“Rei,
lihat” Jane menunjuk kearah ufuk barat. Disana senja sedang menguning. Biasnya
membuat langit dan gumpalan merona. Rei menatap sejenak, namun wajahnya tetap
menunjukkan raut sedih. Baginya, langit tetap saja mendung.
“Ayolah,
Rei. Tertawalah sebentar, nikmati dulu senja ini. Kau pantas bahagia lagi” Jane
menepuk pundak Rei.
Hening
sejenak. Rei dan Jane sama-sama terduduk diam. Di depan mereka, gulungan ombak saling
berlomba untuk mencapai bibir pantai.
“Aku
mau bertanya” Ucap Rei. “Bagaimana caranya memaafkan?” Lanjutnya. Matanya tetap
menatap ombak.
“Maafkan
dirimu dahulu, Rei. Bagaimana mungkin kamu memaafkan orang lain sementara
diwaktu yang sama kamu masih membenci dirimu”
“Lalu
setelah itu?”
“Berdamailah
dengan keadaan” Jane menarik napas sejenak “Aku tahu kondisimu sekarang. Hari-harimu
mungkin berjalan sangat berat. Semenjak kejadian itu, aku melihatmu bukan
seperti Rei yang aku kenal. Kau banyak melamun. Tatapmu kosong seperti
pikiranmu.” Jane menatap Rei.
“Berdamai
dengan keadaan memang tidak mudah, Rei. Tapi kau harus mengerti, untuk mencapai
kebahagiaan yang baru, kau harus menemukan dirimu yang dahulu. Bagaimana mungkin
kau bisa bahagia kalau dirimu saja seperti ini” lanjutnya.
“Apa
katamu? Menemukan dirimu yang dahulu?” Rei memastikan. kali ini ia balik menatap
Jane. Alisnya terangkat.
“Iya.
Temukan dirimu yang dahulu. Memangnya kenapa?” tanya Jane heran.
Rei
tak menjawab. Matanya kembali menatap kearah gulungan ombak. Langit sudah hampir
gelap.
“Diriku
yang dahulu sudah mati, Jane” ucap Rei. Ia menutup matanya. Menarik napas
dalam-dalam, dan mengingat lagi kejadian itu.
“Maksudmu?”
Jane heran.
“Diriku
yang dahulu sudah mati. Sesederhana itu. Mati tanpa ada yang menangisi, lalu
dibiarkan membusuk. Oh, aku mengeri sekarang, Jane. Ternyata kematian diriku
yang dahulu lah yang membuat aku tak bisa lagi bahagia. Semua bahagiaku ikut
mati. Ah, sial!” Rei menggerutu. Tangannya mengepal.
“Aku
tidak mengerti. Bagaimana bisa dirimu yang dahulu mati?” Jane masih bingung. Kepalanya
memikirkan ucapan Rei yang tidak ia mengerti.
“Begini,
Jane. Aku dulu bahagia. Kau tahu itu kan. Aku selalu bahagia ketika melihat
mentari tenggelam di ufuk barat seperti tadi. Nah sekarang lihatlah aku. Aku tak
lagi menikmati itu. Diriku yang dahulu telah mati, Jane. Diriku yang dahulu
mati karena sakit hati. Bagaimana bisa aku bahagia lagi?” tegas Rei.
“Kau
bodoh, Rei. Kau orang paling bodoh di dunia ini” ucap Jane. Rei menatap bingung.
“Kau
lihat mentari yang tenggelam tadi? Apakah setelah tenggelam dia mati? Tidak,
Rei! Dia hanya menghilang sejenak untuk kemudian esok pagi kembali lagi. Ah,
aku tau ini analogi yang buruk, tapi ini bisa dijadikan pelajaran, Rei. Dirimu tidak
mati, ia hanya terbelenggu oleh rasa sedih yang sementara”
Mereka
berdua terdiam. Langit semakin gelap. Bintang yang berbinar terang telah siap
menemani bulan yang hanya setengah.
“Bagaimana
agar aku tidak sedih lagi?”
“Kamu
butuh waktu” jawab Jane.
“Berapa
lama?”
“Tanyakan
itu pada dirimu sendiri, Rei. Cuma kamu yang bisa menjawab”
Rei
menggangguk paham. Ia mengerti sekarang. Dirinya yang dahulu tidaklah mati, ia
hanya digerogoti oleh sedih hingga hampir habis. Ia hanya butuh waktu yang
entah sampai kapan, untuk bahagia kembali, untuk berdamai dengan keadaan, dan
untuk memaafkan. Dirinya yang dahulu boleh saja mati karena sakit hati, tapi
nanti akan kembali lebih kuat lagi. Rei percaya itu.
“Jane?”
ucap Rei kemudian.
“Iya?”
“Lain
kali belajarlah menganalogikan sesuatu dengan lebih baik”
“Sial!”
Jane kesal.
Mereka
berdua tertawa. Langit telah gelap. Ombak yang pasang beberapa kali menyentuh
jari kaki Rei, seolah hendak menjemput kesedihannya dan menenggelamkannya.
0 comments:
Post a Comment
Tinggalkan jejak kalian disini. komen yaa :)