Panggil
ia Bara. Ia Laki-laki. Dan Ia sedang bingung.
Bara
menyesap secangkir kopi hangat. Puluhan puntung rokok sisa kenikmatan bertumpuk
dalam asbak di depannya. Sekarang pukul 3 pagi, ia belum tidur sedikitpun.
Matanya merah. Entah karena kantuk yang ia tahan, atau karena tangis yang terbendung.
Bangsat! Gumamnya. Ia mendengus kesal. Ternyata secangkir kopi
dan kebulan asap rokok belum mampu menenangkan pikirannya. Ia melangkah
mendekati jendela kamar. Ia butuh udara segar. Udara Bandung yang dingin menampar
wajahnya yang pasi. Diluar, suara jangkrik saling bersautan.
Bara
kembali kedalam lamunannya. Matanya yang kosong menatap jauh kearah langit yang
gelap. Ia tahu sekarang dibenaknya ada bayang yang selalu mengikuti. Lebih
tepatnya bukan mengikuti, tapi bayang itu terbawa oleh Bara hingga mengganggu
pikirannya. Bara ingin memeluk bayang itu, tapi belum mampu. Ingin ia jauhi
bayang itu, tapi tak bisa. Ia sudah terpaut entah sejak kapan.
Bara
tak menemui jawaban atas apa yang terjadi pada dirinya saat ini. Ia pernah
mencoba bertualang jauh hanya untuk menenangkan jiwanya. Semuanya membaik saat
itu, namun ketika ia kembali ke rutinitas, semua bayangnya ikut kembali. Hingga
tadi ia coba menulis puisi untuk menumpahkan semuanya, namun yang ada ia
semakin hanyut dalam bayang itu.
“Tidakkah
kau melihatku sedikipun, wahai puan?” lirihnya pelah
Tidak
ada yang menjawab. Bahkan suara jangkrik yang tadi berisik pun tiba-tiba
berhenti, angin yang tadi berbisik di telinganya pun entah kemana. Semua seolah
menertawakan Bara diam-diam.
Panggil
ia Bara.
Ia
ingin lesap,
Pada
bayang seorang hawa
Namun
ia telah terbelenggu
Pada
sebuah kata dan rasa
Namanya
Bara, dan ia sedang lara
0 comments:
Post a Comment
Tinggalkan jejak kalian disini. komen yaa :)