Saturday, January 20, 2018

Rei

“Rei, lihat” Jane menunjuk kearah ufuk barat. Disana senja sedang menguning. Biasnya membuat langit dan gumpalan merona. Rei menatap sejenak, namun wajahnya tetap menunjukkan raut sedih. Baginya, langit tetap saja mendung.

“Ayolah, Rei. Tertawalah sebentar, nikmati dulu senja ini. Kau pantas bahagia lagi” Jane menepuk pundak Rei.

Hening sejenak. Rei dan Jane sama-sama terduduk diam. Di depan mereka, gulungan ombak saling berlomba untuk mencapai bibir pantai.

“Aku mau bertanya” Ucap Rei. “Bagaimana caranya memaafkan?” Lanjutnya. Matanya tetap menatap ombak.

“Maafkan dirimu dahulu, Rei. Bagaimana mungkin kamu memaafkan orang lain sementara diwaktu yang sama kamu masih membenci dirimu”

“Lalu setelah itu?”

“Berdamailah dengan keadaan” Jane menarik napas sejenak “Aku tahu kondisimu sekarang. Hari-harimu mungkin berjalan sangat berat. Semenjak kejadian itu, aku melihatmu bukan seperti Rei yang aku kenal. Kau banyak melamun. Tatapmu kosong seperti pikiranmu.” Jane menatap Rei.

“Berdamai dengan keadaan memang tidak mudah, Rei. Tapi kau harus mengerti, untuk mencapai kebahagiaan yang baru, kau harus menemukan dirimu yang dahulu. Bagaimana mungkin kau bisa bahagia kalau dirimu saja seperti ini” lanjutnya.

“Apa katamu? Menemukan dirimu yang dahulu?” Rei memastikan. kali ini ia balik menatap Jane. Alisnya terangkat.

“Iya. Temukan dirimu yang dahulu. Memangnya kenapa?” tanya Jane heran.

Rei tak menjawab. Matanya kembali menatap kearah gulungan ombak. Langit sudah hampir gelap.

“Diriku yang dahulu sudah mati, Jane” ucap Rei. Ia menutup matanya. Menarik napas dalam-dalam, dan mengingat lagi kejadian itu.

“Maksudmu?” Jane heran.

“Diriku yang dahulu sudah mati. Sesederhana itu. Mati tanpa ada yang menangisi, lalu dibiarkan membusuk. Oh, aku mengeri sekarang, Jane. Ternyata kematian diriku yang dahulu lah yang membuat aku tak bisa lagi bahagia. Semua bahagiaku ikut mati. Ah, sial!” Rei menggerutu. Tangannya mengepal.

“Aku tidak mengerti. Bagaimana bisa dirimu yang dahulu mati?” Jane masih bingung. Kepalanya memikirkan ucapan Rei yang tidak ia mengerti.

“Begini, Jane. Aku dulu bahagia. Kau tahu itu kan. Aku selalu bahagia ketika melihat mentari tenggelam di ufuk barat seperti tadi. Nah sekarang lihatlah aku. Aku tak lagi menikmati itu. Diriku yang dahulu telah mati, Jane. Diriku yang dahulu mati karena sakit hati. Bagaimana bisa aku bahagia lagi?” tegas Rei.

“Kau bodoh, Rei. Kau orang paling bodoh di dunia ini” ucap Jane. Rei menatap bingung.

“Kau lihat mentari yang tenggelam tadi? Apakah setelah tenggelam dia mati? Tidak, Rei! Dia hanya menghilang sejenak untuk kemudian esok pagi kembali lagi. Ah, aku tau ini analogi yang buruk, tapi ini bisa dijadikan pelajaran, Rei. Dirimu tidak mati, ia hanya terbelenggu oleh rasa sedih yang sementara”

Mereka berdua terdiam. Langit semakin gelap. Bintang yang berbinar terang telah siap menemani bulan yang hanya setengah.

“Bagaimana agar aku tidak sedih lagi?”

“Kamu butuh waktu” jawab Jane.

“Berapa lama?”

“Tanyakan itu pada dirimu sendiri, Rei. Cuma kamu yang bisa menjawab”

Rei menggangguk paham. Ia mengerti sekarang. Dirinya yang dahulu tidaklah mati, ia hanya digerogoti oleh sedih hingga hampir habis. Ia hanya butuh waktu yang entah sampai kapan, untuk bahagia kembali, untuk berdamai dengan keadaan, dan untuk memaafkan. Dirinya yang dahulu boleh saja mati karena sakit hati, tapi nanti akan kembali lebih kuat lagi. Rei percaya itu.

“Jane?” ucap Rei kemudian.

“Iya?”

“Lain kali belajarlah menganalogikan sesuatu dengan lebih baik”

“Sial!” Jane kesal.

Mereka berdua tertawa. Langit telah gelap. Ombak yang pasang beberapa kali menyentuh jari kaki Rei, seolah hendak menjemput kesedihannya dan menenggelamkannya.
Share:

0 comments:

Post a Comment

Tinggalkan jejak kalian disini. komen yaa :)