Aku
bingung.
Bagaimana
bisa cintaku terpaut padamu?
Apakah
ini ujian hati? Atau ini hanya lelucon Tuhan?
Sungguh
aku belum siap jika ini hanya lelucon Tuhan.
Nina membuang puisi itu kedalam tong sampah. Entah
ini sudah yang keberapa kalinya ia mendapati hal yang sama setiap hari. Seperti
tak ada bosannya, sosok misterius itu selalu mengirimkan sepucuk surat
kepadanya. Nina sendiri bingung. Siapa yang mengirim ini? Apa tujuannya? Sampai
kapan dia mengirim surat seperti ini? Ribuan pertanyaan membanjiri pikirannya,
namun tetap tak ada jawaban sedikitpun.
“ Ini siapa sih yang ngirimin aku puisi tiap hari?”
“Ciee dapet puisi lagi. Liat dong, Nin...” Goda
Dion, teman satu kelasnya yang berperawakan kurus.
“Sudah aku buang. Kalo mau baca besok aja, pasti
puisinya datang lagi kok” Jawab Nina ketus.
“Kamu enak tiap hari ada yang ngirimin puisi. Lah
aku? Sekalipun nggak pernah” Sambar Citra yang merupakan sahabat baik Nina. Dia
ingin seperti Nina, ada yang mengiriminya puisi, memberi perhatian walaupun
kecil. Namun harapannya belum terwujud.
“Kamu aku kirimin surat Yasin aja. Mau nggak?” Ucap
Dion yang disambut gelak tawa Nina.
Keesokan harinya, Nina sengaja berangkat sekolah
pagi-pagi. Waktu itu pukul 6:30, ia sudah ada di sekolah. Harapannya ia bisa
mengetahui siapa sosok misterius yang selalu meletakkan puisi diatas mejanya
itu. Tapi harapan tak sesuai kenyataan. Pagi itu Nina mendapati sebuah puisi
sudah terletak diatas mejanya. Lagi-lagi ia kalah cepat dengan si pengirim
puisi itu. Dengan sedikit kesal, Perlahan Nina membuka puisi yang kertasnya
bermotif hati itu dan kemudian membacanya.
Bersama
surat yang aku kirimkan, semoga jiwamu selalu damai.
Pagi
ini aku menerka lagi, mengapa cinta belum mampu menyatukan kita? Apakah ini
hanya impian semu yang takkan menjadi nyata?semoga surat ini membuatmu
tersenyum, karena disini, aku menantikan senyum indahmu
Sial!
Batinnya.
Siapa sebenarnya orang ini? Jangan-jangan yang
mengirim puisi ini adalah pak Darmo penjaga sekolah? Nina terus berasumsi. Ia
tak tahu harus berbuat apa lagi sekarang. semua cara yang dilakukannya untuk
dapat mengetahui siapa sosok misterius ini selalu saja gagal. Dia—sang pengirim
puisi—masih terlalu hebat menyembunyikan identitasnya.
Waktu terus saja berlalu. Tak terasa sudah sebulan
lebih Nina selalu mendapatkan puisi diatas mejanya. Nina sudah mulai terbiasa menikmati setiap puisi yang ditulis oleh sosok
misterius itu. Ia juga tak membuang puisi itu kedalam tempat sampah lagi. Selain mendapatkan kiriman puisi setiap hari,
terkadang Nina juga mendapatkan sms-sms dari sosok yang sama. Tapi siapa?
“Ehh, Nin. Kamu masih sering dapet kiriman
puisi-puisi?” Tanya Citra memecah hening.
“Masih dong” Jawab Nina singkat sembari mengunyah
mie ayam kesukaannya.
“Wahh nggak ada nyerahnya ya itu orang. Salut deh!”
“Bilang aja kamu iri. Iya kan? Pake salut-salut
segala hahaha” ucap Dion seolah mengejek Citra.
“Dion apaan sih. Nggak jelas banget wooo” Ucap Citra
kesal. “Ehh kalian aku tinggal ke kelas dulu ya. Sebentar aja kok, byee..”
Citra pergi melengos ke kelasnya. Tak ada yang
menghiraukan. Nina masih sibuk mengunyah mie ayamnya, sementara Dion baru saja
menyelesaikan suapan terakhir baksonya.
“Jadi, sampai kapan kamu mau ngirimin aku puisi
terus?” Tanya Nina sejurus kemudian. Ia tampak serius. Matanya menatap Dion
dengan tajam. Ia seolah seperti polisi yang sedang menginterogasi seorang
tersangka. Celakanya, Dion adalah ‘tersangkanya’ disini.
“Nggg.... maksud kamu, Nin? Aku nggak paham deh”
Jawab Dion terbata-bata. Ia tampak gugup.
“Udah nggak usah bohong. Aku udah tau yang
sebenarnya. Kamu kan yang ngirimin aku puisi sebulan lebih ini?”
Dion terdiam. Kepalanya tertunduk lesu, lidahnya pun
seolah kaku. Dion tak menyangka akhirnya Nina tau yang sebenarnya.
“Nggg... iii..iyaa, Nin. Aku orang yang selama ini
ngirimin puisi ke kamu. Maafin aku yaa. Kamu nggak marah kan?” Dion mengaku
dengan lantang.
“Tuh kan bener. Hahahaaa. Nggak apa-apa kok, santai
aja”
“Tapi darimana kamu tau, Nin?” Dion yang malu mulai
penasaran.
“Kamu ceroboh, Dion. Kamu lupa kalo kita sudah satu
kelas selama tiga tahun? Aku sudah hafal gaya tulisan kamu. Lain kali kalo mau
ngirim puisi ke aku suruh orang lain deh yang nulisnya. Selain itu, aku juga
dapet banyak info dari penjaga sekolah kita, Pak Darmo. Waktu itu aku nyuruh
dia buat memantau siapa orang yang datang pertama di kelas kita. Menurut
laporan beliau, kamulah orang yang setiap hari datengnya cepat terus. Dia juga
sering liat kok kalo kamu meletakkan puisi itu diatas meja aku. Nah selesai kamu
meletakkan puisi itu, kamu pergi ke warung nasi uduk di depan sekolah kita buat
sarapan. Iya kan? Terus pas udah agak siang baru deh kamu ke sekolah.
Seolah-olah datangnya siang. Ohh iya
satu lagi. Kemarin aku minjem hp kamu kan? Nah pas aku minjem, aku sengaja liat
isi sent box kamu. Dan disana aku
liat tiap pesan yang kamu kirim ke aku, mulai dari selamat malam, Nina, selamat tidur, Nina, selamat belajar, Nina,
macam-macam deh. Kamu lupa hapus ya? Hahaha” jelas Nina panjang lebar.
Lagi-lagi Dion hanya bisa terdiam. Apa yang diucapkan Nina itu semuanya benar.
Dion seolah-olah ‘ditelanjangi’. Ia merasa sangat malu.
“Jadi, apa benar isi puisi itu?” Tanya Nina
bertubi-tubi. Belum selesai Dion dibuatnya salah tingkah, ia semakin membuat
Dion tak berkutik di depannya.
“Isi puisi yang mana?” jawab Dion lirih.
“Semuanya. Apa benar kalau kamu cinta sama aku?”
DEEGGG!
Dion semakin tak bermuka. Ia seperti ditantang
habis-habisan oleh Nina. Selama ini Dion cuma berani mengungkapkan perasaannya
lewat suratnya yang berisi puisi, tapi sekarang ia benar-benar berhadapan
dengan orang yang ia kagumi. Dion mencoba menenangkan diri sembari mengumpulkan
keberanian. Sejenak ia menutup matanya dan mengambil nafas panjang.
Kemudian....
“Iya, aku cinta sama kamu. Maaf kalau selama ini aku
cuma bisa bilang lewat puisi-puisi itu. Nina, maukah kamu...”
“Kamu terlambat” Nina memotong ucapan Dion “Aku
sudah pacaran dengan orang lain. Memang dia tak pandai merangkai kata-kata
seperti kamu, dia tak bisa membuat aku kagum dengan puisi-puisi seperti kamu.
Tapi dia melakukan hal yang membuat aku tau kalau dia cinta dengan aku. Berbeda
dengan kamu, Dion. Kamu memang melakukan segala cara untuk membuat aku bahagia,
membuat aku kagum dengan kata-katamu. Tapi kamu tidak melakukan satu hal pun
yang membuat aku tau kalau kamu cinta sama aku. Maaf”
Nina melangkah pergi. Ia meninggalkan Dion dengan
pasti. Disatu sisi Nina lega bisa mengetahui siapa pengirim puisi itu, tapi
disisi lain dia juga tak tega telah menghancurkan hati temannya sendiri. Sedikit
banyak hal itu membuat Nina tidak tenang. Namun Nina tetap melangkah
meninggalkan Dion. Belum terlalu jauh ia melangkah, tiba-tiba seseorang
memanggil Nina. Ia kaget dan kemudian menghentikan langkah kakinya, lalu
melihat kebelakang, kearah sumber suara.
“Hey Nak, bayar dulu Mie ayamnya. Main pergi aja..”
Kata si penjual Mie ayam.
Ternyata Nina lupa membayar mie ayam yang sudah
dilahapnya.
Ini cerpen ya?
ReplyDeleteudah lumayan bagus kok ceritanya. tapi menurut aku alurnya kecepatan hehe
kalau berkenan, mampir balik ke blog aku ya :)
Salam kenal ^^
terimakasih sarannya :)
Deletemohon terus dibimbing. maklum baru belajar nulis hehehee
salam kenal kembali :)
Wih, detective nina.. keren kok ceritanya.. tapi bener, alurnya agak kecepatan.. hehe.. semangat terus ya nulis cerpennya :)
ReplyDeleteOh iya salam kenal ya :)
hehehe terimakasih. wahh saya memang harus belajar lg nih nulis cerpen.
Deletesalam kenal juga, terimakasih udah mampir ke blog ini :)