Monday, November 19, 2018

Sebelum Dia


Dulu, aku yakin bahwa suatu saat kelak, kita akan saling berbagi cerita saat sore sepulang kerja. Entah itu di halaman rumah atau di depan ruang tv sembari menyesap kopi. Kita akan berbagi semua keluh kesah, lalu saling menyemangati layaknya seorang motivator. Lalu sore itu kita akhiri dengan sebuah kecup mesrah di kening.

Dulu, aku yakin bahwa jika nanti kita bersama, kita akan menjadikan sebuah peluk untuk menenangkan tiap debar. Kelak, akan banyak masalah yang akan kita hadapi setelah bersama. Aku tak mau kau menghadapinya sendiri. Hampiri aku. Peluk aku sekuat-kuatnya. Menangislah sejadi-jadinya. Hingga kau tenang. Hingga kita hadapi bersama masalah dengan saling menggenggam.

Tapi, keyakinanku hanya berlaku sebelum dia datang.

Genggangmu tak lagi erat setelahnya. Hati kita yang dulu seolah tak berjarak, perlahan mulai mengambil langkah untuk meninggalkan. Ah, lebih tepatnya kamu yang meninggalkan. Aku masih terpaku disini, bersama harapan yang kau patahkan.

“Maaf” katamu sore itu dengan kepala tertunduk. “Aku pamit”. Lalu kamu berdiri, kemudian melangkah pergi meninggalkan. Benar-benar meninggalkan. Setelahnya, seperti yang kamu tahu, aku hancur. Sementara kamu tidak.

Dulu, sebelum dia mengisi hatimu, ada aku yang dengan bodohnya merapikan puing hatimu yang sempat runtuh. Perlahan aku memperbaikinya dengan membuatmu tersenyum tiap hari. Hingga kemudian hatimu kembali utuh, dan aku ada di dalamnya.

Dulu, sebelum dia menjadi bagian hidupmu, ada aku yang selalu kau ingatkan untuk tak pergi. Katamu, meski apapun yang terjadi, kita harus tetap saling merangkul. Aku mengiyakan. Lalu kita mulai merencanakan masa depan, memilih warna apa yang cocok untuk rumah kita kelak dan memilih nama untuk kucing yang akan kita pelihara. Namun tak lama, kau malah berubah haluan.

Aku layaknya pelabuhan tempatmu bersandar sementara. Di pelabuhanku, kau menikmati tiap kisah yang kita buat. Aku melukismu diantara senja di ufuk barat. Di pelabuhanku pula, kau sempat membuat pencarianku berhenti. Bodohnya, kukira akulah pelabuhan terakhir untukmu, ternyata kau hanya singgah. Debur ombak tak kuasa menahan tambatmu lebih lama.

Tak apa. Pergilah sejauh mungkin. Tak usah kembali lagi. Tapi ingatlah satu hal. Dulu, sebelum dia yang memenangkan hatimu dengan mudah, ada aku yang mati-matian memperjuangkanmu.
Share:

0 comments:

Post a Comment

Tinggalkan jejak kalian disini. komen yaa :)