Ada
sebuah jendela. Berwarna cokelat dengan di beberapa tempat telah terkelupas, namun
tetap kokoh melewati banyak musim. Terletak di lantai dua sebuah rumah di
penghujung jalan. Menghadap ke arah barat. Jika sore tiba, semburat cahaya
matahari yang berwarna seperti kulit jeruk menyapu dengan megah. Di balik
jendela itulah dia sering terlihat. Rengganis.
Pukul
3 sore, selalu pukul 3 sore, perempuan itu selalu duduk menghadap keluar
jendela kamarnya. Menatap entah apa, tak menengok ke arah lain kecuali ke
depan. Hingga tepat pukul 6 sore ia beranjak. Menutup jendelanya lalu kembali
menatap kelam sebagaimana biasanya.
Namanya Rengganis.
Kadang
jika di musim panas, cahaya matahari langsung menyelimutinya di balik jendela.
Membuat wajah tirusnya berwarna oranye. Pun begitu dengan rambut hitamnya yang
sebahu ikut berkilau. Dan jika di musim penghujan, tampias hujan sedikit banyak
membasuh wajahnya. Tak sampai kuyup memang, namun cukuplah membuat ia seperti
sedang berpeluh layaknya pelari.
Namanya Rengganis.
Anak
tunggal dari pasangan Jan Williem dan Maya Putri. Ayahnya adalah orang asli
Belanda yang menikahi perempuan Jawa. Jan Williem merupakan pebisnis furnitur
kayu di Belanda. Datang ke Indonesia dengan tujuan berlibur namun yang ia dapat
adalah kekasih. Lalu seperti itulah singkatnya, ia bertemu Maya Putri dan
kemudian menikah. Maka tak heran Rengganis mewarisi wajah khas Eropa dengan
mata yang biru dan juga mewarisi tutur kata dan sikap yang lembut persis
Ibunya.
Namanya Rengganis.
Ia
berusia 20 tahun. Memiliki suara yang bagus untuk bernyayi di atas panggung
megah. Ia juga pandai bermain gitar bahkan di kondisi gelap. Gitar pertamanya
didapatkan saat ia berulang tahun ke 11 tahun. Sejak saat itulah ia mulai tertarik
bermain gitar. Ia dibantu sang Ayah yang mengajarinya kunci-kunci dasar.
Namanya Rengganis.
Ia
buta sejak lahir. Tak pernah melihat apapun kecuali gelap. Tak mengenal warna,
tak mengenal wajah Ayah atau Ibunya. Wajahnya cantik, kata orang. Ia tak
percaya sebab tak pernah melihatnya sendiri. Bahkan cantik pun ia tak tahu
seperti apa.
Namanya Rengganis.
Yang
ia tatap setiap sore dari jendela di kamarnya bukanlah pemandangan senja yang
tenggelam di balik laut, bukan pula menatap burung-burung yang terbang memenuhi
langit keemasan sore hari. Yang ia tatap hanya gelap. Yang ia lihat tak ada. Ia
hanya duduk disana menikmati kehampaan dunia yang ditakdirkan padanya.
Namanya Rengganis.
Ia
benci ketika orang-orang memuji warna bola matanya yang biru. Sangat benci. Sebab
baginya itu tak berguna. Ia pernah berpikir untuk mencongkel bola matanya dan melemparkannya
ke kucing jalanan yang sedang kelaparan. Toh tak akan mengubah apapun. Ia tetap
tak dapat melihat. Namun setidaknya, orang-orang tidak lagi memuji keindahan
bola matanya.
Namanya Rengganis.
Dari jauh, seorang pemuda sering diam-diam memandangnya dengan kagum. Bergumam betapa cantiknya ia. Tak peduli pemandangan matahari tenggelam di belakangnya juga indah. Ia tahu gadis itu buta, semua orang juga telah tau. Maka sangat mengejutkan ketika ia datang ke rumah Rengganis dan menemui Ayahnya untuk melamarnya.
“Tapi
anakku buta”
“Maka
aku akan menjadi matanya” jawab pemuda itu yakin.
Namanya Rengganis.
Ia
berhak bahagia. Kelak dunianya tak lagi gelap. Kelak dunianya akan berwarna.
Kelak ia “mempunyai” mata melalui lelakinya, Krisna.
Namanya Rengganis.
Ia
tak lagi duduk sendirian di balik jendela kamarnya.
0 comments:
Post a Comment
Tinggalkan jejak kalian disini. komen yaa :)