarnya jantungku saat menunggumu pulang di stasiun kereta kala itu. Mataku awas melihat satu persatu penumpang kereta keluar dari pintu kedatangan. Hingga saat penumpang mulai habis, aku menemukanmu berjalan dengan ransel besar di pundakmu. Kau bercerita kalau memang sengaja memilih keluar di akhir-akhir saja. Tak ingin keluar terburu-buru dan berdesakan dengan penumpang lain. Ah, hampir saja aku mengira bahwa aku melewatkanmu. Aku mengambil alih ransel besarmu, juga membawakan kardus yang aku tebak isinya pasti oleh-oleh.
“Mau langsung diantar pulang atau mau makan dulu?” tawarku sesaat setelah mengingatkanmu untuk menggunakan seatbelt.
“Pulang aja, mas. Aku capek” pintamu. Aku mengiyakan. Jogja sedang gerimis saat lagu-lagu dari Payung Teduh mengalun dari playlist musikku. Sore itu aku berpikir bahwa aku telah memenangkan hatimu.
Lain hari, aku baru saja menghabiskan segelas kopi hitam dan empat batang rokok saat hpku bergetar menandakan pesan WhatApp darimu masuk.
“Mas, lusa ada acara nggak?”
Aku mengingat-ingat jadwalku sebentar. Sepertinya lusa aku memang tidak ada rencana kemana-mana dan juga tidak ada janji dengan siapa-siapa. Tapi walaupun ada, aku juga pasti lebih memilih bertemu denganmu, batinku.
“Nggak ada. Memang kenapa?” balasku cepat.
“Asik. Temenin aku nonton konser yuk di Mandala Krida. Bisa kan?” pintamu.
Hatiku mekar. Jika bukan karena malu dilihat orang, mungkin aku sudah berteriak kencang kegirangan layaknya anak kecil yang baru saja dibelikan mainan oleh Ibunya. Ajakan yang tentu sudah pasti aku iyakan. Meskipun sebenarnya aku tak suka menonton konser. Saat itu, lagi-lagi, aku berpikir bahwa aku memang telah memenangkan hatimu sepenuhnya.
Tapi siapa sangka, bahwa ajakanmu, perhatianmu, cerita serumu, dan lain-lain yang aku dambakan darimu, ternyata terbagi ke banyak orang. Kukira cuma aku yang kau buat merona hatinya, ternyata kau membagikan banyak harap ke banyak orang. Kukira aku yang kau pilih.
Aku tersenyum. Getir. Ingin rasanya disambar petir saat tahu bahwa kau tak ada sedikitpun rasa. Agar mati perasaanku bersama ragaku. Tapi kita hanya bisa memulai dan mengharap bukan? Soal akhir bukan menjadi kuasa kita untuk menentukan. Tentu bukan akhir seperti ini yang aku harapkan denganmu dahulu.
Untukmu yang tak pernah menjadi kekasihku.
Bahagialah bersama dia yang tak jauh lebih hebat dariku. Hanyutlah di dalam pelukan dia yang tak lebih hangat dari pelukku. Leburlah dalam jiwanya, sebab jiwaku lebih dulu kau hancurkan. Menarilah dalam hatinya yang lapang, seperti hatiku yang dulu pernah kau jadikan panggung untuk bermain. Apabila nanti hatimu dia hancurkan, menangislah sejadi-jadinya, kemudian menyesal seperti aku dahulu. Tapi tenang. Jika kelak hal tersebut benar terjadi, aku akan datang kepadamu. Membawa hatiku yang dulu tak kau pilih, membawa perasaanku yang berdebu karena kau abaikan. Alih-alih menolongmu untuk bangkit dari keterpurukan, aku akan lebih memilih untuk menertawakan egomu yang dulu mengabaikan perjuanganku. Maaf, aku jahat karena belajar darimu.
Aku tahu ini adalah bentuk percaya diri yang sangat dariku. Dan tulisan ini, aku tulis di atas kesombonganku yang nyata. Sebab akhirnya aku tahu, aku memang tak pantas untukmu. Ehm, maksudku, kau yang tak pantas untukku.
Kenapa?
Baik. Dengarkan aku bercerita.
Aku masih ingat betul bagaimana berdebarnya jantungku saat menunggumu pulang di stasiun kereta kala itu. Mataku awas melihat satu persatu penumpang kereta keluar dari pintu kedatangan. Hingga saat penumpang mulai habis, aku menemukanmu berjalan dengan ransel besar di pundakmu. Kau bercerita kalau memang sengaja memilih keluar di akhir-akhir saja. Tak ingin keluar terburu-buru dan berdesakan dengan penumpang lain. Ah, hampir saja aku mengira bahwa aku melewatkanmu. Aku mengambil alih ransel besarmu, juga membawakan kardus yang aku tebak isinya pasti oleh-oleh.
“Mau langsung diantar pulang atau mau makan dulu?” tawarku sesaat setelah mengingatkanmu untuk menggunakan seatbelt.
“Pulang aja, mas. Aku capek” pintamu. Aku mengiyakan. Jogja sedang gerimis saat lagu-lagu dari Payung Teduh mengalun dari playlist musikku. Sore itu aku berpikir bahwa aku telah memenangkan hatimu.
Lain hari, aku baru saja menghabiskan segelas kopi hitam dan empat batang rokok saat hpku bergetar menandakan pesan WhatApp darimu masuk.
“Mas, lusa ada acara nggak?”
Aku mengingat-ingat jadwalku sebentar. Sepertinya lusa aku memang tidak ada rencana kemana-mana dan juga tidak ada janji dengan siapa-siapa. Tapi walaupun ada, aku juga pasti lebih memilih bertemu denganmu, batinku.
“Nggak ada. Memang kenapa?” balasku cepat.
“Asik. Temenin aku nonton konser yuk di Mandala Krida. Bisa kan?” pintamu.
Hatiku mekar. Jika bukan karena malu dilihat orang, mungkin aku sudah berteriak kencang kegirangan layaknya anak kecil yang baru saja dibelikan mainan oleh Ibunya. Ajakan yang tentu sudah pasti aku iyakan. Meskipun sebenarnya aku tak suka menonton konser. Saat itu, lagi-lagi, aku berpikir bahwa aku memang telah memenangkan hatimu sepenuhnya.
Tapi siapa sangka, bahwa ajakanmu, perhatianmu, cerita serumu, dan lain-lain yang aku dambakan darimu, ternyata terbagi ke banyak orang. Kukira cuma aku yang kau buat merona hatinya, ternyata kau membagikan banyak harap ke banyak orang. Kukira aku yang kau pilih.
Aku tersenyum. Getir. Ingin rasanya disambar petir saat tahu bahwa kau tak ada sedikitpun rasa. Agar mati perasaanku bersama ragaku. Tapi kita hanya bisa memulai dan mengharap bukan? Soal akhir bukan menjadi kuasa kita untuk menentukan. Tentu bukan akhir seperti ini yang aku harapkan denganmu dahulu.
Untukmu yang tak pernah menjadi kekasihku.
Bahagialah bersama dia yang tak jauh lebih hebat dariku. Hanyutlah di dalam pelukan dia yang tak lebih hangat dari pelukku. Leburlah dalam jiwanya, sebab jiwaku lebih dulu kau hancurkan. Menarilah dalam hatinya yang lapang, seperti hatiku yang dulu pernah kau jadikan panggung untuk bermain. Apabila nanti hatimu dia hancurkan, menangislah sejadi-jadinya, kemudian menyesal seperti aku dahulu. Tapi tenang. Jika kelak hal tersebut benar terjadi, aku akan datang kepadamu. Membawa hatiku yang dulu tak kau pilih, membawa perasaanku yang berdebu karena kau abaikan. Alih-alih menolongmu untuk bangkit dari keterpurukan, aku akan lebih memilih untuk menertawakan egomu yang dulu mengabaikan perjuanganku. Maaf, aku jahat karena belajar darimu.