Dulu,
aku yakin bahwa suatu saat kelak, kita akan saling berbagi cerita saat sore
sepulang kerja. Entah itu di halaman rumah atau di depan ruang tv sembari
menyesap kopi. Kita akan berbagi semua keluh kesah, lalu saling menyemangati
layaknya seorang motivator. Lalu sore itu kita akhiri dengan sebuah kecup
mesrah di kening.
Dulu,
aku yakin bahwa jika nanti kita bersama, kita akan menjadikan sebuah peluk
untuk menenangkan tiap debar. Kelak, akan banyak masalah yang akan kita hadapi
setelah bersama. Aku tak mau kau menghadapinya sendiri. Hampiri aku. Peluk aku sekuat-kuatnya.
Menangislah sejadi-jadinya. Hingga kau tenang. Hingga kita hadapi bersama
masalah dengan saling menggenggam.
Tapi,
keyakinanku hanya berlaku sebelum dia datang.
Genggangmu
tak lagi erat setelahnya. Hati kita yang dulu seolah tak berjarak, perlahan
mulai mengambil langkah untuk meninggalkan. Ah, lebih tepatnya kamu yang
meninggalkan. Aku masih terpaku disini, bersama harapan yang kau patahkan.
“Maaf”
katamu sore itu dengan kepala tertunduk. “Aku pamit”. Lalu kamu berdiri,
kemudian melangkah pergi meninggalkan. Benar-benar meninggalkan. Setelahnya,
seperti yang kamu tahu, aku hancur. Sementara kamu tidak.
Dulu,
sebelum dia mengisi hatimu, ada aku yang dengan bodohnya merapikan puing hatimu
yang sempat runtuh. Perlahan aku memperbaikinya dengan membuatmu tersenyum tiap
hari. Hingga kemudian hatimu kembali utuh, dan aku ada di dalamnya.
Dulu,
sebelum dia menjadi bagian hidupmu, ada aku yang selalu kau ingatkan untuk tak
pergi. Katamu, meski apapun yang terjadi, kita harus tetap saling merangkul. Aku
mengiyakan. Lalu kita mulai merencanakan masa depan, memilih warna apa yang
cocok untuk rumah kita kelak dan memilih nama untuk kucing yang akan kita
pelihara. Namun tak lama, kau malah berubah haluan.
Aku
layaknya pelabuhan tempatmu bersandar sementara. Di pelabuhanku, kau menikmati
tiap kisah yang kita buat. Aku melukismu diantara senja di ufuk barat. Di
pelabuhanku pula, kau sempat membuat pencarianku berhenti. Bodohnya, kukira
akulah pelabuhan terakhir untukmu, ternyata kau hanya singgah. Debur ombak tak
kuasa menahan tambatmu lebih lama.
Tak
apa. Pergilah sejauh mungkin. Tak usah kembali lagi. Tapi ingatlah satu hal. Dulu,
sebelum dia yang memenangkan hatimu dengan mudah, ada aku yang mati-matian
memperjuangkanmu.