Monday, March 30, 2015

Nara dan Secangkir Kopi Pahit

Dirga melangkahkan kakinya dengan hati-hati. Genangan air yang ada di sepanjang trotoar membuatnya tak bisa melangkah leluasa seperti biasanya. Hujan yang turun sejak tadi siang  membuat sepatu pantofelnya yang mengkilat menjadi sedikit kotor.

“Ahh kok hujannya gak berenti-berenti sih?” Gumam Dirga kesal.

Lelaki yang berparas tampan ini ingin menuju sebuah kedai kopi yang terletak tidak jauh dari kantornya. Setiap sore selepas pulang kantor, ia memang selalu menghabiskan waktunya di kedai kopi tersebut. Selain Dirga memang penikmat kopi, posisi kedai yang terletak strategis di dekat taman ini membuatnya betah berlama-lama duduk disana hanya untuk melepas lelah.

“Yang ini ya, mbak” Dirga menunjuk Latte Macchiato untuk dipesan. Itu adalah kopi kesukaannya. Latte Macchiato yang terbuat dari kopi yang dicampur espresso dan susu ini membuatnya kecanduan. Ia bisa menghabiskan 10 cangkir jenis kopi yang sama dalam sehari.

“Ini mas pesanannya. Selamat menikmati..” Sapa pramusaji kedai kopi tersebut. Dirga hanya membalasnya dengan senyum. Dari name tag yang terpasang di dada kirinya, ia bisa tahu pramusaji tersebut bernama Sandra.

30 menit berlalu. Dirga  masih sibuk menikmati kopi yang dipesannya sembari mencium aroma kopi yang menurutnya tiada tara. Sesekali tangan kirinya mengaduk kopi tersebut.  Disisi lain, kedai kopi ini semakin ramai dikunjungi oleh orang-orang. Dirga  memperhatikan keadaan sekitarnya. Terlihat orang-orang disana sangat terbawa oleh suasana kedai yang bernuansa klasik. Namun perhatian Dirga terfokus pada sudut kedai ini. Disana ada seorang wanita bermuka tirus yang terlihat sedih. Tak ada kecerian terpancar dari wajahnya. Matanya hanya fokus menatap secangkir kopi yang ada di mejanya. Dirga  terus saja memperhatikan wanita itu hingga kopi miliknya habis. Diliriknya jam tangan yang menempel di tangan kirinya, sudah pukul 6:15 sore. Artinya sudah satu jam lebih wanita itu hanya diam termangu hingga kopinya mendingin. Dirga tak menghiraukannya. Ia kemudian pulang meninggalkan kedai tersebut.

Seminggu telah berlalu. Sejak Dirga melihat perempuan itu di sudut kedai kopi minggu lalu, sampai sekarang ia masih saja melihat hal yang serupa setiap harinya. Perempuan yang hanya duduk diam di sebuah sudut kedai dengan wajah penuh rana dan hanya memandangi secangkir kopi yang ia pesan. Disamping kopi tersebut terlihat pula sebuah surat beramplop merah.

“Ini mas pesanannya” Suara pramusaji mengagetkan Dirga yang sedari tadi memperhatikan wanita di sudut itu.

“Oh iya, Mbak. Terimakasih. Uhm, saya boleh nanya?”

“Tanya apa ya?”

“Itu perempuan yang disudut sana pesan apa ya? Kok kalo saya perhatiin dia gak pernah minum kopi pesanannya” Tanya Dirga sembari menunjukkan jarinya ke arah perempuan tersebut.

“Ohh mbak yang itu. Iya, dia dari seminggu yang lalu pesennya cuma kopi pahit. Tapi sampai dia pulang kopinya gak diminum sedikitpun. Aneh ya?” Jawab sang pramusaji yang merasa aneh dengan salah satu pelanggannya tersebut.

“Oh gitu ya, Mbak. Makasih yaa” Dirga  lagi-lagi mengucapkan terimakasih kepada pramusaji yang bernama Sandra itu.

Seperti biasa, Dirga  menikmati Latte Macchiato yang ia pesan. Tidak ada kenikmatan lain bagi Dirga selain merasakan setiap tegukan kopi yang melenggang mulus menuju lambungnya. Ia seolah memasrahkan tubuhnya dimasuki kafein setiap hari. Namun keasyikan Dirga menikmati kopi masih saja terganggu oleh seorang wanita yang diperhatikannya. Ia masih belum habis fikir bagaimana bisa seseorang memesan secangkir kopi pahit tapi tak pernah meminumnya sedikitpun. Dirga yang akhirnya penasaran kemudian membawa kopinya menuju sudut kedai tersebut.

“Kenapa masih saja bersedih?” Ucap Dirga yang langsung duduk dihadapan wanita berambut lurus itu. Wanita tersebut kaget dengan kehadiran Dirga. Ia langsung menyeka air matanya.

“Aku tidak bersedih” Jawab si wanita. Matanya masih belum berani menatap Dirga.

“Lalu apa arti dari air mata itu jika engkau tidak bersedih?”

“Ini air mata kekecewaan. Dulu aku pikir cinta itu hanya diciptakan dengan kebahagiaan saja. Bertahun-tahun aku merasakan kebaikan yang didasari atas cinta. Selama itulah aku percaya bahwa cinta adalah cara lain Tuhan membahagiakan kita. Tapi ternyata semuanya salah. Tuhan juga menciptakan cinta dengan kesedihan. Dan sekarang aku merasakannya. Merasakannya cinta yang dahulunya manis menjadi pahit. Aku membenci cinta sejak aku kehilangan cinta itu sendiri”

“Kamu tidak perlu membenci cinta. Ikhlaskan hatimu untuk melepas cinta seberapapun susahnya itu. Lupakan. Hatimu terlalu baik jika hanya merasakan duka setiap harinya. Belajarlah dari secangkir kopi pahit ini. Mungkin kamu akan merasakan pahit yang sangat luar biasa pada tegukan pertama. Tapi kemudian kamu akan terbiasa pada tegukan selanjutnya. Pun begitu dengan mengikhlaskan. Kamu akan tertatih awalnya, hingga kemudian kamu mulai bisa terbiasa”

“Melupakan tidak semudah yang engkau bilang” Ucap wanita itu sembari menatap Dirga dengan tajam. “Aku telah berkali-kali berusaha melupakan. Tapi alih-alih bisa, aku malah semakin terjatuh pada kubangan yang bernama kenangan”

“Kamu belum melakukan apa-apa untuk melupakan, Nara. Bagaimana kamu bisa lupa jika kamu selalu kembali ke tempat yang mengingatkanmu kembali kepada kenangan. Beri hatimu ruang untuk menerima kenyataan, karena sesungguhnya cinta itu hanya tentang menerima atau melepaskan”

“Terimakasih atas wejangannya, Dirga. Seperti yang kamu tahu, sejak kamu meninggalkan aku hari itu, aku sampai saat ini masih berusaha untuk melupakanmu. Tapi bagaimana bisa aku melupakanmu sementara kamu saat ini duduk dihadapanku memberi kekuatan untuk melupakan? Tapi aku akan berusaha. Berusaha melupakan kenangan pahit yang engkau berikan bersama dengan secangkir kopi pahit ini” Nara menghabiskan kopi pahit yang sudah mulai mendingin itu. Dari raut wajahnya tersirat ada sebuah kenangan pahit yang ingin ia lupakan.

“Ini surat terakhirku untukmu. Bacalah. Engkau akan tahu semuanya” Nara meninggalkan Dirga dengan surat beramplop merah tadi. Ada kelegaan yang terpancar dari setiap langkahnya yang meninggalkan Dirga. Dirga yang terpaku kemudian membuka surat beramplop merah itu dan dengan seksama membacanya.

Untuk Dirga. Lelaki yang dulu aku cintai.

Dulu di kedai kopi ini ada cinta yang tumbuh bersama dengan setiap kopi yang kita pesan. Aku mengenalmu sebagai lelaki yang hebat. Memang itu tidak salah. Kamu adalah satu-satunya yang mampu membuat aku jatuh cinta berkali-kali pada hati yang sama. Saat itu aku mencintaimu secara utuh.

Namun cinta akhirnya memaksaku untuk sadar bahwa selama ini aku salah. Kamu meninggalkanku begitu saja. Meninggalkan aku dengan cinta yang sepenuhnya untukmu. Aku yang dulunya tak tahu bagaimana caranya berhenti mencintaimu, sekrang menjadi tak tahu bagaimana caranya melupakanmu. Tapi aku akan berusaha. Berusaha melupakan semua kenangan pahit bersamaan dengan setiap tegukan kopi pahit yang aku minum.

Dari aku, Nara.

Wanita yang hatinya kau sakiti.
Share:

0 comments:

Post a Comment

Tinggalkan jejak kalian disini. komen yaa :)