Dingin
masih menusuk di pagi ini. Bola-bola embun di dedaunan hijau pun masih terlihat
menempel. Ada sepucuk kebimbangan diantara sinar matahari yang mulai muncul
kala itu. Aku, berdiri tepat di depan rumahmu. Berdiri dengan perasaan yang
gaduh, penuh bimbang, dan gelisah.
Suatu
hari aku pernah mengatakan bahwa jika aku pergi, maka aku tak benar-benar
pergi. Jika pun tubuhku pergi, maka kamu akan kubawa di semesta kepalaku. Aku
tak sedang bercanda pada saat mengatakan itu. Menempatkanmu sebagai wanita
teristimewa kedua setelah ibuku adalah alasan mengapa kamu begitu aku cintai.
Aku
ingat kalau kamu pernah bilang bahwa kamu sangat membenci sebuah perpisahan.
Alasanmu karena dengan sebuah perpisahan, seseorang akan dibatasi oleh sekat
yang bernama jarak. Diantara sekat itu nantinya akan terisi banyak
kebohongan-kebohongan yang akhirnya membuat mereka benar-benar berpisah.
Mungkin hal inilah yang membuat aku takut untuk mengucapkan salam perpisahan
kepadamu.
Sekarang,
tepat hari ini, aku –dengan keterpaksaan—harus mengucapkan salam perpisahan itu.
Aku bukan benar-benar meninggalkanmu. Aku hanya pergi mengejar angan, mengejar
apa yang ingin aku raih. Entah kapan kembali. Waktu pun seolah tak bisa
menjawabnya. Karena dikota ini, jam-jam berhenti berdetak.
Namun
ingatlah bahwa kadang kita harus mengalah pada sebuah keadaan. Bukan berarti
kita menyerah. Tapi membiarkan apa yang sudah Tuhan rencanakan kadang lebih
baik daripada menggerutu menyesali keadaan. Untuk itu, aku meminta kepadamu
untuk tegar. Percayalah bahwa akan ada buah manis dari kesabaran menanti.
Mungkin
–setelah perpisahan ini– akan banyak hal yang tidak bisa kita lakukan bersama.
Kita tidak bisa lagi menikmati segelas kopi hangat sembari menunggu hujan reda.
Kita tidak bisa lagi bercerita tentang lagu kesukaanmu dan kemudian menyanyikannya
bersama. Kita pun tidak bisa lagi bekejaran di bibir pantai hingga mentari
menjemput malam. Begitulah. Kita harus sama-sama terbiasa untuk beberapa waktu.
Hanya beberapa waktu.
Engkau
tenanglah. Usah hiraukan tentang jarak yang memisahkan kita. Kelak suatu hari,
aku akan melipat jarak itu seberapapun jauhnya. Kemudian kita bersua lagi pada
kerinduan selepas perpisahan. Menikmati manisnya kepercayaan yang kita jaga
erat selama ini. Engkaulah doa-doa itu. Engkaulah sajak yang tercipta dari
ribuan kata selama ini.
Maafkan
aku yang tak sempat mengucapkan salam perpisahan kepadamu secara langsung. Aku akan merindukanmu. Hadirlah dengan senyum di dalam mimpi. Aku akan datang lagi kepadamu, menghabiskan rindu-rindu yang pernah menderu.
Ps:
aku menyelipkan sebuah iPod di dalam tas kecilmu sore kemarin. Didalamnya berisi
lagu-lagu kesukaanmu dan foto-foto kita berdua. Semoga bisa menjadi penawar
disaat rindu menderu.
Terinspirasi
dari lagu Leaving on the Jet Plane
nice post, dan kampret (Kita tidak bisa lagi menikmati segelas kopi hangat sembari menunggu hujan reda) itu sama.
ReplyDeleteAh, jadi rindu.
maen juga kesini http://lintassenja.blogspot.com bro.
ReplyDeletesiiplah..
ReplyDeletehttp://www.imadoes.com/