Singkat
cerita, Seto adalah seorang mahasiswa jurusan hukum di sebuah universitas
swasta di Jakarta. Ia adalah anak sulung dari 5 bersaudara. Seto adalah anak
rantau. Semua keluarganya tinggal di Bandung. Seto tergolong mahasiswa yang
baik, jarang berulah, dan rajin beribadah. Iya,
setiap hari ia selalu sholat berjamaah di masjid tua
yang berada tidak jauh dari kosannya. Konon masjid tua ini terkenal dengan
keangkerannya. Makanya banyak warga yang tidak mau sholat disana. Sudah banyak
cerita horror yang Seto dengar dari para tetangga tentang masjid tua itu. Namun
Seto tetap saja tidak percaya. Sebelum akhirnya Seto sendiri yang menjadi
korban ‘kejahilan’ sosok-sosok misterius di masjid itu.
Pagi,
sekitar pukul 04:30, Seto sudah mulai bersiap-siap berangkat ke masjid untuk
sholat subuh. Dengan sarung bermerek ‘Gajah Salto’, Seto berjalan menuju masjid
tua. Cuaca subuh saat itu memang agak dingin karena Jakarta baru saja diguyur
hujan ringan. Dari kejauhan Seto melihat masjid tua itu sudah terang bahkan
sudah ramai dengan orang-orang yang mau sholat berjamaah. Seto heran, kaget,
dan seolah tidak percaya. Biasanya Seto lah orang pertama yang datang di masjid
itu. Wahh sekarang sudah banyak yang mau
sholat disini. Syukurlah. Gumam Seto riang dalam hatinya.
Sesampainya
di masjid, Seto langsung menuju tempat mengambil air wudhu. Sesekali ia melirik
kearah orang-orang yang sudah duluan datang. Aneh. Tak ada sedikitpun orang
yang dikenal Seto. Semua orang terlihat asing di matanya. Bahkan saat Seto
menyapa orang-orang itu, tak ada satupun yang meresponnya. Semua orang berwajah
pucat. Tanpa ekspresi. Tanpa suara sedikitpun. Seto merinding.
Seusai
mengambil wudhu, Seto segera menuju barisan depan untuk melakukan sholat
sunnah. Dia berusaha fokus meskipun sedang dalam keadaan ketakutan yang sangat.
Seusai shalat sunnah, Seto masih memejamkan matanya seraya mulutnya
berkomat-kamit mengucapkan doa. Ia mulai teringat denga cerita
warga tentang masjid tua ini. Hal ini semakin membuatnya takut.
“Ehh
nak Seto. Sendirian lagi nih. Udah lama datang?” Suara haji Wawan
mengagetkannya.
“Ahh
pak haji ngagetin aja nih. Nggak sendirian kok pak, ini…..”
Sejurus
kemudian Seto terperangah melihat sekelilingnya sudah kosong. Ia tak percaya
apa saja yang baru dialaminya. Kemana perginya orang-orang yang banyak tadi? Tidak mungkin secepar itu menghilang.
Masa iya itu cuma halusinasi Seto?
“Loh
kenapa kamu? Kok diam?” Tanya Haji Wawan.
“Nggg…
Nggak pak. Tadi disini banyak orang kok. Tapi sekarang mereka kemana yaa?”
Jawab Seto gugup.
“Kamu
ini bercanda terus. Daritadi kamu cuma sendirian kok disini. Yaudah jangan
ngelantur terus, udah masuk waktu adzan tuh. Cepetan adzan”
Akhirnya
Seto pun adzan. Namun fikirannya tetap tidak lepas dari kejadian aneh yang baru
saja terjadi. Di dalam benaknya ia terus bertanya siapa orang-orang itu tadi? Kemana
mereka menghilang? Apa betul cerita orang-orang tentang masjid ini? Pertanyaan
tak terjawab itu terus terngiang di dalam fikirannya.
Mereka
berdua pun melaksanakan shalat subuh. Haji Wawan sebagai imam, dan Seto sebagai
makmum satu-satunya. Selepas shalat pak Haji dan Seto ngobrol-ngobrol panjang
lebar. Seto pun sejenak mulai melupakan kejadian aneh tadi. Tapi tiba-tiba saja
Haji Wawan menanyakan sesuatu yang padahal hampir saja ia lupakan itu.
“Berapa
orang yang kamu lihat tadi?” Tanya Haji Wawan.
“Umhh…
Maksud pak Haji apa?”
“Iya,
orang yang kamu lihat disini tadi ada berapa?”
Seto
pun terdiam. Pertanyaan Haji Wawan sukses membuat bulu kuduknya merinding lagi.
Bulu kakinya pun rontok. Mengingat kejadian tadi membuat Seto ingin segera
cepat-cepat meninggalkan masjid ini. Namun hal itu diurungkannya.
“Mungkin
sekitar 20-an 'orang' pak Haji. Udah ahh jangan bahas itu lagi. Nggak berani saya”
Jawab Wawan serius.
“Hahahaa
banyak juga yaa. Makanya hati-hati dengan orang disekitarmu. Bisa jadi dia
bukan orang sungguhan. Yaudah pak Haji pulang duluan yaa. Kamu belum pulang?”
“Belum
pak Haji. Mau gulung sajadah dulu. Pak Haji nggak apa-apa duluan”
Pak
Haji pun pulang. Seto dengan sisa keberaniannya masuk lagi kedalam masjid untuk
menggulung sajadah. Di masjid ini memang tidak ada marbot. Entah kenapa setiap
marbot yang ngurus masjid ini pasti selalu pergi dengan alasan ‘sering diganggu’.
Selesai
menggulung sajadah, Seto segera keluar dari masjid dengan langkah seribu. Dan
disinilah kejadian aneh itu terulang lagi. Baru saja Seto mau pulang, tiba-tiba
Haji Wawan menghampirinya dengan menggunakan sepeda motor matic. Seto merasa
heran. Bukannya Haji Wawan tadi sudah pulang? Terus kenapa dia kesini lagi?
“Ehh
nak Seto mau pulang. Gimana tadi subuhnya? Masih kamu sendiri jamaahnya?” Tanya
Haji Wawan. Seto terperangah. Kejadian ini bisa saja membuatnya menjadi gila.
“ma…maksud
pak Haji?? Bukannya tadi pak Haji yang jadi imam saya sholat disini?” Jawab
Seto terbatah-batah.
“Apa?
Saya saja dari kemaren nginap di Rumah Sakit, mertua saya lagi dirawat disana. Lah
gimana saya mau ngimamin kamu. Hehee ada-ada saja”
DEGGG!!!
Seto
merinding hebat. Sekujur tubuhnya seakan kaku. Jantungnya berdegup kencang
pertanda ketakutan yang dahsyat. Seto belum bisa percaya dengan apa saja yang
barusan dialaminya. Bertemu dengan orang-orang yang berwajah pucat dan tanpa
ekspresi yang kemudian hilang entah kemana, lalu diimami oleh Haji Wawan. Tunggu,
benarkah itu Haji Wawan? Bukankah Haji Wawan bermalam di rumah sakit? Lalu
siapa gerangan yang mengimami Seto dan kemudian mengobrol dengannya sampai
fajar hampir tiba???
Kemudian
Seto ingat dengan kata-kata ‘Haji Wawan’ Tadi.
Makanya hati-hati
dengan orang disekitarmu. Bisa jadi dia bukan orang sungguhan.
Seto
pun pingsan.
wah, masjid kok angker? :O
ReplyDeleteyahh namanya juga cerpen mbak -_- hehehe
Delete