Saturday, June 14, 2014

Detective Nina

Aku bingung.
Bagaimana bisa cintaku terpaut padamu?
Apakah ini ujian hati? Atau ini hanya lelucon Tuhan?
Sungguh aku belum siap jika ini hanya lelucon Tuhan.

Nina membuang puisi itu kedalam tong sampah. Entah ini sudah yang keberapa kalinya ia mendapati hal yang sama setiap hari. Seperti tak ada bosannya, sosok misterius itu selalu mengirimkan sepucuk surat kepadanya. Nina sendiri bingung. Siapa yang mengirim ini? Apa tujuannya? Sampai kapan dia mengirim surat seperti ini? Ribuan pertanyaan membanjiri pikirannya, namun tetap tak ada jawaban sedikitpun.

“ Ini siapa sih yang ngirimin aku puisi tiap hari?”
“Ciee dapet puisi lagi. Liat dong, Nin...” Goda Dion, teman satu kelasnya yang berperawakan kurus.
“Sudah aku buang. Kalo mau baca besok aja, pasti puisinya datang lagi kok” Jawab Nina ketus.
“Kamu enak tiap hari ada yang ngirimin puisi. Lah aku? Sekalipun nggak pernah” Sambar Citra yang merupakan sahabat baik Nina. Dia ingin seperti Nina, ada yang mengiriminya puisi, memberi perhatian walaupun kecil. Namun harapannya belum terwujud.
“Kamu aku kirimin surat Yasin aja. Mau nggak?” Ucap Dion yang disambut gelak tawa Nina.

Keesokan harinya, Nina sengaja berangkat sekolah pagi-pagi. Waktu itu pukul 6:30, ia sudah ada di sekolah. Harapannya ia bisa mengetahui siapa sosok misterius yang selalu meletakkan puisi diatas mejanya itu. Tapi harapan tak sesuai kenyataan. Pagi itu Nina mendapati sebuah puisi sudah terletak diatas mejanya. Lagi-lagi ia kalah cepat dengan si pengirim puisi itu. Dengan sedikit kesal, Perlahan Nina membuka puisi yang kertasnya bermotif hati itu dan kemudian membacanya.

Bersama surat yang aku kirimkan, semoga jiwamu selalu damai.
Pagi ini aku menerka lagi, mengapa cinta belum mampu menyatukan kita? Apakah ini hanya impian semu yang takkan menjadi nyata?semoga surat ini membuatmu tersenyum, karena disini, aku menantikan senyum indahmu

Sial! Batinnya.

Siapa sebenarnya orang ini? Jangan-jangan yang mengirim puisi ini adalah pak Darmo penjaga sekolah? Nina terus berasumsi. Ia tak tahu harus berbuat apa lagi sekarang. semua cara yang dilakukannya untuk dapat mengetahui siapa sosok misterius ini selalu saja gagal. Dia—sang pengirim puisi—masih terlalu hebat menyembunyikan identitasnya.

Waktu terus saja berlalu. Tak terasa sudah sebulan lebih Nina selalu mendapatkan puisi diatas mejanya. Nina sudah mulai terbiasa  menikmati setiap puisi yang ditulis oleh sosok misterius itu. Ia juga tak membuang puisi itu kedalam tempat sampah lagi. Selain  mendapatkan kiriman puisi setiap hari, terkadang Nina juga mendapatkan sms-sms dari sosok yang sama. Tapi siapa?

“Ehh, Nin. Kamu masih sering dapet kiriman puisi-puisi?” Tanya Citra memecah hening.
“Masih dong” Jawab Nina singkat sembari mengunyah mie ayam kesukaannya.
“Wahh nggak ada nyerahnya ya itu orang. Salut deh!”
“Bilang aja kamu iri. Iya kan? Pake salut-salut segala hahaha” ucap Dion seolah mengejek Citra.
“Dion apaan sih. Nggak jelas banget wooo” Ucap Citra kesal. “Ehh kalian aku tinggal ke kelas dulu ya. Sebentar aja kok, byee..”

Citra pergi melengos ke kelasnya. Tak ada yang menghiraukan. Nina masih sibuk mengunyah mie ayamnya, sementara Dion baru saja menyelesaikan suapan terakhir baksonya.

“Jadi, sampai kapan kamu mau ngirimin aku puisi terus?” Tanya Nina sejurus kemudian. Ia tampak serius. Matanya menatap Dion dengan tajam. Ia seolah seperti polisi yang sedang menginterogasi seorang tersangka. Celakanya, Dion adalah ‘tersangkanya’ disini.
“Nggg.... maksud kamu, Nin? Aku nggak paham deh” Jawab Dion terbata-bata. Ia tampak gugup.
“Udah nggak usah bohong. Aku udah tau yang sebenarnya. Kamu kan yang ngirimin aku puisi sebulan lebih ini?”

Dion terdiam. Kepalanya tertunduk lesu, lidahnya pun seolah kaku. Dion tak menyangka akhirnya Nina tau yang sebenarnya.

“Nggg... iii..iyaa, Nin. Aku orang yang selama ini ngirimin puisi ke kamu. Maafin aku yaa. Kamu nggak marah kan?” Dion mengaku dengan lantang.
“Tuh kan bener. Hahahaaa. Nggak apa-apa kok, santai aja”
“Tapi darimana kamu tau, Nin?” Dion yang malu mulai penasaran.
“Kamu ceroboh, Dion. Kamu lupa kalo kita sudah satu kelas selama tiga tahun? Aku sudah hafal gaya tulisan kamu. Lain kali kalo mau ngirim puisi ke aku suruh orang lain deh yang nulisnya. Selain itu, aku juga dapet banyak info dari penjaga sekolah kita, Pak Darmo. Waktu itu aku nyuruh dia buat memantau siapa orang yang datang pertama di kelas kita. Menurut laporan beliau, kamulah orang yang setiap hari datengnya cepat terus. Dia juga sering liat kok kalo kamu meletakkan puisi itu diatas meja aku. Nah selesai kamu meletakkan puisi itu, kamu pergi ke warung nasi uduk di depan sekolah kita buat sarapan. Iya kan? Terus pas udah agak siang baru deh kamu ke sekolah. Seolah-olah datangnya siang. Ohh  iya satu lagi. Kemarin aku minjem hp kamu kan? Nah pas aku minjem, aku sengaja liat isi sent box kamu. Dan disana aku liat tiap pesan yang kamu kirim ke aku, mulai dari selamat malam, Nina, selamat tidur, Nina, selamat belajar, Nina, macam-macam deh. Kamu lupa hapus ya? Hahaha” jelas Nina panjang lebar. Lagi-lagi Dion hanya bisa terdiam. Apa yang diucapkan Nina itu semuanya benar. Dion seolah-olah ‘ditelanjangi’. Ia merasa sangat malu.

“Jadi, apa benar isi puisi itu?” Tanya Nina bertubi-tubi. Belum selesai Dion dibuatnya salah tingkah, ia semakin membuat Dion tak berkutik di depannya.
“Isi puisi yang mana?” jawab Dion lirih.
“Semuanya. Apa benar kalau kamu cinta sama aku?”

DEEGGG!

Dion semakin tak bermuka. Ia seperti ditantang habis-habisan oleh Nina. Selama ini Dion cuma berani mengungkapkan perasaannya lewat suratnya yang berisi puisi, tapi sekarang ia benar-benar berhadapan dengan orang yang ia kagumi. Dion mencoba menenangkan diri sembari mengumpulkan keberanian. Sejenak ia menutup matanya dan mengambil nafas panjang. Kemudian....

“Iya, aku cinta sama kamu. Maaf kalau selama ini aku cuma bisa bilang lewat puisi-puisi itu. Nina, maukah kamu...”
“Kamu terlambat” Nina memotong ucapan Dion “Aku sudah pacaran dengan orang lain. Memang dia tak pandai merangkai kata-kata seperti kamu, dia tak bisa membuat aku kagum dengan puisi-puisi seperti kamu. Tapi dia melakukan hal yang membuat aku tau kalau dia cinta dengan aku. Berbeda dengan kamu, Dion. Kamu memang melakukan segala cara untuk membuat aku bahagia, membuat aku kagum dengan kata-katamu. Tapi kamu tidak melakukan satu hal pun yang membuat aku tau kalau kamu cinta sama aku. Maaf”

Nina melangkah pergi. Ia meninggalkan Dion dengan pasti. Disatu sisi Nina lega bisa mengetahui siapa pengirim puisi itu, tapi disisi lain dia juga tak tega telah menghancurkan hati temannya sendiri. Sedikit banyak hal itu membuat Nina tidak tenang. Namun Nina tetap melangkah meninggalkan Dion. Belum terlalu jauh ia melangkah, tiba-tiba seseorang memanggil Nina. Ia kaget dan kemudian menghentikan langkah kakinya, lalu melihat kebelakang, kearah sumber suara.

“Hey Nak, bayar dulu Mie ayamnya. Main pergi aja..” Kata si penjual Mie ayam.


Ternyata Nina lupa membayar mie ayam yang sudah dilahapnya.
Share:

4 comments:

  1. Ini cerpen ya?
    udah lumayan bagus kok ceritanya. tapi menurut aku alurnya kecepatan hehe

    kalau berkenan, mampir balik ke blog aku ya :)
    Salam kenal ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. terimakasih sarannya :)
      mohon terus dibimbing. maklum baru belajar nulis hehehee
      salam kenal kembali :)

      Delete
  2. Wih, detective nina.. keren kok ceritanya.. tapi bener, alurnya agak kecepatan.. hehe.. semangat terus ya nulis cerpennya :)
    Oh iya salam kenal ya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehehe terimakasih. wahh saya memang harus belajar lg nih nulis cerpen.
      salam kenal juga, terimakasih udah mampir ke blog ini :)

      Delete

Tinggalkan jejak kalian disini. komen yaa :)