Langit
masih pagi. Mentari belum muncul dengan hangatnya. Dedaunan basah oleh rintik
gerimis yang ritmik. Serupa dingin udara di pagi itu, ingatan tentangmu datang
menghunus kepala dengan caranya. Ingatan tentangmu menemaniku pagi ini. Aku
hanya bisa menikmati.
Tuhan
mungkin boleh bersombong, karena ia telah menciptakan seorang bidadari yang
berwujud kamu. Ia menciptakan lengkung senyum yang menawan padamu. Lalu Tuhan
juga memberikan kemilau pada matamu yang sedikit sipit. Sempurna sekali berpadu
dengan wajahmu yang tirus. Serupa rona senja di ufuk barat.
1200km adalah sebuah jarak yang dengan telak memisah. Aku dengan lemahku tetap tak
bisa menghilangkan kamu sedetikpun dari ingatanku. Entah kenapa. Aku semakin
tak tahan dengan pikiranku. Pernah aku mencoba untuk tidak terlalu
memikirkanmu. Tapi seolah aku tak kuasa, magis dirimu semakin kuat dalam
ingatan. Aku kalah lagi, meskipun sudah beribu kali mencoba.
Dulu,
kita berdua pernah membicarakan tentang sebuah jarak. Di sebuah tempat yang
teduh saat pukul 2 di hujan bulan Oktober. Kamu pernah bilang bahwa sepasang
orang yang terpisah karena jarak kelak akan lebih menghargai sebuah pertemuan.
Jarak juga bukan menjadi perkara bagi sepasang hati yang tahu kemana jalan
untuk kembali. Persis seperti burung merpati yang juga selalu tahu jalan untuk kembali
ke pasangannya. Lalu katamu, bila burung merpati jantan bertalu-talu memberi
pujian hingga sang betina tertunduk malu, seorang perindu juga melakukan hal
semacam itu. Hanya saja dengan caranya sendiri-sendiri. Apapun itu, mungkin
dengan cara menyampaikan kata-kata
romantis dan picisan. Seperti itulah kamu, membicarakan sesuatu dengan sangat
teliti kemudian menganalogikannya dengan baik. Suaramu, keteduhan senyummu saat
itu adalah penghangat bagiku melawan dinginnya ritmis gerimis.
Pagi
ini, dari jarak 1200km, aku mengingat setiap baris cerita kita. Hanya untuk
mengobati rindu sebelum sua. Inilah aku, mengirimkan surat untukmu sambil
berharap kerinduan tertera pada setiap aksara yang kau baca. Aku ingin
mendengarkan cerita darimu lagi, karena setahuku cerita tentang merpati itu
belum selesai.
Tunggu
aku, ditempat yang sama, di waktu yang sama, di hujan bulan Oktober.
P.S:
Aku mengirimkan surat ini bersama seikat mawar putih. Simpanlah bila engkau
menyukainya.
Bagus bro tulisannya :)
ReplyDeletewww.fikrimaulanaa.com
Mantappp, bikin mendayu tulisannya :-D
ReplyDelete