Kamu pernah menjadi poros
semestaku, sebagaimana kamu yang juga menjadikanku sebagai poros semestamu. Aku
menggenggam erat tanganmu, pada suatu petang dibawah langit yang tak terlalu
jingga. Kita pernah berjanji untuk tak saling pergi meninggalkan. Berjanji
untuk saling menguatkan ketika langkah mulai lelah. Berjanji untuk menghapus
semua luka dan memulai bahagia.
Kamu pernah menjadi masa depan yang
ingin aku raih, sebagaimana kamu yang juga memimpikan untuk menjalani masa
depan berdua denganku. Kita kemudian merencanakan tentang banyak hal. Tentang rumah
kita yang mungil dan halamannya ditanami bunga-bunga. Tentang jenis kucing yang
nantinya akan kita pelihara. Tentang dinding rumah yang nantinya akan kita
penuhi dengan foto-foto dan koleksi buku.
Kamu pernah menjadi lentera di
gelapku, sebagaimana kamu yang menjadikanku gemerlap di gulitamu. Aku pernah merasa
kecewa tatkala sesuatu yang kuimpikan belum mampu aku raih. Lalu kamu datang
bak malaikat dari surga. Pelukanmu kala itu membuatku mampu berdamai dengan
diriku sendiri. Kamu pernah menangis sedu sedan tatkala musibah merenggut semua
bahagiamu. Lalu aku mendekap tubuhmu. Meyakinkan bahwa semua yang terjadi
memang sudah jalannya. Kamu hanya perlu melihat dengan sabar dan syukur. Tak lama,
rona wajahmu kembali merekah.
Kamu pernah menjadi oase di
tandusku, sebagaimana kamu yang menjadikanku hujan di gersangmu. Kita adalah
dua insan yang saling membutuhkan. Aku membutuhkanmu sebagai penggenap dari
ganjilku, kamu membutuhkanku sebagai penguat dari lemahmu. Aku membutuhkanmu
sebagai rumah dari pulangku, kamu membutuhkanku sebagai pendengar dari segala
keluh kesahmu.
Namun akhirnya, kita menjadi
seperti orang asing yang tak pernah saling mengenal. Aku dan kamu menjadi
sendiri kembali. Tak ada lagi kita, tak ada lagi mimpi yang ingin diwujudkan
bersama, tak ada lagi sapa, dan tak ada lagi rasa.
Kamu pergi sebelum kita sempat merayakan
kebersamaan di tahun keempat. Katamu aku telah berubah hingga kamu meragukan
keseriusanku. Aku terpukul kala itu. Salahkah seorang lelaki yang jarang
mengabarimu karena sedang sibuk menyiapkan masa depan denganmu?
Sekarang, setelah kepergianmu, aku
harap aku akan tetap baik-baik saja. Meski aku tahu ada sebagian dari diriku
yang kau hancurkan, tapi bukankah hidup harus tetap berlanjut bukan?
Kehilanganmu memang menyakitkan. Tapi aku percaya hatiku akan kuat.
Aku, biarlah hancur. Biarlah kau
sakiti. Biarlah kau tinggal pergi. Tak apa. Jika kau memang menemukan orang
yang lebih baik, pergilah. Karena kau memang pantas untuk dapatkan yang
terbaik. Tapi jika ternyata pilihanmu salah, nikmati sedihmu sendiri. Jangan
pernah menoleh lagi kebelakang lalu berharap kembali melangkah bersama. Sebab
aku telah melangkah jauh meninggalkanmu. Mencari bahagia yang tentunya bukan
bersamamu lagi.
Terimakasih karena pernah menjadi
bagian hidupku. Sebab karenamu, aku telah mempelajari dua hal sekaligus : jatuh
karena cinta dan bangkit karena dikhianati.
0 comments:
Post a Comment
Tinggalkan jejak kalian disini. komen yaa :)