Aku
pernah terjatuh. Tersandung oleh kenyataan yang beda dari harap. Mendapati diri
yang awalnya dipenuhi semangat tiba-tiba tersungkur di pojok kamar. Menangis.
Memeluk lukaku sendiri. Alih-alih menyalahi, kau datang memberikan peluk yang
sangat hangat. Olehmu, luka yang menganga perlahan sembuh.
Aku
pernah mengecewakan, atau mungkin cukup sering. Aku sering memenangkan egoku
sendiri. Akulah poros dari hidupku, pikirku kala itu. Bertingkah layaknya
jagoan yang tak akan menemukan halang rintang. Lalu masalah-masalah hadir
perlahan di jalan yang aku pilih. Aku mulai lelah, dan berpikir telah salah
langkah. Namun alih-alih meninggalkanku dengan kecewa, kau masih berdiri di tempat
yang sama. Menungguku pulang dengan segala beban di pundak. Kau dekap aku. Denganmu,
langkah yang mulai goyah kembali gagah.
Aku
pernah marah. Menganggap apa yang kau katakan adalah salah. Aku mengabaikan
bahwa kau adalah sebaik-baiknya penuntun arah. Hingga aku lupa bahwa marahku
berarti melukaimu. Marahku kemudian hanya menjadi sesal yang malu untuk diakui.
Kau tersenyum, memaafkan tatkala aku harusnya bisa saja kau abaikan. Memaafkan
disaat aku bahkan belum mengucapkan maaf. Memaafkanku lagi meskipun kelak aku
marah lagi. Hatimu adalah muara terbesar dari kebaikan.
Kau
tak pernah lelah, sekalipun aku penuh dengan salah. Kau selalu menuntun
layaknya aku adalah anak umur 5 tahun. Kau selalu ada meski aku pulang dengan
penuh darah. Kau meneduhkan disaat dunia penuh kejutan. Kau memeluk disaat yang
lain mengutuk. Kau ada disaat yang lain memilih tiada. Kau api semangat yang
tak akan pernah padam.
Dunia
tak akan selalu baik kepadaku. Kelak, akan ada batu yang akan menyandung
langkahku, akan ada badai yang siap menggoyahkan tegapku, akan ada gemuruh yang
ingin menghentikan mimpiku. Disaat itu, aku tau kemana tempat untuk henti
sejenak lalu kembali kuat : pada dekapmu yang hangat sekaligus menyejukkan
serupa embun pukul 6 pagi. Aku menyayangimu. Menyayangi kalian, malaikatku yang
terlihat.