Dirga
melangkahkan kakinya dengan hati-hati. Genangan air yang ada di sepanjang
trotoar membuatnya tak bisa melangkah leluasa seperti biasanya. Hujan yang
turun sejak tadi siang membuat sepatu
pantofelnya yang mengkilat menjadi sedikit kotor.
“Ahh
kok hujannya gak berenti-berenti sih?” Gumam Dirga kesal.
Lelaki
yang berparas tampan ini ingin menuju sebuah kedai kopi yang terletak tidak
jauh dari kantornya. Setiap sore selepas pulang kantor, ia memang selalu
menghabiskan waktunya di kedai kopi tersebut. Selain Dirga memang penikmat
kopi, posisi kedai yang terletak strategis di dekat taman ini membuatnya betah
berlama-lama duduk disana hanya untuk melepas lelah.
“Yang
ini ya, mbak” Dirga menunjuk Latte Macchiato untuk dipesan. Itu adalah kopi
kesukaannya. Latte Macchiato yang terbuat dari kopi yang dicampur espresso dan
susu ini membuatnya kecanduan. Ia bisa menghabiskan 10 cangkir jenis kopi yang
sama dalam sehari.
“Ini
mas pesanannya. Selamat menikmati..” Sapa pramusaji kedai kopi tersebut. Dirga
hanya membalasnya dengan senyum. Dari name tag yang terpasang di dada kirinya,
ia bisa tahu pramusaji tersebut bernama Sandra.
30
menit berlalu. Dirga masih sibuk
menikmati kopi yang dipesannya sembari mencium aroma kopi yang menurutnya tiada
tara. Sesekali tangan kirinya mengaduk kopi tersebut. Disisi lain, kedai kopi ini semakin ramai
dikunjungi oleh orang-orang. Dirga memperhatikan
keadaan sekitarnya. Terlihat orang-orang disana sangat terbawa oleh suasana kedai
yang bernuansa klasik. Namun perhatian Dirga terfokus pada sudut kedai ini.
Disana ada seorang wanita bermuka tirus yang terlihat sedih. Tak ada kecerian
terpancar dari wajahnya. Matanya hanya fokus menatap secangkir kopi yang ada di
mejanya. Dirga terus saja memperhatikan
wanita itu hingga kopi miliknya habis. Diliriknya jam tangan yang menempel di
tangan kirinya, sudah pukul 6:15 sore. Artinya sudah satu jam lebih wanita itu
hanya diam termangu hingga kopinya mendingin. Dirga tak menghiraukannya. Ia
kemudian pulang meninggalkan kedai tersebut.
Seminggu
telah berlalu. Sejak Dirga melihat perempuan itu di sudut kedai kopi minggu
lalu, sampai sekarang ia masih saja melihat hal yang serupa setiap harinya.
Perempuan yang hanya duduk diam di sebuah sudut kedai dengan wajah penuh rana
dan hanya memandangi secangkir kopi yang ia pesan. Disamping kopi tersebut
terlihat pula sebuah surat beramplop merah.
“Ini
mas pesanannya” Suara pramusaji mengagetkan Dirga yang sedari tadi
memperhatikan wanita di sudut itu.
“Oh
iya, Mbak. Terimakasih. Uhm, saya boleh nanya?”
“Tanya
apa ya?”
“Itu
perempuan yang disudut sana pesan apa ya? Kok kalo saya perhatiin dia gak
pernah minum kopi pesanannya” Tanya Dirga sembari menunjukkan jarinya ke arah
perempuan tersebut.
“Ohh
mbak yang itu. Iya, dia dari seminggu yang lalu pesennya cuma kopi pahit. Tapi
sampai dia pulang kopinya gak diminum sedikitpun. Aneh ya?” Jawab sang
pramusaji yang merasa aneh dengan salah satu pelanggannya tersebut.
“Oh
gitu ya, Mbak. Makasih yaa” Dirga lagi-lagi
mengucapkan terimakasih kepada pramusaji yang bernama Sandra itu.
Seperti
biasa, Dirga menikmati Latte Macchiato
yang ia pesan. Tidak ada kenikmatan lain bagi Dirga selain merasakan setiap
tegukan kopi yang melenggang mulus menuju lambungnya. Ia seolah memasrahkan
tubuhnya dimasuki kafein setiap hari. Namun keasyikan Dirga menikmati kopi
masih saja terganggu oleh seorang wanita yang diperhatikannya. Ia masih belum
habis fikir bagaimana bisa seseorang memesan secangkir kopi pahit tapi tak
pernah meminumnya sedikitpun. Dirga yang akhirnya penasaran kemudian membawa
kopinya menuju sudut kedai tersebut.
“Kenapa
masih saja bersedih?” Ucap Dirga yang langsung duduk dihadapan wanita berambut
lurus itu. Wanita tersebut kaget dengan kehadiran Dirga. Ia langsung menyeka
air matanya.
“Aku
tidak bersedih” Jawab si wanita. Matanya masih belum berani menatap Dirga.
“Lalu
apa arti dari air mata itu jika engkau tidak bersedih?”
“Ini
air mata kekecewaan. Dulu aku pikir cinta itu hanya diciptakan dengan
kebahagiaan saja. Bertahun-tahun aku merasakan kebaikan yang didasari atas
cinta. Selama itulah aku percaya bahwa cinta adalah cara lain Tuhan membahagiakan
kita. Tapi ternyata semuanya salah. Tuhan juga menciptakan cinta dengan
kesedihan. Dan sekarang aku merasakannya. Merasakannya cinta yang dahulunya
manis menjadi pahit. Aku membenci cinta sejak aku kehilangan cinta itu sendiri”
“Kamu
tidak perlu membenci cinta. Ikhlaskan hatimu untuk melepas cinta seberapapun
susahnya itu. Lupakan. Hatimu terlalu baik jika hanya merasakan duka setiap
harinya. Belajarlah dari secangkir kopi pahit ini. Mungkin kamu akan merasakan
pahit yang sangat luar biasa pada tegukan pertama. Tapi kemudian kamu akan
terbiasa pada tegukan selanjutnya. Pun begitu dengan mengikhlaskan. Kamu akan
tertatih awalnya, hingga kemudian kamu mulai bisa terbiasa”
“Melupakan
tidak semudah yang engkau bilang” Ucap wanita itu sembari menatap Dirga dengan
tajam. “Aku telah berkali-kali berusaha melupakan. Tapi alih-alih bisa, aku
malah semakin terjatuh pada kubangan yang bernama kenangan”
“Kamu
belum melakukan apa-apa untuk melupakan, Nara. Bagaimana kamu bisa lupa jika
kamu selalu kembali ke tempat yang mengingatkanmu kembali kepada kenangan. Beri
hatimu ruang untuk menerima kenyataan, karena sesungguhnya cinta itu hanya
tentang menerima atau melepaskan”
“Terimakasih
atas wejangannya, Dirga. Seperti yang kamu tahu, sejak kamu meninggalkan aku
hari itu, aku sampai saat ini masih berusaha untuk melupakanmu. Tapi bagaimana
bisa aku melupakanmu sementara kamu saat ini duduk dihadapanku memberi kekuatan
untuk melupakan? Tapi aku akan berusaha. Berusaha melupakan kenangan pahit yang
engkau berikan bersama dengan secangkir kopi pahit ini” Nara menghabiskan kopi
pahit yang sudah mulai mendingin itu. Dari raut wajahnya tersirat ada sebuah
kenangan pahit yang ingin ia lupakan.
“Ini
surat terakhirku untukmu. Bacalah. Engkau akan tahu semuanya” Nara meninggalkan
Dirga dengan surat beramplop merah tadi. Ada kelegaan yang terpancar dari
setiap langkahnya yang meninggalkan Dirga. Dirga yang terpaku kemudian membuka
surat beramplop merah itu dan dengan seksama membacanya.
Untuk Dirga. Lelaki yang dulu aku
cintai.
Dulu di kedai kopi ini ada cinta
yang tumbuh bersama dengan setiap kopi yang kita pesan. Aku mengenalmu sebagai lelaki
yang hebat. Memang itu tidak salah. Kamu adalah satu-satunya yang mampu membuat
aku jatuh cinta berkali-kali pada hati yang sama. Saat itu aku mencintaimu
secara utuh.
Namun cinta akhirnya memaksaku
untuk sadar bahwa selama ini aku salah. Kamu meninggalkanku begitu saja.
Meninggalkan aku dengan cinta yang sepenuhnya untukmu. Aku yang dulunya tak
tahu bagaimana caranya berhenti mencintaimu, sekrang menjadi tak tahu bagaimana
caranya melupakanmu. Tapi aku akan berusaha. Berusaha melupakan semua kenangan
pahit bersamaan dengan setiap tegukan kopi pahit yang aku minum.
Dari
aku, Nara.
Wanita
yang hatinya kau sakiti.